Kearifan Lokal Sunda Sabilulungan dan Kesadaran Pajak

Oleh: Amalia Ulfa, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Udara pagi di kampung halaman saya, Garut, selalu membawa ketenangan yang jarang saya temukan di Jakarta. Suasana damai dengan langit cerah, semilir angin yang menyapu lembut dedaunan, dan aroma tanah basah yang menenangkan hati menemani Sabtu pagi pada saat itu. Di teras rumah, saya duduk santai dengan secangkir teh tawar hangat, menikmati hari libur yang jarang sekali bisa saya rasakan.
Di tengah keheningan, terdengar suara alunan musik dari rumah tetangga sebelah. Lagu itu terdengar familiar.
Sabilulungan, hirup sauyunan
(Kerja sama, hidup dalam kerukunan)
Sabilulungan, silih pikaheman
(Kerja sama, saling menyayangi)
Sabilulungan, tulung tinulungan
(Kerja sama, saling membantu)
Sabilulungan, kukuh persatuan
(Kerja sama, persatuan yang kuat)
Santosa, samakta
(Damai dan sejahtera bersama)
Itulah petikan lirik lagu berjudul Sabilulungan yang merupakan lagu Sunda ciptaan Mang Koko, seorang maestro lagu daerah Jawa Barat. Lagu ini tidak hanya indah dari sisi musikalitas, tapi juga mengandung makna yang sangat dalam. Lagu ini mencerminkan nilai gotong royong, saling menolong, saling mendukung, dan saling menyayangi sebagai kekuatan bersama di kalangan masyarakat Sunda. Misalnya, ketika ada tetangga yang sedang mengalami kesulitan, warga sekitar akan datang membantu tanpa diminta. Semua dilakukan dengan sukarela sebagai bentuk kepedulian dan kebersamaan.
Sabilulungan merupakan nilai kearifan lokal yang berasal dari budaya Sunda. Secara harfiah dalam bahasa Indonesia, istilah ini dapat diartikan sebagai gotong royong. Menurut Kamus Sunda–Indonesia (Sumantri, 1985), sabilulungan bermakna seia-sekata dan saling menolong. Penjelasan dalam kamus tersebut juga menegaskan bahwa sabilulungan merupakan warisan budaya lisan masyarakat Sunda yang berakar kuat dalam kearifan lokal di wilayah Jawa Barat. Nilai ini telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda melalui tradisi yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Sayup-sayup lagu yang terdengar dari rumah tetangga itu mengingatkan saya betapa pentingnya nilai gotong-royong dalam kehidupan kita. Semangat saling membantu dan tolong-menolong dalam lirik lagunya tidak hanya dapat diterapkan sebagai prinsip kehidupan sosial di kalangan masyarakat Sunda, tetapi juga bisa diterapkan dalam aspek kehidupan bernegara, salah satunya dalam hal kesadaran dan kepatuhan pajak.
Sabilulungan mengajarkan kita untuk senantiasa bekerja sama dalam menjaga kesejahteraan dan persatuan. Hal ini selaras dengan pajak yang sebenarnya adalah bentuk kerja sama yang lebih besar antarwarga negara Indonesia.
Berbicara mengenai aspek gotong-royong, mengingatkan saya dengan salah satu prinsip perpajakan di Indonesia yaitu prinsip keadilan dan keseimbangan. Prinsip keadilan dalam sistem perpajakan mengacu pada pemungutan pajak yang disesuaikan dengan kemampuan dan tingkat penghasilan wajib pajak. Artinya, semakin tinggi pendapatan yang diperoleh seseorang, semakin besar pula kontribusi pajak yang harus dibayarkan. Hal ini bertujuan untuk meringankan pajak bagi orang yang memiliki penghasilan lebih kecil. Dengan cara ini, negara dapat menerapkan perpajakan secara adil dan merata, tanpa ada diskriminasi antara satu wajib pajak dengan yang lainnya.
Prinsip keadilan ini sejalan dengan nilai sabilulungan yang mengedepankan gotong royong dan saling membantu. Dari sisi pajak, artinya masyarakat yang lebih mampu, melalui pajak yang mereka bayar, turut serta berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat yang kurang mampu.
Nilai sabilulungan yang sudah berakar kuat dalam budaya masyarakat Sunda merupakan wujud nyata dari semangat kolektif dan solidaritas sosial, yang apabila diterapkan ke dalam aspek perpajakan sangat selaras untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya kontribusi bersama.
Dalam budaya masyarakat Sunda, nilai sabilulungan juga memiliki kaitan erat dengan salah satu peribahasa Sunda, yaitu silih asah, silih asih, silih asuh.
Silih asah berarti saling mendidik (menajamkan pikiran), silih asih berarti saling menyayangi (mengasihi), dan silih asuh berarti saling membimbing (menjaga). Semboyan Sunda ini selaras dengan tujuan pemungutan pajak, yaitu untuk membiayai pendidikan bangsa, membangun perekonomian nasional, dan menciptakan kesejahteraan bersama. Semboyan ini merupakan penjabaran dari nilai Sabilulungan yang mencerminkan nilai-nilai persatuan dan gotong royong dalam kehidupan masyarakat Sunda.
Menanamkan semangat Sabilulungan dalam rangka menumbuhkan kesadaran pajak dengan pendekatan nilai kearifan lokal merupakan suatu strategi yang efektif dalam membangun kesadaran dan kepatuhan pajak yang berkeadilan. Ketika nilai gotong royong tertanam dalam kesadaran masyarakat, maka pajak tidak akan dianggap sebagai sebuah beban, namun menjadi sarana silih asah, silih asih, dan silih asuh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lagu Sabilulungan dari rumah tetangga pun perlahan menghilang bersama embusan angin pagi. Saya pun kembali menyeruput teh tawar yang mulai dingin di cangkir dan mengakhiri lamunan singkat di teras rumah pada pagi itu. Sebuah pagi yang sederhana namun penuh makna tentang pentingnya gotong-royong, kearifan lokal, dan harapan akan masa depan yang lebih sejahtera.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 209 kali dilihat