Pesan dari Tepian Sungai Kuantan

Oleh: Ahmad Dahlan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Kontributor Foto: Teddy Ferdiansyah, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Hari masih pagi. Matahari belum menampakkan diri. Hawa udara Pekanbaru yang biasanya terasa panas, kali itu sejuk. Di beberapa tempat, masih terlihat kabut tipis-tipis. Jalan-jalan masih basah, bekas hujan semalam.
Pagi itu, Sabtu (23/7), sebuah perjalanan panjang dimulai. Peserta perjalanan yang terdiri dari pemotor dan pengendara mobil akan menuju sebuah kabupaten di provinsi Riau. Adalah kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing). Mereka adalah rombongan pegawai Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Riau. Saya ada di dalamnya. Festival Pacu Jalur adalah tujuan kami.
Berawal dari Konten Viral
Beberapa waktu lalu, dunia maya sempat diramaikan oleh adegan seorang bocah kecil yang menari lincah di ujung jalur—perahu panjang khas Kuantan Singingi—saat memandu timnya berlaga. Tarian penuh energi itu tak hanya membuat penonton di tepian Sungai Kuantan terkesima, tetapi juga mendunia hingga ditiru para pesepak bola sebagai selebrasi kemenangan.
Pekan lalu, momen serupa kembali hadir dalam Festival Pacu Jalur di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau. Ajang budaya yang digelar rutin setiap Agustus ini berlangsung lebih istimewa karena sekaligus memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-80 dan dibuka oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Ribuan warga dan wisatawan memadati tepian Sungai Kuantan, menjadikan festival ini bukan sekadar perlombaan, tetapi juga pesta rakyat yang penuh pesona.
Sejarah Pacu Jalur
Pacu jalur bukan tradisi baru. Sejarahnya panjang, berakar sejak abad ke-17 ketika Sungai Kuantan masih menjadi jalur transportasi utama masyarakat. Perahu panjang digunakan untuk mobilitas sehari-hari, lalu dilombakan pada momen-momen penting, seperti perayaan keagamaan atau pesta kerajaan.
Seiring perjalanan waktu, tradisi ini berkembang menjadi perlombaan tahunan untuk menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Pemerintah daerah kemudian menetapkannya sebagai agenda wisata budaya, bahkan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pacu jalur pun kini bukan hanya milik masyarakat Kuansing, tetapi juga menjadi ikon budaya Riau di mata nasional dan internasional.
Jalur, perahu panjang yang menjadi ikon festival ini, dibuat dari sebatang kayu besar yang dipahat dengan teliti. Panjangnya bisa mencapai 25 hingga 40 meter, mampu memuat 40–60 orang pendayung. Setiap jalur dihiasi ukiran dan cat warna-warni yang mencerminkan identitas nagori (desa) pemiliknya.
Dalam perlombaan, dua jalur beradu cepat di lintasan Sungai Kuantan sejauh satu hingga dua kilometer. Kemenangan tidak hanya ditentukan oleh tenaga, tetapi juga kekompakan. Tukang tari, sosok yang berdiri di ujung jalur, memandu irama dayungan dengan gerakan menari khas, memompa semangat awak perahu sekaligus menghibur penonton. Sorakan dari tepian sungai, tabuhan musik tradisonal, hingga suara petasan kembang api membuat suasana semakin hidup.
Suasana Festival
Festival Pacu Jalur adalah magnet yang menyatukan ribuan orang. Sejak pagi, jalan-jalan di Teluk Kuantan sudah ramai. Pedagang kaki lima menjajakan makanan khas seperti lempuk durian, lemang, dan kerupuk kuah. Bendera merah putih berkibar di setiap sudut, menandai bahwa pacu jalur adalah bagian dari perayaan kemerdekaan.
Di tepian Sungai Kuantan, suasana semakin semarak. Tribun penonton penuh sesak. Warga duduk beralaskan tikar, sebagian lagi berdiri di bawah pepohonan rindang. Saat perlombaan dimulai, sorakan membahana. Penonton bersorak memanggil nama jalur kebanggaan mereka. Anak-anak melompat kegirangan, sementara orang tua bertepuk tangan penuh semangat.
Ketika jalur melaju kencang di permukaan sungai, air berhamburan, membentuk percikan yang memantulkan cahaya matahari sore. Tukang tari bergoyang luwes di ujung jalur, sementara awak mendayung serempak dengan wajah tegang bercampur semangat. Dentuman petasan diiringi suara sorak-sorai penonton membuat detik-detik pacu terasa sakral sekaligus menegangkan.
Lebih dari sekadar lomba, festival ini menghadirkan euforia yang menyatukan. Masyarakat desa yang berbeda, wisatawan lokal hingga mancanegara, semua larut dalam kegembiraan yang sama. Bagi masyarakat Kuansing, pacu jalur adalah kebanggaan, identitas, sekaligus perekat silaturahmi.
Pesona Alam di Sekitar Sungai Kuantan
Selain atmosfer festival yang meriah, keindahan alam di sekitar Sungai Kuantan juga menjadi daya tarik tersendiri. Sungai ini mengalir membelah perbukitan hijau dan hutan tropis, menghadirkan panorama alami yang menyejukkan mata. Air sungai yang jernih berkilau terkena cahaya matahari, berpadu dengan langit biru dan awan putih yang bergerak pelan.
Di beberapa sudut, pepohonan besar tumbuh rindang, memberi teduh bagi penonton yang memilih duduk santai sambil menikmati lomba. Saat sore tiba, cahaya matahari keemasan menyapu permukaan air, menambah nuansa magis pada jalannya pertandingan. Tak jarang, wisatawan yang datang untuk menyaksikan festival juga menyempatkan diri menjelajahi pedesaan sekitar yang masih asri, atau sekadar menikmati suasana malam di Teluk Kuantan yang ramah dan hangat.
Festival pacu jalur dengan sendirinya bukan hanya tontonan, tetapi juga undangan untuk mengenal lebih dekat keindahan alam Kuansing. Perpaduan tradisi, budaya, dan alam yang indah membuat siapa pun ingin kembali lagi.
Pajak di Teluk Kuantan
Di balik semaraknya festival, denyut ekonomi berputar dengan cepat. Pedagang kecil, pemilik penginapan, penyedia transportasi, hingga perajin jalur semuanya mendapat manfaat. Perputaran ekonomi ini pada akhirnya berkontribusi bagi pembangunan daerah.
Di Kuansing, Direktorat Jenderal Pajak hadir melalui Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan Teluk Kuantan sebagai garda depan pelayanan perpajakan. Peran itu penting untuk mendampingi masyarakat dan pelaku usaha dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Layaknya para pendayung jalur yang harus kompak agar bisa melaju cepat, demikian pula pajak hanya akan optimal jika semua pihak ikut berkontribusi.
Festival Pacu Jalur di Kuantan Singingi adalah bukti betapa kuatnya tradisi lokal menyatu dengan kehidupan masyarakat. Ia bukan sekadar perlombaan perahu, melainkan pesta budaya, ajang silaturahmi, motor ekonomi, dan cermin kebersamaan. Di tepian Sungai Kuantan, kita bisa menyaksikan bagaimana kayuhan dayung, lantunan musik tradisional, serta keindahan alam berpadu menjadi sebuah harmoni yang memikat hati.
Seperti pesan yang diajarkan jalur: kekompakan adalah kunci menuju kemenangan. Pesan itu pula yang relevan dalam kehidupan berbangsa—bahwa hanya dengan kebersamaan, kita bisa melaju lebih jauh menuju Indonesia yang lebih maju.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 9 kali dilihat