Oleh: Nenie Wulansari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

“Bu, yang wajib itu ‘kan membayar zakat, mengapa kita harus membayar pajak?” tanya siswa berusia 15 tahun itu kepada saya. “Dheg!” Pertanyaan itu sungguh di luar prediksi saya. Sebagai salah satu fasilitator Pajak Bertutur 2017, pertanyaan --yang tidak terdapat dalam skrip-- itu tersimpan di kepala saya. Saya harus menjawabnya dengan tepat.

Kilas Balik

Pajak Bertutur adalah sebuah kegiatan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai implementasi dari Program Inklusi Kesadaran Pajak dalam Pendidikan. Kegiatan ini  bertujuan untuk menanamkan kesadaran pajak sejak dini kepada peserta didik agar tumbuh kepedulian terhadap pajak sebagai sumber utama penerimaan negara.

Pajak Bertutur dilaksanakan secara serentak oleh unit kerja di seluruh Indonesia. Tak terkecuali di tempat saya bekerja saat itu: KPP Pratama Bekasi Utara. Situs Pajak mencatatkan debutnya yang menghasilkan keluarbiasaan: memecahkan rekor MURI dengan melibatkan 127.459 siswa se-Indonesia.

Pada tahun 2023, sejumlah 34 Kanwil DJP, 352 Kantor Pelayanan Pajak (KPP), dan 204 Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) di seluruh Indonesia melaksanakan Pajak Bertutur. Saat itu, tercatat 28.454 siswa dari 71 sekolah dasar (SD) sederajat, 110 sekolah menengah pertama (SMP) sederajat, 307 sekolah menengah atas (SMA) sederajat, 33 perguruan tinggi, dan satu sekolah luar biasa (SLB) yang tersebar di berbagai kota di Indonesia mengikutinya. Sungguh sebuah kegiatan yang masif dan menyalakan harapan untuk menciptakan kesadaran pajak sejak dini.

Kembali ke tahun 2017. Saat itu, saya menjadi fasilitator pada salah satu SMA Negeri di Bekasi Utara. Bagi saya, bertemu dengan siswa untuk memperkenalkan pajak adalah hal membanggakan. Mereka adalah generasi masa depan yang akan berperan melanjutkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara berkewajiban mengedukasi mereka sedini mungkin, agar mereka dapat mengetahui dan memahami peran pajak dalam pembangunan.

Dalam kegiatan tersebut, kami terbagi ke dalam dua tim. Setiap tim terdiri dari tiga orang yang bertanggung jawab untuk mengedukasi masing-masing satu kelas. Masih lekat dalam ingatan saya, saat pintu kelas berwarna coklat terbuka. Para siswa begitu antusias menyambut kami. Seketika itu, saya merasakan kecemasan. Semata-mata karena untuk pertama kalinya, saya bertemu dengan siswa untuk berinteraksi. Mengemban misi menumbuhkan kesadaran pajak sejak dini, kami merancang agar Pajak Bertutur dapat berjalan dengan menyenangkan.

Menghindari kekakuan, kami tak hanya berkutat pada materi pokok yang seragam. Pada Pajak Bertutur, kami mengajak siswa untuk bermain. Hasilnya, suasana kelas menjadi aktif dan riuh. Celetuk para peserta saling bersahut-sahutan, sesekali diiringi gelak tawa.

Selain memancing siswa dengan sejumlah pertanyaan sederhana, mereka juga berkesempatan untuk menyampaikan unek-unek terkait pajak. Sejalan dengan harapan saya, Pajak Bertutur dapat menggali sebanyak-banyaknya pengetahuan siswa tentang pajak. Hal ini sekaligus merangsang daya nalar dengan mendorong siswa untuk berani bertanya dan mengemukakan pendapatnya. Selain dapat digunakan sebagai bahan evaluasi, hal ini juga berguna untuk mengukur pemahaman siswa dari waktu ke waktu, walaupun hanya tercermin dari beberapa sekolah yang terpilih.

Tawaran Solusi

Hingga saat ini, Pajak Bertutur telah berlangsung dengan sangat baik. Pajak Bertutur memanggul asa besar yang melekat di pundaknya, senantiasa beradaptasi agar relevan dengan zaman. Demikian pula dengan rencana pelaksanaan kegiatan Pajak Bertutur 2024 yang akan berlangsung serentak pada 7 Agustus. Tahun ini, Pajak Bertutur bertema “Lampaui Batas, Bersatu untuk Indonesia Emas”, dan tagline “Pajak Bertutur 2024: Sehari Mengenal Selamanya Bangga” dengan pesan kunci “Pajak Wujudkan Cita-Citaku”.

Terdapat tiga aspek penentu keberhasilan pelaksanaan Pajak Bertutur. Pertama, kualitas pemateri dan kemampuan berkomunikasinya. Target dari kegiatan ini sangatlah besar. Sehingga, pelaksanaannya memerlukan banyak pegawai yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Kemampuan komunikasi dari fasilitator Pajak Bertutur menjadi hal penting. Penguasaaan 3V (vocal, verbal, dan visual) wajib menjadi modal awal. Fasilitator perlu meminimalkan penggunaan bahasa birokratis yang kaku guna menjaga antusiasme peserta. 

Solusinya, keahlian komunikasi dan penyediaan materi bahan ajar tematik yang seragam dari Direktorat Jenderal Pajak akan menjadi duet kuat penentu kesuksesan Pajak Bertutur. Pemilihan fasilitator sedapat mungkin mempertimbangkan kemampuan pegawai, sehingga setiap satuan kerja dapat menghadirkan Pajak Bertutur yang berkesan bagi para generasi muda ini.

Kedua, keberlanjutan kegiatan adalah hal penting. Dengan keberlanjutan yang baik, pemantauan dan evaluasi dapat dilakukan. Evaluasi tidak semata-mata berkutat kepada capaian statistik misalnya jumlah maupun output peserta yang mengikuti kegiatan. Evaluasi juga mencakup outcome, misalnya: dalam bentuk apa kesadaran masyarakat dapat dinilai?

Di dalam benak saya, salah satu outcome adalah semakin banyaknya peserta Pajak Bertutur yang berpartisipasi dalam kegiatan DJP. Misalnya, mereka dapat mengikuti sayembara menulis artikel perpajakan, lomba debat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan sebagainya. Selanjutnya meskipun terasa masih jauh panggang dari api, upaya untuk menghadirkan kurikulum bertema “cinta pajak” di sekolah-sekolah bisa menjadi bentuk lain dari rangkaian inklusi kesadaran pajak dengan Pajak Bertutur sebagai pemantiknya.

Ketiga, mengevaluasi target dan sasaran peserta Pajak Bertutur. Saat ini, terdapat tiga jenjang yang menjadi target, yaitu SD, SMP, dan SMA. Berdasarkan pengalaman, peserta yang berasal dari siswa SMA jauh lebih dapat memahami maksud dan tujuan Pajak Bertutur. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya interaksi antara pemateri dan peserta. Pemikiran kritis dan keingintahuan yang tumbuh di benak mereka menjadi krusial untuk benar-benar dijawab secara langsung oleh para praktisi. Mempertimbangkan jumlah fasilitator yang sangat terbatas, mempertajam fokus target Pajak Bertutur kepada siswa SMA akan berdampak lebih kuat. Namun demikian, perlu kita pahami juga bahwa audiens siswa pendidikan tingkat dasar juga harus kita sentuh demi membangun kesadaran pajak sejak dini.

Pajak Bertutur harus terus bergulir dan menjelma menjadi salah satu tonggak penggerak kesadaran pajak masyarakat. Hal ini akan menjadikan pajak menjadi semakin kuat, sehingga penerimaan negara semakin optimal. Saya kembali terkenang dengan jawaban singkat saya kepada siswa peserta Pajak Bertutur 2017: kita harus membayar pajak untuk membangun peradaban.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.