Pelunasan Bea Meterai pada Cek dan Bilyet Giro

Oleh: Kristin Esteria Butar-butar, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Penggunaan bea meterai Rp3.000,00 dan Rp6.000,00 tentunya sudah banyak digunakan untuk dokumen-dokumen di berbagai bidang seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya. Dokumen tersebut dapat dicontohkan seperti pada akta notaris dan salinannya, cek, bilyet giro, surat perjanjian, surat kuasa, surat hibah, akta pembuatan tanah dan dokumen-dokumen lainnya.
Secara umum, bea meterai termasuk dalam golongan pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat. Pajak dalam bea meterai ini dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang biasa digunakan di pengadilan. Selain itu menurut laman DJP, Bea meterai merupakan pajak atas dokumen yang terutang sejak saat dokumen itu ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan dan akan diserahkan kepada pihak lain jikalau dokumen tersebut hanya dibuat oleh salah satu pihak.
Sebelumnya di Indonesia mempunyai dua tarif bea meterai yang berlaku, yaitu tarif bea meterai Rp3.000,00 dan Rp6.000,00. Di mana untuk tarif bea meterai Rp3.000, digunakan untuk surat wesel, promes, aksep, cek, bilyet, giro efek dengan nominal jumlah uang lebih dari Rp200.000,00 sampai dengan Rp1.000.000,00. Sedangkan untuk tarif bea meterai Rp6.000,00 digunakan untuk surat perjanjian dan surat lainnya yang digunakan sebagai alat pembuktian atas perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang mempunyai sifat perdata, akta notaris termasuk salinan akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah dan dokumen lainnya yang digunakan sebagai alat pembuktian pada pengadilan yang nominal jumlahnya lebih dari Rp1.000.000,00.
Namun, pada tanggal 26 Oktober 2020 Presiden Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai (UU Bea Meterai). Melalui pengesahan tersebut, ditetapkan tarif bea meterai tunggal menjadi Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) dari tarif yang sebelumnya dua tarif yaitu Rp3.000,00 (tiga ribu rupiah) dan Rp6.000,00 (enam ribu rupiah). Tarif bea meterai tunggal ini berlaku mulai 1 Januari 2021.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan aturan khusus atas tata cara pelunasan selisih kurang bea meterai yang terutang dari dokumen berupa cek dan bilyet giro melalui Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-01/PJ/2021. Aturan baru ini ditetapkan untuk memberikan kemudahan administrasi pelunasan selisih kurang bea meterai yang terutang atas dokumen berupa cek dan bilyet giro sebagai pelaksanaan UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai. Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, yaitu tanggal 8 Januari 2021. Pada Pasal 3 ayat (1) PER-01/PJ/2021 menjelaskan apabila dalam satu kasus cek atau bilyet giro belum selesai dibuat tetapi sudah dibubuhi tanda bea meterai lunas dengan tarif bea meterai lebih kecil dari yang seharusnya terutang maka kekurangan pembayaran bea meterai harus dibayar oleh pihak yang terutang, bank penyedia, atau pembawa cek dan bilyet giro. Pelunasan kekurangan pembayaran bea meterai tersebut dapat dilakukan melalui mesin teraan meterai digital atau melalui surat setoran pajak (SSP).
Bila kekurangan pembayaran bea meterai dilunasi dengan mesin teraan meterai digital, pembubuhan teraan bea meterai lunas dapat dilakukan oleh penerbit cek atau bilyet giro selaku pihak yang terutang, bank penyedia, pembawa cek atau bilyet giro, atau oleh pihak lain sepanjang telah memiliki izin pembubuhan tanda bea meterai lunas dengan menggunakan mesin teraan meterai digital.
Teraan bea meterai lunas paling sedikit memiliki unsur-unsur berupa tulisan nama pembubuh teraan bea meterai lunas, tulisan nominal selisih kurang bea meterai, dan tulisan tanggal, bulan, dan tahun dilaksanakannya pembubuhan teraan bea meterai lunas. Sedangkan untuk pelunasan selisih kurang bea meterai dengan menggunakan SSP dilakukan dengan membayar selisih kurang bea meterai ke kas negara dengan menggunakan formulir SSP atau kode billing dengan kode akun pajak 411611 dan kode jenis setoran 100. Formulir SSP atau kode billing sebagaimana harus memuat keterangan mengenai nomor sen cek dan/atau bilyet giro.
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan aturan mengenai petunjuk pelaksanaan pembubuhan cap bukti pelunasan selisih kurang bea meterai. Aturan baru itu tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-01/PJ/2021. Tujuan dari diterbitkannya surat edaran tersebut adalah untuk memberikan kejelasan dan keseragaman pelaksanaan pembubuhan cap bukti pelunasan selisih kurang bea meterai pada cek dan/atau bilyet giro. Adapun cara mengajukan permintaan pembubuhan cap bukti pelunasan selisih kurang bea meterai tersebut yakni memastikan bahwa terdapat pembayaran selisih kurang bea meterai yang terutang dengan menggunakan surat setoran pajak.
Selanjutnya, permintaan pembubuhan cap bukti pelunasan tersebut dapat diajukan dengan menyampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pihak yang mengajukan permintaan pembubuhan cap bukti penulasan diadministrasikan atau KPP terdekat. Permohonan permintaan pembubuhan cap bukti pelunasan selisih kurang bea meterai ini hanya dapat diajukan oleh nasabah yang menerbitkan cek dan/atau bilyet giro, bank penyedia cek dan/atau bilyet giro, atau oleh pembawa cek dan/atau bilyet giro.
Selanjutnya, petugas kantor di KPP yakni petugas Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) akan memberikan formulir permintaan pembubuhan cap bukti pelunasan. Jika formulir telah diisi, selanjutnya serahkan formulir tersebut kepada petugas TPT dan melampirkan cek dan/atau bilyet giro yang akan dibubuhi cap bukti pelunasan selisih kurang bea meterai serta surat setoran pajak (SSP) yang telah mendapatkan nomor transaksi penerimaan negara (NTPN).
Apabila dokumen yang dipersyaratkan sudah memenuhi kelengkapan, petugas TPT akan memberikan bukti penerimaan surat (BPS) dan meneruskan permintaan pembubuhan cap bukti pelunasan selisih kurang bea meterai kepada Kepala Seksi Pelayanan. Namun, apabila dokumen yang dipersyaratkan belum memenuhi kelengkapan, permintaan pembubuhan cap bukti pelunasan selisih kurang bea meterai dikembalikan kepada pihak yang mengajukan permintaan pembubuhan cap bukti pelunasan selisih kurang bea meterai.
Proses selanjutnya yakni, Kepala Seksi Pelayanan akan meminta Pelaksana Seksi Pelayanan akan memastikan beberapa hal antara lain kebenaran SSP yang telah mendapatkan NTPN melalui konfirmasi NTPN pada sistem informasi yang tersedia, kesesuaian nilai pembayaran dalam SSP yang telah mendapatkan NTPN dengan jumlah selisih kurang bea meterai yang harus dilunasi, kesesuaian keterangan nomor seri cek dan/atau bilyet giro yang tercantum dalam SSP dengannomor seri cek dan/atau bilyet giro yang dimintakan cap bukti pelunasan selisih kurang Bea Meterai, dan kesesuaian kode akun pajak dan kode jenis setoran, yaitu kode akun pajak 411611 dan kode jenis setoran 100.
Jika kesesuaian dokumen sudah terpenuhi, pelaksana Seksi Pelayanan membubuhkan cap bukti pelunasan selisih kurang bea meterai pada sisi muka cek dan/atau bilyet giro. Kemudian, Kepala Seksi Pelayanan membubuhkan tanda tangan, nama terang, dan cap KPP pada sisi belakang cek dan/atau bilyet giro. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membubuhkan cap bukti pelunasan selisih kurang bea meterai adalah cap bukti pelunasan selisih kurang bea meterai dibubuhkan pada sisi muka cek atau bilyet giro, dan cap bukti pelunasan selisih kurang bea meterai dibubuhkan sedemikian rupa sehingga tidak menutupi atau menimpa unsur atau informasi utama yang telah tercantum dalam cek atau bilyet giro, khususnya unsur Magnetic Ink Character Recognition (MICR).
Selain itu pula, bentuk cap bukti pelunasan selisih kurang bea meterai paling sedikit memenuhi unsur-unsur antara lain tulisan “BEA METERAI LUNAS”, tulisan nominal selisih kurang bea meterai, dan tulisan identitas KPP. Tahapan terakhir yakni pelaksana Seksi Pelayanan akan mengembalikan cek dan/atau bilyet giro yang telah dibubuhi cap bukti pelunasan selisih kurang bea meterai, tanda tangan, nama terang, dan cap KPP kepada pihak yang mengajukan permintaan dan melakukan pengadministrasian serta pengawasan berupa pencatatan atas pembubuhan cap bukti pelunasan selisih kurang bea meterai yang telah dilaksanakan.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 5592 kali dilihat