Traffic Tax, Solusi Kepadatan Transportasi

Oleh: Nifail Al Ahza, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Kepadatan lalu lintas telah menjadi momok yang menghantui kota-kota besar di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Setiap hari, jutaan penduduk kota menghabiskan waktu berjam-jam terjebak dalam kemacetan yang menguras tidak hanya bahan bakar dan kesabaran, tetapi juga produktivitas dan kualitas hidup.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta merupakan salah satu kota terpadat di Indonesia. Publikasi BPS yang berjudul Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dalam Angka 2023, memperlihatkan bahwa pada akhir tahun 2022, penduduk di Jakarta berada di angka 10,6 juta jiwa dengan kepadatan sekitar 16.000 per kilometer persegi. Sejalan dengan hal itu, grafik akumulasi kendaraan juga menunjukkan bahwa jumlah kendaraan bermotor di Daerah Khusus Jakarta (sekarang statusnya sudah bukan ibukota) juga terus mengalami peningkatan selama tahun 2018 s.d. 2022. Pada tahun 2021, tercatat ada sekitar 25,26 juta unit kendaraan di Jakarta, yang terdiri dari 16,7 juta sepeda motor dan 3,54 juta mobil penumpang. Pada tahun 2022, jumlah kendaraan ini meningkat menjadi 26,37 juta unit, dengan sepeda motor mencapai 17,3 juta unit dan mobil penumpang 3,77 juta unit. Kenaikan ini sekitar 4,39% dibandingkan tahun sebelumnya.
Dalam upaya mengatasi masalah ini, para pembuat kebijakan dan perencana kota di dunia mulai melirik sebuah solusi yang telah terbukti efektif di beberapa negara yaitu implementasi skema pajak kemacetan atau yang lebih dikenal dengan istilah traffic tax.
Apa itu Traffic Tax?
Traffic tax, atau juga dikenal sebagai congestion pricing di beberapa negara, adalah sistem di mana pengguna jalan dikenakan biaya untuk menggunakan ruas-ruas jalan tertentu, terutama pada jam-jam sibuk. Ide di balik kebijakan ini adalah pemikiran sederhana yaitu dengan meningkatkan biaya berkendara pada waktu dan lokasi tertentu, diharapkan dapat mendorong perubahan perilaku pengguna jalan. Batasan psikologis ini memungkinkan mereka untuk memilih bepergian di luar jam sibuk, menggunakan rute alternatif, atau beralih ke moda transportasi publik.
Implementasi traffic tax bukanlah konsep baru. Singapura, sebagai pelopor, telah menerapkan sistem ini sejak tahun 1975 dan berhasil mengurangi volume lalu lintas di pusat kota secara signifikan. Kemudian, London mengikuti jejak dengan mengenalkan congestion charge pada tahun 2003 dengan hasil pengurangan lalu lintas sebesar 15% di zona penerapan. Di kota Stockholm, setelah melalui uji coba dan referendum publik, penerapan skema pajak ini dilaksanakan pada tahun 2007 dan mencatatkan penurunan lalu lintas hingga 22%.
Singapura, London, dan Stockholm menggunakan berbagai teknologi canggih untuk menerapkan traffic tax atau congestion charge. Di Singapura, deteksi kendaraan menggunakan alat yang bernama Electronic Road Pricing (ERP) yang menggunakan teknologi Radio Frequency Identification (RFID) dengan cara indentifikasi melalui In-Vehicle Unit (IU) pada setiap kendaraan. Ketika kendaraan melewati gantry ERP, RFID mendeteksi kendaraan tersebut dan secara otomatis memotong biaya dari kartu prabayar pengemudi. Sementara itu, di London, congestion charge menggunakan Automatic Number Plate Recognition (ANPR), yaitu kamera yang memindai plat nomor kendaraan yang memasuki Congestion Charging Zone (CCZ). Sistem ini secara otomatis mencatat dan menagih biaya kepada pemilik kendaraan berdasarkan plat nomor yang terdaftar. Teknologi serupa juga digunakan di Stockholm melalui Congestion Tax, di mana ANPR mencatat waktu masuk dan keluar kendaraan dari area berbayar dan menagih berdasarkan jam sibuk, dengan tarif yang bervariasi.
Implementasi di Indonesia
Di Indonesia, di mana kemacetan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, implementasi traffic tax mungkin bisa menjadi solusi yang layak dipertimbangkan. Walakin, penerapannya harus dilakukan dengan hati-hati dan bertahap untuk menghindari resistensi berlebihan dari publik. Langkah pertama yang krusial adalah melakukan studi kelayakan menyeluruh, yang mencakup analisis pola lalu lintas, infrastruktur yang ada, dan dampak potensial terhadap berbagai kelompok masyarakat.
Selain studi kelayakan, konsultasi publik juga memegang peranan penting. Melibatkan masyarakat dalam diskusi dan perencanaan tidak hanya akan memastikan transparansi, tetapi juga dapat membangun dukungan publik yang sangat diperlukan. Pemerintah tentunya dapat menjelaskan dengan jelas manfaat jangka panjang dari kebijakan ini, tidak hanya dalam hal pengurangan kemacetan, tetapi juga peningkatan kualitas udara, efisiensi ekonomi, dan perbaikan sistem transportasi publik melalui reinvestasi pendapatan dari traffic tax.
Implementasi bisa dilakukan secara bertahap dengan uji coba di area terbatas sebelum perluasan ke wilayah yang lebih luas. Implementasi terbatas akan memberikan kesempatan untuk mengevaluasi efektivitas sistem, mengidentifikasi masalah potensial, dan melakukan penyesuaian yang diperlukan. Selain itu, juga diperlukan kepastian alternatif transportasi yang memadai tersedia sebelum penerapan penuh, seperti peningkatan layanan bus, kereta, atau pengembangan jalur sepeda.
Meskipun implementasi traffic tax bukanlah solusi ajaib yang akan menghilangkan kemacetan dalam semalam, ia menawarkan pendekatan yang terbukti efektif untuk mengelola permintaan lalu lintas. Dengan perencanaan yang cermat, pelaksanaan yang bijaksana, dan komitmen jangka panjang, traffic tax dapat menjadi alat yang kuat dalam mendukung kebijakan transportasi perkotaan Indonesia. Keberhasilannya tidak hanya akan diukur dari pengurangan volume lalu lintas, tetapi juga dari peningkatan mobilitas, perbaikan kualitas udara, dan pada akhirnya, peningkatan kualitas hidup warga kota.
Implementasi traffic tax mungkin tampak sebagai langkah yang berani dan kontroversial. Namun, mengingat besarnya tantangan transportasi yang dihadapi kota-kota di Indonesia, sudah waktunya untuk mempertimbangkan solusi-solusi inovatif. Dengan pendekatan yang tepat, traffic tax bisa menjadi katalis perubahan positif, mendorong kota-kota kita menuju masa depan yang lebih berkelanjutan, ramah lingkungan, dan layak huni.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 301 kali dilihat