Pajak dan Ilmu Hikmah

Oleh: Ahmad Dahlan, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Lagi-lagi masalah pajak menjadi sorotan. Dalam waktu beberapa minggu belakangan, tema-tema tentang pajak menjadi perbincangan hangat, baik di media daring maupun luring. Masalahnya beragam, dari mulai pedagang yang marah-marah karena usahanya yang baru mulai untung harus bayar pajak, mahasiswa yang katanya wajib NPWP, pajak penulis yang dirasa kurang adil dan tentang keharusan melaporkan smartphone dalam SPT Tahunan.
Kasus smartphone itu mencuat, bermula ketika beberapa hari lalu, DJP melalui akun Twitter resminya @DitjenPajakRI menyampaikan, "Lagi heboh smartphone yang baru rilis ya? Ingat, tambah smartphone di kolom harta SPT Tahunannya #SadarPajak."
Cuitan itu langsung mendapat tanggapan beragam. Beberapa pihak bahkan menilai jika kebijakan itu dilakukan untuk menutup penerimaan negara. Bahkan,tokoh sekelas Rizal Ramli pun ikut berkomentar negatif di akun facebooknya. "Saking paniknya uber setoran cicilan utang, HP (handphone) harus didaftarkan sebagai harta. Depresiasi HP sangat tinggi, kok ilmunya cuman segitu Mbok Srie," tulis tokoh yang pernah menjabat sebagai Menko Kemaritiman di Kabinet Kerja Jokowi.
Terkait pelaporan smartphone ini, pemerintah sudah menjelasakan, baik melalui menteri keuangan maupun dirjen pajak, bahwa aturan itu sebenarnya sudah ada sejak 17 tahun yang lalu, di mana harta, wajib dilaporkan ke dalam SPT Tahunan. Smartphone ini termasuk harta, seperti halnya kendaraan, perhiasan, tabungan, rumah dan sebagainya. Yang diminta hanya dilaporkan saja, bukan untuk dibayar pajaknya, Kalau ada yang membantah bahwa ponsel sudah dikenai PPN ketika pembelian karenannya tak perlu lapor di SPT lagi, itu benar tapi tidak relevan.. Tujuan pelaporan itu adalah sebagai bahan verifikasi atas harta beserta penghasilan dari wajib pajak. Di sisi lain, PPN dan PPh dikenakan atas objek yang berbeda.
Lalu muncul isu paling anyar, yaitu mengenai pajak haram. Bermula ketika pada tanggal 20 September lalu Direktorat Jenderal Pajak mengadakan kegiatan Pajak Bertilawah yang diikuti 12.035 pegawai DJP dari 366 satuan kerja. Setelahnya muncul cuitan Pak Zaim Saidi di akun tweeternya, "Pajak haram. Dosanya ga akan hilang hanya dengan tilawah Qur'an. Berhentilah memajaki. Hijrah kerja lain."
Isu pajak haram sebenarnya sudah dari dulu, dan sampai hari ini masih timbul perdebatan. Ada ulama yang mengharamkan pun banyak ulama yang menghalalkan, lengkap dengan dalilnya masing-masing. Tapi cuitan orang yang mengaku dirinya pemikir Islam, yang meremehkan kebaikan pegawai pajak bertilawah Qur'an secara serentak itu amat sangat tidak elok. Mereka sedang melakukan sesuatu dengan mengharap rida Allah, maka biarkan Allah yang menilai perbuatan mereka.
Sangat disayangkan isu-isu hangat mengenai pajak belakangan ini bukan tentang hal-hal positif, tapi melulu sorotan soal-soal negatif. Lantas apakah kondisi seperti ini akan berpengaruh buruk terhadap kinerja DJP? Apakah hal-hal negative akan selalau menghasilkan sesuatu yang negatif?
Dalam dunia psikologi kita mengenal istilah reframing, yaitu membingkai ulang sebuah kejadian dengan mengubah sudut pandang tanpa mengubah kejadian itu sendiri. Misalnya, kisah seseorang yang sedang berteduh di bawah pohon, tiba-tiba wajahnya kejatuhan kotoran burung yang sedang terbang di atasnya. Alih-alih kesal, orang itu justru tersenyum sambil bergumam dalam hati, "untung kerbau tidak bias terbang."
Bagi Anda yang pernah belajar manajemen pasti mengenal bentuk analisa dalam organisasi yang disebut SWOT Analysis. Bentuk analisa yang namanya diambil dari empat komponen Strength- Weaknesses-Opportunities-Threats ini, mengajarkan bahwa apapun kondisi yang dialami organisasi bisa digunakan sebagai keuntungan untuk mencapai tujuan apabila diolah dengan baik, termasuk kondisi negatif yaitu weaknesses (kelemahan) dan threats (hambatan).
Terhadap situasi yang sedang terjadi saat ini, DJP tidak bias mengubahnya. Yang bisa dilakukan hanyalah mengubah persepsi, bahwa banyaknya protes yang dilakukan masyarakat menandakan masyarakat saat ini sangat perhatian terhadap institusi penghimpun penerimaan Negara ini. Sesuatu yang sebelum-sebelumnya jarang terjadi, karena di negara mana pun pajak adalah sesuatu yang sangat tidak populer, bahkan mendengarnya saja, kebanyakan orang sudah alergi.
Selanjutnya, DJP dapat memanfaatkan situasi ini menjadi sesuatu yang menguntungkan, yaitu memperkenalkan pajak kepada masyarakat luas secara gratis. Selama ini berbagai upaya telah dilakukan oleh direktorat yang mndapatkan penghargaan tertinggi Service Quality Award 2016 kategori layanan masyarakat ini, agar pajak dikenal oleh masyarakat luas, yang terbaru adalah pajak bertutur, tentu saja dengan biaya yang tidak sedikit.
Dengan seringnya masalah pajak menjadi pembicaraan hangat di media, bahkah beberapa kali menjadi tranding topic di media sosial, membuat masyarakat yang selama ini tidak mengenal pajak, menjadi tertarik untuk mempelajarinya secara suka rela.
Beberapa selebritiis terkadang rela membayar puluhan juta kepada media untuk menyebar berita negatif tentang dirinya demi mendongkrak popularitasnya. Bagi selebritis yang belum terkenal, cara ini efektif untuk membuatnya segera menjadi bahan perbincangan. Selebritis serior juga sering memakai cara ini untuk mendongkrak kembali popularitas yang tengah meredup.
Saya tidak bermaksud menyarankan DJP menempuh cara-cara yang kurang elok seperti yang ditempuh oleh para selebritis itu. Bukan. Maksud saya, jika para selebritis saja secara sengaja meproduksi dan memodifikasi berita-berita negatif, DJP seharusnya juga tak perlu khawatir berlebihan dengan berita negatif. Karena seburuk apa pun keadaan, akan selalu patut untuk merenungkan sebuah petuah lama: ambil saja ‘hikmahnya’.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
- 493 kali dilihat