Oleh: Alif Radix Tegar Sejati, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Menjamurnya Startup di Indonesia akhir-akhir ini memberi tanda bahwa mulai beralihnya model bisnis menuju ke arah digital yang berfokus pada penggunaan teknologi. Rontoknya bisnis perusahaan retail multinasional di Indonesia seperti 7 Eleven, Lotus, dan Debenhams juga menunjukkan bahwa konsep bisnis tradisonal sudah mulai beralih ke konsep digital. Digitalisasi ekonomi ini memberi dampak makro salah satunya pada daya beli masyarakat yang menurun karena perputaran ekonomi telah beralih ke Ekonomi Digital seperti belanja online, pembelian produk/jasa digital, dan lain sebagainya. Hal yang patut diwaspadai bagi semua pihak bahwa kecenderungan masyarakat khususnya generasi millenial untuk menggunakan gadget dalam membelanjakan uangnya memberikan tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk mengatur regulasi khususnya di sektor perpajakan.

Apa itu Ekonomi Digital ?

Ekonomi Digital sendiri dalam OECD BEPS Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy, Action 1 : 2015 Final Report didefinisikan sebagai “the result of a transformative process brought by information and communication technology (ICT), which has made technologies cheaper, more powerful, and widely standardised, improving business processes and bolstering innovation across all sectors of the economy". Pesatnya pertumbuhan Ekonomi Digital ini mampu mempenetrasi perekonomian dunia dari sektor retail, transportasi (transportasi online), edukasi (online course), kesehatan, interaksi sosial, hingga hubungan antar individu (social media). PBB dalam Handbook tentang Protecting the Tax base of Developing Countries menjelaskan bahwa perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah meningkatkan permasalahan yang berkaitan dengan penggerusan basis pajak dan pengalihan laba (BEPS). 

Menurut handbook PBB, Ekonomi Digital dikarakteristikkan sebagai "An unparalleled reliance on intangible assets, massive use of data (notably personal data), widespread adoption of multisided business models capturing value from externalities generated by free products, and the difficulty of determining the jurisdiction in which value-creation activity occurs". Hal ini menunjukkan betapa besarnya ancaman ekonomi digital pada sektor perpajakan bagi sebuah negara, kesigapan pemerintah dalam merespon perkembangan ini sangat diperlukan untuk meminimalkan potensi hilangnya basis pajak.

Potensi Indonesia dengan penduduk mencapai 250 juta jiwa dan nilai PDB terbesar di Asia Tenggara menjadi salah satu daya tarik bagi investor untuk mengembangkan usahanya di Indonesia khususnya bagi perusahaan rintisan berbasis digital atau Startup. Buktinya hingga saat ini Indonesia telah memiliki 4 startup dengan status "Unicorn" (valuasi lebih dari US$1 Miliar) di mana perusahaan-perusahaan tersebut belum genap berumur 10 tahun. Perkembangan yang pesat dari perusahaan Startup tersebut didukung oleh adanya bonus demografi dan infrastruktur komunikasi yang memadai di Indonesia.

Tantangan Perpajakan dari Ekonomi Digital

Laporan OECD BEPS Action 1 membahas beberapa isu dan permasalahan dalam Ekonomi Digital namun secara garis besar isu tersebut dibagi menjadi dua bagian utama yaitu direct tax (Pajak Penghasilan) dan indirect tax (Pajak Pertambahan Nilai). Isu tersebut antara lain mengenai adanya upaya perusahaan multinasional untuk memiliki kehadiran digital (digital presence) yang signifikan dalam perekonomian suatu negara tanpa harus dikenakan pajak, adanya atribusi nilai (baik laba maupun biaya) yang dibuat dari adanya data lokasi pemasaran yang relevan melalui penggunaan produk dan jasa digital, karakterisasi dari pendapatan yang berasal dari adanya model bisnis baru serta aplikasi dari asas sumber dan bagaimana cara untuk memastikan pemungutan PPN yang efektif sehubungan dengan transaksi cross-border atas barang dan jasa digital.

Skema Base Erosion and Profit Shifting  yang dilakukan oleh perusahaan multinasional saat ini dalam konteks direct taxation (Pajak Penghasilan) menurut OECD BEPS Action 1 terdiri dari empat elemen, yaitu,

  1. Meminimalisasi pajak di negara pasar dengan menghindari taxable presence. Dalam hal ini dilakukan baik dengan menggeser gross profit (profit shifting) atau mengurangi laba bersih dengan memaksimalkan pengurangan laba pada tingkat pemberi penghasilan.
  2. Pengenaan withholding tax yang rendah atau tidak sama sekali di negara sumber.
  3. Pengenaan pajak yang rendah atau tidak sama sekali pada tingkat penerima penghasilan melalui klaim pada pendapatan non-rutin substansial yang seringkali dibentuk melalui skema intra grup.
  4. Tidak adanya pemajakan kini (current taxation) dari keuntungan perusahaan atas tarif pajak yang rendah di tingkat ultimate parent company.

Dari elemen-elemen di atas dapat kita pahami bahwa skema penghindaran yang dilakukan melibatkan  tiga hal penting yaitu status Bentuk Usaha Tetap (BUT), adanya Controlled Foreign Company (CFC) dan transaksi transfer pricing. Berbagai model bisnis baru di perekonomian digital dan lambatnya respon pemerintah atas perubahan ini memberi celah perusahaan yang aktif dalam Ekonomi Digital untuk melakukan penghindaran status BUT, pembentukan perusahaan cangkang (CFC) di negara yang memiliki aturan lemah atas CFC dan upaya transfer pricing menggunakan intangibles goods ( termasuk hard-to-value intangibles ).

Selanjutnya jika kita melihat sisi indirect tax (Pajak Pertambahan Nilai), Ekonomi Digital memberikan tantangan dalam pemungutan PPN di mana impor barang, pemanfaatan jasa, dan intangibles yang diperoleh konsumen akhir dari supplier luar negeri. Di Indonesia sendiri PPN menganut prinsip tempat tujuan (destination principle), oleh karena itu pesatnya Ekonomi Digital makin memperbesar hilangnya potensi (potential lossses) penerimaan negara karena penggunaan teknologi dalam setiap penyerahan maupun pemanfaatan barang/jasa khususnya pada transaksi cross-border. Pemungutan PPN yang tidak berjalan atas transaksi cross-border tersebut akan meningkatkan risiko persaingan usaha yang tidak sehat terhadap domestic retailer yang diwajibkan memungut PPN atas penjualan kepada konsumen akhir. Hal ini tentu memberikan ketidakadilan bagi wajib pajak khususnya Pengusaha Kena Pajak yang menjual produknya lebih mahal akibat PPN dibandingkan supplier luar negeri yang mampu menjual produknya bebas dari pengenaan PPN.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja. 

[1] OECD.2015. Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy, Action 1 - 2015 Final Report, OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project.

[2] Trepelkov, Alexander, Harry Tonino dan Dominika Halka. Penyunting. 2015. United Nations Handbook on Selected Issues in Protecting the Tax Base of Developing Countries.