Oleh: Hudyoro Indreswara, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) baru-baru ini melalui siaran pers, menegaskan implementasi penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk orang pribadi penduduk, yang dimulai sejak 14 Juli 2022. Kebijakan ini merupakan bagian dari dukungan DJP terhadap program Satu Data Indonesia, yang bertujuan untuk menyelaraskan data perpajakan dengan data kependudukan nasional. Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan 112/PMK.03/2022 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2023.

Selain itu, diperkenalkan juga NPWP 16 digit untuk wajib pajak badan, orang pribadi nonpenduduk, dan instansi pemerintah. Langkah ini menunjukkan komitmen DJP dalam memperkuat sistem perpajakan yang lebih terintegrasi dan efisien. Namun, implementasi kebijakan ini membawa beberapa tantangan yang perlu diatasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Salah satu inovasi penting yang diperkenalkan dalam kebijakan ini adalah Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU). NITKU diberikan kepada wajib pajak pusat maupun cabang dan berfungsi sebagai identitas perpajakan yang melekat pada NPWP. NITKU merupakan penanda lokasi atau tempat wajib pajak berada, yang membantu dalam pelacakan dan pengawasan kegiatan usaha. Dengan adanya NITKU, DJP dapat lebih mudah memetakan kegiatan ekonomi dan memastikan kepatuhan perpajakan di berbagai lokasi usaha.

Melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/PJ/2024 tentang Penggunaan Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak dengan Format 16 (enam belas) Digit, dan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha dalam Layanan Administrasi Perpajakan (PER-6), DJP merilis layanan perpajakan yang berbasis NIK sebagai NPWP, NPWP 16 digit, dan NITKU. Sejak 1 Juli 2024, terdapat tujuh layanan administrasi yang dapat diakses menggunakan ketiga nomor identitas tersebut, yaitu:

  1. pendaftaran Wajib Pajak (e-Registration),
  2. akun profil Wajib Pajak pada DJP Online,
  3. informasi konfirmasi status Wajib Pajak (info KSWP),
  4. penerbitan bukti potong dan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 (e-Bupot 21/26),
  5. penerbitan bukti potong dan pelaporan SPT Masa PPh Unifikasi (e-Bupot Unifikasi),
  6. penerbitan bukti potong dan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 instansi pemerintah dan SPT Masa PPh Unifikasi instansi pemerintah (e-Bupot Instansi Pemerintah), dan
  7. pengajuan keberatan (e-Objection).

Meskipun tujuh layanan tersebut dapat diakses dengan NIK, NPWP 16 digit, dan NITKU, layanan tersebut juga masih dapat diakses dengan NPWP 15 digit. Tentu ini merupakan langkah matang yang telah dipertimbangkan oleh DJP guna mempermudah transisi penerapan NPWP 16 digit.

Penggunaan NIK sebagai NPWP sendiri tentu menawarkan berbagai manfaat:

  1. Integrasi data kependudukan dan perpajakan dapat mengurangi duplikasi data dan meningkatkan akurasi informasi Wajib Pajak. Hal ini akan membantu DJP dalam memetakan potensi perpajakan dan meningkatkan efisiensi pengelolaan pajak.
  2. Penggunaan NIK sebagai NPWP memudahkan masyarakat dalam mengingat nomor identitas perpajakan mereka, karena NIK sudah digunakan dalam berbagai administrasi kependudukan lainnya.
  3. Integrasi ini juga mendukung upaya pemerintah dalam memperbaiki sistem data nasional yang lebih akurat dan dapat diandalkan.

Untuk mengatasi tantangan, DJP telah menunjukkan komitmennya melalui berbagai langkah strategis. Penghentian layanan pada 29 Juni lalu, misalnya, digunakan untuk kegiatan rutin pemeliharaan sistem informasi dan instalasi aplikasi tambahan berbasis NIK, NPWP 16 digit, dan NITKU. Hal ini menunjukkan upaya DJP untuk memastikan bahwa sistem yang digunakan dapat berfungsi dengan baik dan dapat mengakomodasi perubahan-perubahan yang diperlukan.

DJP juga membuka layanan bantuan penggunaan NIK sebagai NPWP, NPWP 16 digit, dan NITKU untuk membantu wajib pajak dalam beradaptasi dengan perubahan ini. Dukungan ini sangat penting untuk memastikan bahwa semua wajib pajak dapat mengakses layanan perpajakan dengan mudah dan tanpa hambatan. Dengan berbagai saluran bantuan yang tersedia, DJP dapat memberikan pelayanan yang optimal dan membantu masyarakat dalam proses transisi ini.

Lebih lanjut, DJP telah menyatakan bahwa jumlah layanan administrasi yang berbasis NIK sebagai NPWP, NPWP 16 digit, dan NITKU akan terus mengalami penambahan. Secara bertahap, DJP akan mengumumkan penambahan jenis layanan yang sudah mengakomodasi NIK sebagai NPWP, NPWP 16 digit, dan NITKU. Hal ini menunjukkan bahwa DJP tidak berhenti pada tujuh layanan yang telah diluncurkan, tetapi terus berinovasi untuk meningkatkan layanan perpajakan modern dan terintegrasi.

Melihat ke depan, keberhasilan implementasi kebijakan ini sangat bergantung pada kerja sama antara DJP, masyarakat, dan instansi terkait. Semua pihak harus berperan aktif dalam mendukung transformasi ini agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Masyarakat perlu terus diedukasi dan diberikan informasi yang jelas mengenai manfaat dan cara penggunaan NIK sebagai NPWP. Sementara itu, instansi terkait perlu melakukan penyesuaian sistem dan memastikan bahwa proses administrasi perpajakan dapat berjalan dengan lancar.

Pada akhirnya, penggunaan NIK sebagai NPWP merupakan langkah penting dalam reformasi perpajakan di Indonesia. Kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan, tetapi juga untuk mendukung upaya pemerintah dalam menciptakan sistem data nasional yang lebih terintegrasi dan akurat. Dengan kerja sama yang baik antara semua pihak, reformasi ini dapat membawa perubahan positif bagi sistem perpajakan Indonesia dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.