Beli Hewan Kurban ada Pajaknya? Mari Kita Simak

Oleh: Fatikha Faradina, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Menjelang Iduladha, geliat jual-beli hewan kurban mulai terasa. Lapak-lapak kambing dan sapi bermunculan di pinggir jalan, pasar hewan ramai dikunjungi pembeli, dan para pedagang kebanjiran pesanan. Ibadah kurban tidak hanya memiliki nilai spiritual, tetapi juga berdampak besar pada perekonomian. Menurut data dari Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), pada tahun 2023, potensi ekonomi kurban di Indonesia mencapai Rp24,5 triliun, dengan proyeksi transaksi sebanyak 1,78 juta ekor hewan kurban yang terdiri dari 505.000 sapi dan kerbau serta 1,23 juta kambing dan domba.
Di balik semangat berkurban yang penuh makna, ada satu aspek yang menarik untuk kita telisik yaitu aspek perpajakan atas transaksi jual beli hewan kurban. Apakah jual beli hewan kurban kena pajak? Siapa saja yang wajib lapor dan bayar? Yuk, kita kupas tuntas!
Dalam konteks perpajakan, setiap pihak yang memperoleh penghasilan dari kegiatan usaha termasuk peternakan atau perdagangan hewan kurban termasuk sebagai wajib pajak. Hal ini berlaku baik untuk orang pribadi maupun badan. Bagi penjual orang pribadi yang belum berbentuk badan usaha dan memiliki omzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar per tahun, penghasilan dikenakan pajak penghasilan final usaha mikro, kecil, dan menengah (PPh final UMKM) sebesar 0,5% dari omzet bruto bulanan, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022). Sebaliknya, jika usaha dilakukan oleh badan usaha seperti CV atau PT, kewajiban perpajakannya mengacu pada ketentuan umum Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker), dengan tarif progresif dan disertai kewajiban menyelenggarakan pembukuan serta pelaporan secara berkala.
Hewan kurban yang lumrah diperjualbelikan di Indonesia seperti sapi, kambing, dan domba termasuk dalam kategori barang kebutuhan pokok sehingga tidak dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN). Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.010/2017 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 267/PMK.010/2015 tentang Kriteria dan/atau Rincian Ternak, Bahan Pakan untuk Pembuatan Pakan Ternak dan Pakan Ikan yang Atas Impor dan/atau Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan kata lain, penjualan hewan kurban tidak memunculkan kewajiban pemungutan atau penyetoran PPN oleh penjual. Jika pembeli hewan kurban adalah instansi pemerintah, atas transaksi tersebut dikenakan PPh Pasal 22, dengan tarif 1,5% dari harga pembelian (tidak termasuk PPN). Kewajiban ini berada di pihak instansi sebagai pemotong/pemungut pajak. Untuk pembeli dari sektor swasta, pemotongan PPh Pasal 23 dapat terjadi apabila transaksi masuk kategori jasa tertentu, tergantung pada skema kontraktual dan klasifikasi pembayaran yang digunakan.
Pemberian hewan kurban secara cuma-cuma, misalnya dari donatur kepada masjid atau lembaga keagamaan, tidak termasuk objek pajak penghasilan. Hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh jo. UU Ciptaker, sepanjang sumbangan tersebut tidak terkait dengan imbal jasa atau keuntungan ekonomi bagi si pemberi. Demikian pula bagi lembaga penerima yang menyalurkan hewan kurban untuk tujuan ibadah dan sosial, tidak timbul kewajiban perpajakan selama tidak ada kegiatan komersialisasi atas hewan tersebut.
Seluruh penghasilan yang diterima dari kegiatan usaha penjualan hewan kurban wajib dicatat dan dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT) tahunan. Bagi wajib pajak UMKM, pelaporan cukup dilakukan melalui bagian penghasilan final. Wajib pajak badan harus menyusun laporan keuangan komersial dan fiskal sebagai dasar penghitungan PPh terutang.
Agar lebih jelas, berikut contoh skema perhitungan pajak yang muncul dari jual beli hewan kurban.
Contoh 1: Pedagang Hewan Kurban Orang Pribadi/UMKM (PPh Final 0,5%)
Pak Fulan adalah peternak sekaligus pedagang kambing, selama bulan Zulhijah (misalnya hanya jualan musiman) Pak Fulan memperoleh peredaran bruto sebesar Rp100 juta. Sepanjang tahun buku tersebut, Pak Fulan belum pernah melebihi batas omzet UMKM senilai Rp4,8 miliar per tahun sehingga ia terdaftar sebagai wajib pajak dan memilih skema PPh final UMKM. Berikut perhitungan pajanya.
Tarif PPh final UMKM = 0,5%
Pajak terutang = 0,5% × Rp100.000.000 = Rp500.000
Pak Fulan memiliki kewajiban untuk membayar PPh Final ke kas negara sebelum tanggal 15 bulan berikutnya (menggunakan kalender Masehi). Pada saat menyusun SPT Tahunan, penghasilan ini dilaporkan pada bagian penghasilan final.
Contoh 2: Penjual Berbentuk CV atau PT (PPh Badan Umum)
CV Kurban Majalaya menjual 100 ekor sapi seharga Rp20 juta per ekor dengan total penjualan = 100 × Rp20 juta = Rp2 miliar. Biaya operasional (pembelian, pakan, sewa, gaji pegawai, dll) = Rp1,4 miliar. Laba bersih = Rp2 miliar - Rp1,4 miliar = Rp600 juta. CV ini telah menjalankan pembukuan dan membayar pajak sesuai tarif PPh badan 22%. Berikut perhitungan pajaknya.
PPh terutang = 22% × Rp600.000.000 = Rp132.000.000
Contoh 3: Penjualan kepada Instansi Pemerintah (PPh Pasal 22)
Masjid Raya Kabupaten Majalaya membeli 10 ekor kambing untuk kurban dari pedagang lokal dengan harga per ekor senilai Rp3 juta sehingga total transaksi mencapai Rp30 juta. Karena pembeli adalah instansi pemerintah dan penjual adalah rekanan, maka berlaku PPh Pasal 22. Berikut perhitungan pajaknya.
Tarif PPh Pasal 22 = 1,5% dari nilai bruto (tanpa PPN)
PPh yang dipotong oleh instansi = 1,5% × Rp30 juta = Rp450.000
Masjid Raya Kabupaten Majalaya teridentifikasi sebagai instansi pemerintah Kabupaten Majalaya sehingga pajak tersebut dipotong dan disetorkan oleh instansi pemerintah, bukan oleh penjual.
Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa potensi penerimaan pajak dari sektor ini cukup signifikan dengan potensi ekonomi kurban mencapai Rp24,5 triliun pada tahun 2023. Jika diasumsikan seluruh penjual hewan kurban adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang dikenakan PPh Final 0,5%, maka potensi penerimaan pajak mencapai Rp122,5 miliar. Namun, realisasi penerimaan pajak dari sektor ini masih tergantung pada tingkat kepatuhan dan kesadaran para pelaku usaha dalam melaporkan dan membayar pajak.
Transaksi jual beli hewan kurban merupakan bagian dari aktivitas ekonomi yang tidak lepas dari aspek perpajakan sesuai ketentuan. Ada pajak yang wajib dibayar misal PPh, tapi ada juga pajak yang tidak dikenakan seperti PPN. Pemahaman yang benar tentang kewajiban perpajakan tidak hanya mendukung kepatuhan, tetapi juga menunjukkan integritas pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan ekonomi secara sah dan transparan. Berkurbannya seseorang adalah bentuk ibadah, sementara membayar pajak adalah bentuk kontribusi nyata kepada negara. Keduanya dapat berjalan seiring, mencerminkan ketaatan spiritual dan tanggung jawab sosial sebagai warga negara.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah (2:42): “Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan, dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya.”
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 299 kali dilihat