Aspek Pajak Dokter: Mengapa Pajak Saya Besar?

Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Dalam suatu momen buka puasa bersama, seorang teman mengeluhkan bahwa dia harus membayar pajak yang sangat besar tahun ini. Teman tersebut merupakan seorang dokter. Dia memiliki praktik dokter di beberapa rumah sakit dan klinik.
Nilai besar pajaknya ketahui saat akan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh). Padahal menurutnya, setiap bulan penghasilan yang diterima sudah dipotong pajak oleh rumah sakit dan klinik tempat dia praktik. "Saya kesal sama orang pajak, kenapa penghasilan yang susah payah saya peroleh, harus saya bayarkan pajak dengan nominal sangat besar?" begitu keluhnya.
Apakah benar pajak yang harus dibayar oleh seorang dokter sangat besar? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu ketentuan dalam pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima oleh seorang dokter.
Penghasilan yang diterima oleh seorang dokter dapat dibedakan dalam dua kategori besar berdasarkan sumber penghasilan yang diterima. Penghasilan sebagai pegawai tetap dan penghasilan dari pekerjaan bebas.
Pertama adalah dokter yang menerima penghasilan sebagai pegawai tetap. Dalam kondisi ini, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dipotong dari penghasilan oleh pemberi kerja berdasarkan aturan pengenaan pajak bagi pegawai tetap. Dasar penghitungan pajak ditentukan atas penghasilan yang diterima setelah dikurangi dengan pengurang penghasilan bruto, yaitu biaya jabatan (5%) dengan besaran maksimum 500 ribu rupiah per bulan atau 6 juta rupiah per tahun, iuran terkait program pensiun dan hari tua yang dibayarkan pegawai. Kemudian atas penghasilan tersebut dikurangi lagi dengan penghasilan tidak kena pajak berdasarkan tanggungan wajib pajak untuk memperoleh penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak ini dikalikan dengan tarif pajak progresif sesuai pasal 17 ayat 1 huruf a Undang-Undang PPh untuk memperoleh nilai pajak terutang.
Penghitungan dan pemotongan PPh 21 atas pegawai tetap dilakukan oleh pemberi kerja sesuai ketentuan Tarif Efektif Rata-rata (TER). Sebagai pegawai tetap, dokter akan menerima bukti potong PPh 21 (formulir 1721-A1 untuk pegawai swasta atau 1721-A2 untuk pegawai negeri).
Kategori yang kedua adalah dokter yang menerima penghasilan dari pekerjaan bebas. Ketentuan dalam kategori ini yang berlaku pada teman saya.
Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh seorang profesional atau individu yang memiliki keahlian khusus tertentu dan memperoleh imbalan jasa dari keahlian tersebut tanpa memiliki ikatan atau hubungan kerja yang tetap dari pemberi kerja. Beberapa profesi yang termasuk pekerjaan bebas antara lain dokter, pengacara, akuntan, arsitek, dan notaris. Bagi dokter, penghasilan dari pekerjaan bebas dapat berupa penghasilan yang diperoleh dari rumah sakit atau klinik dan penghasilan hasil praktik dokter sendiri.
Penghasilan yang diperoleh dari rumah sakit atau klinik akan dipotong setiap bulannya oleh pemberi penghasilan dengan tarif progresif sesuai Pasal 17 ayat 1 Undang-Undang PPh. Adapun dasar pengenaan pajaknya adalah penghasilan kena pajak dari wajib pajak atau penghasilan neto setelah dikurangi penghasilan tidak kena pajak. Untuk dokter, berlaku penghitungan perkiraan penghasilan neto sebesar 50% dari penghasilan bruto atau imbalan jasa dokter yang diterima dari rumah sakit atau klinik.
Ketentuan perpajakan di Indonesia sendiri telah lama menerapkan tarif progresif untuk menghitung kewajiban pajak bagi wajib pajak orang pribadi. Tarif PPh progresif untuk wajib pajak orang pribadi yang saat ini berlaku adalah sebagai berikut:
- Lapisan penghasilan kena pajak s.d. Rp6.000.000, dikenai tarif pajak 5%;
- Lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp60.000.000 s.d. Rp250.000.000, dikenai tarif pajak 15%;
- Lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp250.000.000 s.d. Rp500.000.000, dikenai tarif pajak 25%;
- Lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp500.000.000 s.d. Rp5.000.000.000, dikenai tarif pajak 30%;
- Dan lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp5.000.000.000, dikenai tarif pajak 35%.
Sebagai contoh, wajib pajak dokter memiliki penghasilan dari pekerjaan bebas di rumah sakit sebesar Rp60.000.000 sebulan. Atas penghasilan tersebut, PPh yang dipotong oleh rumah sakit adalah: 50% x Rp60.000.000 x 5% = Rp1.500.000. Dokter akan menerima bukti potong PPh 21 setiap bulannya.
Untuk menghitung pajak terutang atas penghasilan yang diterima dalam setahun, wajib pajak dokter harus menghitung kembali seluruh penghasilan yang diterima selama setahun. Adapun pajak yang sudah dipotong oleh rumah sakit akan menjadi pengurang pajak terutang atau dalam perpajakan disebut kredit pajak.
Yang perlu diingat adalah pengenaan tarif pajak dilakukan secara progresif, yaitu bertahap sesuai lapisan penghasilan kena pajak. Ketika penghasilan kena pajak seorang dokter dalam setahun adalah Rp300.000.000, tarif pajak progresif yang berlaku sudah sampai lapisan tarif ketiga, 25%. Namun menghitungnya bukan langsung mengalikan 30% dengan Rp300.000.000, namun dilakukan secara bertahap sebagai berikut:
5% x Rp60.000.000 = Rp3.000.000;
15% x Rp190.000.000 = 28.500.000;
25% x Rp50.000.000 = Rp12.500.000.
Total pajak terutang dalam setahun adalah Rp44.000.000.
Jika PPh 21 yang sudah dipotong oleh rumah sakit sama untuk setiap bulannya atau dalam setahun Rp18.000.000. Nilai ini akan menjadi pengurang dalam menghitung pajak yang masih harus dibayar. Maka, pajak yang masih harus dibayar adalah Rp44.000.000 - Rp18.000.000 = Rp26.000.000.
Pertanyaan menarik kemudian muncul, mengapa jika dalam sebulan pajak atas penghasilan dokter hanya dipotong Rp1.500.000, namun ketika menghitung akumulasi penghasilan dalan setahun, wajib pajak masih harus membayar lagi Rp26.000.000.
Kondisi ini dialami teman saya yang merasa diperlakukan tidak adil oleh petugas pajak. Penghasilan sudah dipotong setiap bulan, namun dalam setahun, wajib pajak masih harus membayar pajak yang nilainya berkali-kali lipat dari pajak yang dipotong setiap bulan.
Tidak hanya dokter, seluruh profesi yang masuk kriteria pekerjaan bebas bisa saja mengalami hal ini. Dalam kasus dokter bukan merupakan pegawai tetap, rumah sakit biasanya akan melakukan pemotongan hanya atas penghasilan dokter sebulan. Dan biasanya penghasilan saat itu masih ada di lapisan tarif pertama, 5%. Ketika penghasilan dihitung selama setahun, penghasilan menjadi berkali-kali lipat dari penghasilan sebulan. Dan bukan tidak mungkin penghitungan pajaknya sudah masuk ke lapisan tarif yang lebih tinggi, bahkan mencapai tarif tertinggi, 35%. Bayangkan jika seorang dokter memiliki penghasilan dari banyak rumah sakit, maka gap antara pajak terutang dalam setahun akan semakin besar jika dibandingkan dengan pajak yang dipotong dalam satu bulan.
Yang perlu dipahami adalah bahwa kewajiban pelaporan pajak tahunan dilakukan untuk menghitung kembali pajak yang terutang dalam setahun dan menyandingkannya dengan pajak yang sudah dibayar atau dipotong setiap bulannya. Jika pajak terutang tahunan lebih besar dari pajak yang sudah dibayar atau dipotong, artinya masih ada pajak yang masih harus dibayar oleh wajib pajak. Sebaliknya, jika pajak terutang tahunan ternyata lebih kecil dari pajak yang sudah dibayar atau dipotong, maka wajib pajak dapat meminta pengembalian atas kelebihan bayar yang sudah dilakukan.
Satu hal lagi yang tidak kalah penting untuk dipahami adalah bahwa segala bentuk pembayaran pajak tidak dilakukan di kantor pajak ataupun melalui pegawai pajak. Pajak dibayarkan langsung ke kas negara melalui kantor pos, bank persepsi, atau perbankan elektronik. Uang hasil pembayaran pajak juga tidak dikelola oleh kantor pajak, melainkan dialokasikan ke kementerian dan lembaga sesuai penanggung jawab alokasi belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kementerian dan lembaga ini harus memastikan bahwa penggunaan uang pajak yang dibayarkan wajib pajak ini tepat sasaran.
Masyarakat memiliki peran untuk mengawasi penggunaan uang pajak ini jangan sampai digunakan untuk kepentingan segelintir pribadi atau golongan. Pemerintah dan masyarakat memiliki peran masing-masing. Keseimbangan dapat tercipta jika masing-masing pihak melaksanakan peran dengan baik, bertanggung jawab, dan penuh integritas. Jika ini terjadi, maka apa yang selama ini diharapkan akan menjadi kenyataan. Harapan agar pajak menjadi kuat, untuk APBN sehat, demi terwujudnya Indonesia yang sejahtera.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 224 kali dilihat