Oleh: Muhammad Akbar Bahari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pada tanggal 25 Februari 2021 Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani Indrawati menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.010/2021 tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa Kendaraan Bermotor tertentu yang ditanggung pemerintah tahun anggaran 2021. Tentunya dalam kondisi pandemi seperti ini apa pun pasti akan memicu pro dan kontra termasuk ketika aturan ini dibuat. Namun sebelum mengarah ke sana perlu diketahui bahwa langkah awal yang menjadi acuan dalam pembuatan aturan ini.

Pertama, Pandemi Covid-19 yang mengakibatkan seluruh sendi kehidupan masyarakat khususnya ekonomi menjadi kacau balau, di antaranya banyak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Karyawan Industri hingga Macetnya Produktivitas Perindustrian khususnya yang bergerak di bidang produksi kendaraan bermotor yang tentunya jika dibiarkan maka akan menimbulkan dampak yang tidak baik. Sehingga dengan dibuatnya aturan ini adalah agar dapat mendukung pemulihan ekonomi nasional yang dimulai dari industri kendaraan bermotor guna menjadi motor penggerak untuk pemulihan sektor industri yang lain selain merupakan keharusan bahwa pemerintah untuk hadir mendukung upaya tersebut sebagai langkah untuk mewujudkan pemulihan ekonomi nasional.

Kemudian, Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan banyak industri khususnya yang bergerak dalam produksi kendaraan bermotor mengalami kerugian bahkan hingga bangkrut total. Sebagai upaya untuk menjaga stabilitas perekonomian Nasional sekaligus untuk mendukung upaya Pemulihan Ekonomi Nasional. Pemerintah dalam hal ini kementerian keuangan telah memberikan insentif pajak baik kepada perusahaan langsung maupun Kepada Wajib Pajak Karyawan yang tentunya bertujuan agar perusahaan tetap dapat bertahan tanpa harus melakukan pemutusan hubungan kerja. Namun upaya tersebut dirasa masih kurang sehingga pemerintah mengeluarkan aturan ini untuk menjadi dasar pemerintah untuk insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor tertentu yang ditanggung Pemerintah yang tentunya agar dapat meningkatkan produktivitas perindustrian yang menjadi salah satu penyangga dalam upaya Pemulihan Ekonomi Negara.

Lalu, Aturan Insentif di tahun 2020 masih belum mengatur terkait insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor tertentu yang ditanggung Pemerintah karena sebelumnya pemerintah fokus pada wajib pajak UMKM dan Wajib Pajak Karyawan yang terkena imbas cukup besar dan pemerintah merasa perlu mengembangkan kepada insentif pajak yang lain salah satunya insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor tertentu yang ditanggung Pemerintah.

Selanjutnya, Industri Otomotif merupakan industri padat karya yang telah menyumbangkan lapangan kerja lebih dari 1,5 juta orang dan kontribusi PDB sebesar Rp700 triliun. Sehingga cukup berpengaruh sekali terhadap PDB apabila pemerintah tidak hadir untuk memberikan bantuan berupa insentif ini serta Terjadinya Kontraksi Perekonomian Negara pada kuartal IV 2020 yang diakibatkan oleh masih lemahnya tingkat konsumsi masyarakat sehingga dengan adanya insentif ini diharapkan konsumsi masyarakat dapat meningkat karena konsumsi memberikan kontribusi hingga 58 persen dalam pertumbuhan ekonomi.

Mekanisme penggunaan Insentif tersebut telah diatur dalam PMK Nomor 20/PMK.010/2021. Salah satunya dalam Pasal 2 peraturan ini yang menjabarkan Objek insentif aturan tersebut di antaranya berupa kendaraan bermotor sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel atau semi diesel) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 (seribu lima ratus) cc; dan kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel atau semi diesel) dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 (seribu lima ratus) cc.

Artinya, tidak semua kendaraan mendapatkan insentif ini dan kalaupun kendaraan tersebut memenuhi persyaratan isi silinder bawah 1500 cc tetap tidak bisa diberikan insentif karena harus memenuhi persyaratan jumlah pembelian lokal atau yang dikenal dengan sebutan local purchase dan harus memenuhi jumlah penggunaan komponen yang berasal dari hasil produksi dalam negeri yang dirnanfaatkan dalam kegiatan produksi kendaraan bermotor paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) sebagaimana juga diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian RI nomor 169 tahun 2021.

Untuk penggunaan insentif ini sendiri mengacu pada Pasal 5 PMK Nomor 20 Tahun 2021 diberikan secara bertahap selama tiga bulan di antaranya 100% (seratus persen) dari PPnBM yang terutang untuk Masa Pajak Maret 2021 sampai dengan Masa Pajak Mei 2021 lalu 50% (lima puluh persen) dari PPnBM yang terutang untuk Masa Pajak Juni 2021 sampai dengan Masa Pajak Agustus 2021; dan 25% (dua puluh lima persen) dari PPnBM yang terutang untuk Masa Pajak September 2021 sampai dengan Masa Pajak Desember 2021.

Di dalam Pasal 6 itu sendiri disampaikan bahwa Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor yang memenuhi persyaratan sesuai Pasal 2 PMK Nomor 20 wajib membuat Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan keterangan keterangan "PPnBM DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR ... /PMK.010/2021"; dan laporan realisasi PPnBM ditanggung Pemerintah sehingga apabila kewajiban tersebut tidak dipenuhi maka PPNBM dapat ditagih oleh kantor pajak tempat dia melakukan usahanya.

Dengan terbitnya aturan ini diharapkan perekonomian akan lebih baik lagi di masa pandemi. Meskipun ini masih diperdebatkan tapi tidak ada salahnya untuk dilakukan karena kebijakan ini dibuat untuk membantu meringankan dampak pandemi terhadap industri otomotif sekalipun belum tentu memuaskan semua pihak.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.