Oleh: Zidni Amaliah Mardlo, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pendapatan negara di APBN 2019 ditargetkan mencapai Rp2.165,1 triliun. Penerimaan perpajakan memperoleh porsi 82,5 persen dari APBN 2019. Jika dirupiahkan penerimaan perpajakan berkontribusi sebesar Rp1.786,4 triliun (Kepabean dan Cukai sebesar Rp208,8 triliun dan Pajak Rp1.577,6 triliun). 

Target penerimaan perpajakan tahun 2019 tumbuh 15,4 persen dari outlook APBN tahun 2018 dengan rasio pajak sekitar 12,2 persen. Target pajak yang begitu besar ini tidak dibarengi dengan tingkat kesadaran pajak yang tinggi sehingga target pajak tidak pernah tercapai selama satu dekade terakhir.

Ketidaktercapaian target pajak ini karena sampai saat ini masih banyak orang yang enggan menunaikan kewajiban membayar pajak. Salah satu alasannya lantaran mereka tidak mengetahui ke mana sebenarnya uang pajak itu dipakai. Setiap Rp1 juta uang pajak yang kita bayarkan digunakan untuk apa saja?

Belanja Negara pada APBN 2019 sebesar Rp2461,11 triliun berasal dari penerimaan perpajakan Rp1786,38 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp378,3 triliun, hibah sebesar Rp0,43 triliun, dan pembiayaan Rp296 triliun.

APBN digunakan sebagai instrumen kebijakan untuk meraih keadilan, menurunkan tingkat kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan mengatasi disparitas antarkelompok pendapatan dan antarwilayah.

Melalui aplikasi simulasi pembayaran pajak yang diciptakan Kementerian Keuangan, kita bisa mengetahui pengalokasian satu juta uang pajak kita digunakan untuk apa saja. Aplikasi simulasi pembayaran pajak dapat Anda akses pada laman https://www.kemenkeu.go.id/alokasipajakmu

Laman tersebut menampilkan bahwa setiap Rp1 juta uang pajak akan dialokasikan untuk belanja pemerintah pusat dan belanja ke daerah. Pembagian alokasi Rp1 juta uang pajak digunakan untuk belanja pemerintah pusat antara lain Rp210.206,00 untuk pelayanan umum, Rp44.057,00 untuk pertahanan yang akan digunakan untuk membiayai pengadaan alat, suku cadang, dan kendaraan perang guna memperkuat pertahanan Indonesia, Rp58.092,00 untuk ketertiban dan keamanan, Rp158.303,00 untuk ekonomi, Rp7.216,00 untuk perlindungan lingkungan hidup, Rp10.776,00 untuk perumahan dan fasilitas umum, Rp25.501,00 untuk kesehatan, Rp2.166,00 untuk pariwisata, Rp4.120,00 untuk agama, Rp62.041,00 untuk pendidikan, Rp81.589,00 untuk perlindungan sosial.

Sementara itu, alokasi terhadap belanja ke daerah yaitu sebesar Rp169.789,00 untuk dana alokasi umum, Rp43.212,00 untuk dan bagi hasil, Rp28.170,00 untuk dana alokasi khusus fisik, Rp53.244,00 untuk dana alokasi khusus non fisik, Rp488,00 untuk dana keistimewaan DIY, dana otonomi khusus Rp8.525,00, dana insentif ke daerah Rp4.063,00, serta Rp28.442,00 untuk dana desa.

Kita mengenal idiom dari penemu asal Amerika Benjamin Franklin yang populer sejak tahun 1789 hingga sekarang, “Tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali kematian dan Pajak.” Setuju atau tidak, idiom tersebut memang benar adanya. Benar bahwa setiap makhluk hidup pasti akan mati. Benar bahwa pajak menjadi kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap orang. Cepat atau lambat, sekarang atau nanti.

Pajak menjadi wajib karena menopang lebih dari 70 persen belanja negara. Pembangunan infrastruktur, subsidi, belanja pegawai, dan bantuan sosial semua berasal dari uang pajak yang dibayarkan rakyat Indonesia.

Jasa timbal balik atau kontraprestasi dari negara atas pembayaran pajak Anda memang tidak dapat ditunjukan secara langsung. Jalan raya yang mulus, berangkat kerja bebas macet karena ada transportasi umum, mau berobat gratis tinggal pakai BPJS Kesehatan, anak-anak dari keluarga miskin bisa sekolah dengan bantuan dana pendidikan, subsidi pangan, listrik, bahan bakar, dan segala fasilitas lain yang kita nikmati tersebut berasal dari uang pajak yang kita bayarkan.

Banyak dari kita tak sadar mengenai hal tersebut. Berbagai manfaat dari pajak sering kita nikmati tetapi tidak kita sadari. Kita tidak sadar bahwa pembiayaan berbagai fasilitas tersebut berasal dari uang pajak. Coba bayangkan jika kita tidak membayar pajak, tidak ada pendapatan yang masuk ke kas negara. Negara tidak bisa membangun jalan, jembatan, maupun fasilitas umum lainnya.

Seperti halnya kita bekerja untuk memperoleh uang (pendapatan). Uang dari hasil kita bekerja nantinya akan digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari, belanja makanan minuman, pakaian, membeli kendaraan, membeli rumah untuk tempat tinggal. Jika tidak ada uang, bisakah kita membeli itu semua?

Seperti itulah pajak, negara mencari pendapatan untuk membiayai kebutuhannya. Pendapatan negara menjadi kewajiban yang ditanggung bersama oleh rakyatnya. Pendapatan negara dikumpulkan secara gotong royong melalui pembayaran pajak yang besarannya sudah diatur dalam undang-undang. Jika pendapatan dari pajak tidak terpenuhi, maka belanja negara juga tidak dapat maksimal. Lantas kapan Indonesia bisa maju jika rakyatnya sendiri masih enggan untuk bergotong royong memenuhi kebutuhan negara.

Jika uang negara nihil, tidak akan ada pengeluaran atau belanja, seperti pengeluaran untuk pembayaran gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan TNI/Polri, pembangunan infrastruktur, macam-macam subsidi bagi rakyat, penyediaan air bersih, pendidikan dan kesehatan gratis, sampai kucuran dana segar untuk kesejahteraan masyarakat desa dan masyarakat miskin. 

Kalaupun ada pengeluaran, berarti sumber pendapatan pemerintah mau tidak mau, suka tidak suka berasal dari utang. Bila utang makin membengkak, rakyat sendiri yang ikut kena getahnya. Ujung-ujungnya rakyat juga yang harus patungan untuk membayar utang negaranya. Di sinilah pentingnya pajak bagi sebuah negara, termasuk Indonesia. Uang pajak digunakan negara untuk membangun seluruh daerah atau wilayah yang ada di Indonesia.

Sebegitu besar peran pajak dalam pembangunan negara. Pajak sebagai penopang APBN Indonesia memerlukan partisipasi dan gotong royong rakyat untuk mewujudkan Indonesia yang makmur. Mari bersama-sama mengenal peran pajak, menanamkan kesadaran pajak dan mengawal penggunaannya. Kontribusi pajak Anda sangat berarti untuk Indonesia yang sejahtera.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.