Tertarik Jadi Pimpinan Perusahaan? Simak Aspek Perpajakannya!

Oleh: Sandi Sahputra, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Siang itu, Bapak Denni (nama samaran) menghela napas panjang. Pria 65 tahun itu bergumam, “Lebih baik saya wafat saja pak, kalau seperti ini.”
Pak Denni namanya terdaftar sebagai salah satu direktur dari perusahaan tempat dia bekerja. Dari penjelasan beliau dan dibuktikan dengan bukti-bukti fisik, diketahui bahwa sejatinya beliau bertugas sebagai supervisor lapangan . Pria paruh baya itu tidak mengerti dan tidak pernah ditugaskan sama sekali terkait soal administrasi,perpajakan dan keuangan. “ Saya cuma disuruh kasih KTP sama Bos saya, Pak, tempo hari ... proyek kantor juga sudah tidak berjalan sejak Covid kemarin. Terus gini Pak keadaannya sampai tengah tahun kemarin pimpinan kami meninggal. Proyek sudah kosong,” tambahnya.
Sejak pandemi, perusahaan tempatnya bekerja memang sudah berkurang menangani proyek. Saat ini juga perusahaan tersebut sudah tutup dan tidak lagi beroperasi. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di mana perusahaan terdaftar sudah menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPB) hasil pemeriksaan. Kini utang pajak mencapai nilai miliaran rupiah. Belum lagi adanya indikasi tindakan pidana perpajakan, membuat Pak Denni terancam hukuman penjara.
Usut punya usut ternyata memang benar, nama Pak Denni dicantumkan sebagai direktur dua tahun lalu. Namun Pak Denni tidak pernah diikutkan sama sekali dalam mengurus perusahaan. “Kalau Bapak suruh saya hitung bahan baku buat proyek, saya pinter Pak. Tapi kalo soal pajak, boro-boro Pak,” jelasnya.
Kasus seperti di atas mungkin pernah kita dengar atau mungkin sedang dialami oleh kita sendiri atau orang-orang sekitar kita saat ini. Menjadi direktur atau komisaris dari sebuah badan hukum (perseroan terbatas, perseroan komanditer atau CV, yayasan, dan sebagainya) memiliki akibat hukum bagi yang menjabat. Sekilas memang terdengar sangat membanggakan, namun ternyata ia juga mengandung risiko dan akibat hukum yang tidak main-main. Mari kita lihat sekilas risiko dan akibat hukum dari seorang direktur perusahaan ditinjau dari segi perpajakan.
Di Indonesia, pada badan hukum resmi terdaftar, terdapat jabatan-jabatan utama yang biasanya diuraikan jelas dalam akta pendirian dan dokumen Administrasi Hukum Umum (AHU) yaitu direktur atau komisaris dan pemegang saham.
Dalam dunia perpajakan kita mengenal sebutan penanggung pajak. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2023 Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar (PMK 61/2023), penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk wajib pajak orang pribadi, penanggung pajak adalah diri sendiri, ataupun pasangan sedangkan untuk wajib pajak badan, penanggung pajak terdiri dari direktur, komisaris, bahkan sampai pemegang saham.
Lantas apa risiko yang ditanggung oleh penanggung pajak?
- Menjadi pihak pertama yang akan ditagih saat terdapat utang pajak
Menurut PMK 61/2023 , badan yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) yang mempunyai utang pajak yang telah jatuh tempo namun belum dapat dilunasi baik sebagian ataupun seluruhnya, dapat dilakukan serangkaian tindakan penagihan aktif. Saat jumlah harta dari perusahaan, yang dapat digunakan untuk membayar pajak tersebut sudah tidak mencukupi, tindakan penagihan aktif dapat dilanjutkan ke harta pribadi milik direktur, komisaris, dan pemegang saham.
- Harta pribadi dapat di ambil untuk melakukan pelunasan utang pajak
Saat harta dari perusahaan sudah tidak mencukupi, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berhak menyita harta pribadi milik direktur, selanjutnya ke komisaris dan dilanjutkan ke harta pribadi pemegang saham. Khusus untuk pemegang saham, jumlah harta pribadi yang dapat disita adalah sebesar porsi kepemilikan saham.
- Dapat dikenakan tindakan penagihan aktif (cegah dan sandera)
Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap penanggung pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu. Kedua tindakan ini dapat dikenakan kepada pribadi penanggung pajak saat utang pajak belum dapat dilunasi.
- Dapat dipidana jika terbukti melakukan tindakan pidana perpajakan
Jika terdapat indikasi tindakan pidana perpajakan, maka penanggung pajak dapat dimintai pertanggungjawabannya, dan dapat dihukum penjara jika terbukti melakukan kelalaian ataupun kesalahan pemenuhan kewajiban perpajakan --terlepas kesalahan tersebut disengaja ataupun tidak.
Timbul pertanyaan, bagaimana jika kita hanya berperan sebagai "direktur boneka" alias nama kita hanya digunakan untuk keperluan adminitrasi hukum? Misal kita menemukan fakta bahwa ada orang lain yang mengendalikan perusahaan. Apakah orang tersebut dapat dimintai pertanggung jawabannya? Jawabannya adalah tentu saja bisa. Orang lain yang menjadi master mind dibalik sebuah perusahaan/usaha tertentu biasa kita sebut dengan benneficial owner (BO). BO dapat dimintai pertanggung jawaban asalkan DJP dapat membuktikannya dengan jelas dan meyakinkan.
Jabatan direktur, komisaris, bahkan pemegang saham, ternyata mengandung risiko perpajakan yang sangat serius. Oleh karena itu kita wajib tahu dan mengerti akibat-akibat hukum yang ditimbulkan agar kita terhindar dari masalah di masa yang akan datang. Selain itu, tentu saja kita harus menaati peraturan perpajakan.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 476 kali dilihat