Seandainya Patuh

Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
"Seandainya saya diinformasikan sebelumnya terkait sanksi terlambat bayar pajak ini, saya tidak akan terlambat bayar, Pak," jelas seorang wajib pajak yang mengeluhkan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak (STP) kepada Account Representative di kantor pajak. Kejadian seperti ini boleh jadi banyak dijumpai di kantor pajak.
Dalam kasus lain, saya jadi teringat pernah terlibat diskusi dengan seorang teman saat di bangku sekolah yang sekarang sudah memiliki usaha sendiri. “Seandainya usaha saya berkembang dan memiliki banyak cabang, pajak yang harus saya bayar pasti besar, dan saya tidak akan lupa bayar pajak tepat waktu,” jelas teman saya ketika itu. Penjelasan ini boleh jadi juga banyak terjadi dalam interaksi antara petugas pajak dengan wajib pajak.
Dari dua dialog di atas, ada dua hal yang menarik untuk dibahas dan diselisik lebih mendalam. Pertama, kata “seandainya” sering kali digunakan untuk memindahkan subjek yang harusnya “dipersalahkan” ketika terjadi pelanggaran atau kegagalan pemenuhan ketentuan atau aturan yang berlaku. Ketika aturan baru diberlakukan, masalah kurangnya sosialisasi sangat mungkin menjadi isu yang kemudian menjadi pembenaran atas belum terpenuhinya pelaksanaan ketentuan sesuai aturan yang berlaku.
Sangat jarang kita menemukan kasus yang menunjukkan bahwa si pembicara bercermin pada diri sendiri ketika berbicara menggunakan kata “seandainya”. Misalnya, ketika peraturan lalu lintas terkait pemberlakuan ganjil-genap di wilayah tertentu baru diberlakukan, masih banyak yang mengeluhkan masalah sosialisasi aturan. Namun, jarang yang mengambil inisiatif bahwa saya yang juga harus aktif mencari informasi agar tidak melakukan pelanggaran atas ketentuan yang baru diberlakukan.
Kantor pajak memang perlu gencar memberikan sosialisasi dan edukasi perihal peraturan perpajakan. Jangankan yang baru saja terbit, ketentuan yang sudah lama berlaku juga perlu ditekankan dan diingatkan kembali kepada masyarakat.
Namun, kita juga jangan mengabaikan "asas fiksi hukum" (presumption iures de iure). Bahwasanya, saat peraturan tersebut telah diundangkan, pada saat itu juga setiap warga dianggap mengetahuinya (ignorare legis est lata culpa). Oleh karena itu, jika ada warga yang tidak tahu (atau setidaknya belum tahu) ihwal ketentuan pajak beserta sanksinya, tidak serta-merta ia terbebas dari ancaman sanksi perpajakan (ignorantia jurist non excusat).
Keluhan dari seorang wajib pajak yang mengeluhkan diterbitkannya STP karena terlambat bayar atau lapor pajak, karena merasa tidak diinformasikan sebelumnya pada kenyataannya mungkin masih saja terjadi di banyak kantor pajak. Namun, jika ada wajib pajak yang mampu bercermin pada diri sendiri untuk menyadari kesalahan yang dilakukan, maka ini saya anggap respons terbaik. Seandainya saya patuh melaksanakan kewajiban pajak, maka saya tidak akan terkena sanksi administrasi perpajakan. Respons ini yang dapat menjadi cikal-bakal tumbuhnya kesadaran pajak dalam diri wajib pajak.
Saya menyebut ini sebagai konsep “seandainya patuh”. Ketika respons “seandainya patuh” ini menjadi reaksi awal dari wajib pajak ketika melakukan kesalahan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, maka ada reaksi positif dari wajib pajak. Reaksi positif seperti ini akan sangat bermanfaat bagi wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakan berikutnya, karena wajib pajak akan aktif meminta informasi terkait pelaksanaan ketentuan perpajakan kepada petugas pajak. Respons seperti ini akan sangat positif dalam meningkatkan kepatuhan pajak.
Kedua, penggunaan kata “seandainya” dalam dialog kedua di awal artikel ini menunjukkan harapan di masa depan. Kondisi saat ini boleh jadi usaha wajib pajak belum berkembang sehingga menjadi “pembenaran” wajib pajak yang belum melakukan pembayaran pajak dalam jumlah besar. Respons seperti ini tidak salah karena boleh jadi ini merupakan harapan sekaligus komitmen wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
Namun, bukan berarti pelaksanaan kewajiban pajak dengan benar hanya dilakukan ketika usaha wajib pajak sudah berkembang dan memiliki banyak cabang usaha. Bukan juga menjadi pembenaran wajib pajak yang baru memiliki usaha ketika tidak tertib dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Justru kewajiban perpajakan dengan benar dan tertib harus sudah dilakukan sejak wajib pajak didirikan dan/atau melaksanakan kegiatan untuk memperoleh penghasilan.
Bercermin dari diri saya pribadi, saya memiliki pemahaman bahwa ketika saya mendaftar untuk menjadi bagian dari suatu perkumpulan atau sebagai anggota dari komunitas atau menjadi pengguna jasa suatu institusi dan lembaga, saya harus mengerti kewajiban yang harus saya penuhi dan hak yang dapat saya peroleh dari keanggotaan saya tadi. Contoh yang mudah adalah ketika kali pertama saya terdaftar sebagai nasabah suatu bank, saya harus memahami terkait biaya-biaya administrasi yang harus saya keluarkan setiap bulan serta kewajiban lain yang harus saya lakukan. Saya juga harus memahami berapa bunga atau bagi hasil yang saya dapatkan sebagai hak saya serta pihak-pihak yang dapat saya hubungi jika memerlukan informasi perbankan lebih lanjut.
Sama halnya ketika masyarakat atau badan usaha mendaftarkan diri sebagai wajib pajak dan memperoleh nomor pokok wajib pajak (NPWP). Sebaiknya wajib pajak sudah memiliki informasi dan memahami hak dan kewajiban sebagai wajib pajak, ketika mulai terdaftar sebagai wajib pajak. Apalagi saat ini sistem pajak di Indonesia menganut self assessment, yang artinya di awal pemenuhan kewajiban perpajakan, wajib pajak diberi kesempatan untuk melakukan penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak sendiri. Adapun jika di kemudian hari ada ketentuan perpajakan baru yang berdampak pada pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan, maka wajib pajak dapat meminta informasi dari petugas pajak.
Di sisi lain, otoritas perpajakan atau kantor pajak juga memiliki fungsi edukasi. Kantor pajak berkewajiban untuk memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban wajib pajak ketika memproses permohonan pendaftaran wajib pajak. Sosialisasi terkait ketentuan perpajakan baru yang berdampak pada pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan juga harus dilakukan. Keterbatasan jangkauan seluruh wajib pajak diupayakan dapat diminimalisir dengan penyebarluasan informasi aturan perpajakan dengan menggunakan berbagai saluran dan media, baik dilakukan langsung secara tatap muka, melalui media cetak, maupun secara daring dengan memanfaatkan teknologi.
Kesalahan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan bisa jadi masih akan terjadi. Respons wajib pajak atas hal ini yang perlu mendapat perhatian. Konsep “seandainya patuh” menjadi gambaran bahwa wajib pajak menyadari kesalahan yang dilakukan, bukan mencari alasan dan pembenaran dari kesalahan yang dilakukan. Menyadari kesalahan berarti akan kecil kemungkinan wajib pajak melakukan kesalahan serupa di kemudian hari. Dan ini adalah modal awal tumbuhnya kesadaran pajak sukarela. Dan perlahan kata-kata “seandainya patuh” akan tergantikan dengan kalimat “saya patuh pajak secara sukarela”.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 377 kali dilihat