Oleh: (Agustina Ekalestari), pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Indonesia kini berada di era dengan proporsi penduduk usia produktif yang sangat melimpah. Sensus Penduduk 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2020 mencapai 270,2 juta orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 71,5 juta jiwa di antaranya merupakan generasi Z. Proporsi mereka yang lahir tahun 1997 2012 tersebut mencapai 26,4 persen dari total populasi nasional.  

Jumlah penduduk gen Z ini lebih besar dibandingkan generasi milenial (lahir 1981 1996). Jika digabungkan, proporsi mereka yang berada di generasi muda (gen Z dan milenial) ini mencapai separuh penduduk, tepatnya 52,2 persen dari populasi Indonesia.

Generasi ini mahir dalam mengaplikasikan teknologi serta mampu mengubah lanskap ekonomi dan perilaku konsumen secara fundamental. Selain itu, generasi muda diproyeksikan menjadi penyumbang pajak penghasilan pasal 22 (PPh Pasal 22) atas perdagangan melalui sistem elektronik di masa depan.

Potensi Perpajakan Digital

Perubahan lanskap ekonomi dan perilaku ekonomi yang sebelumnya belanja secara langsung ke toko fisik sekarang sudah bergeser menggunakan aplikasi online. Bagi yang tidak punya waktu banyak dan juga terkadang membutuhkan barang dengan cepat, platform e-commerce bisa jadi solusi. Potensi ini menjadi sorotan bagi pemerintah untuk menambah penerimaan negara dari sektor pajak.

Pemerintah sekarang ini sedang gencar-gencarnya menggawangkan pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMK 37/2025).

Namun, pengaturan tentang pemungutan PPh Pasal 22 ini banyak menuai kritik dari masyarakat, terutama pedagang toko online. Di tengah ketidakpastian situasi ekonomi sekarang ini, mereka khawatir bahwa kebijakan ini akan menambah beban usaha mereka. Belum lagi, ada beban administrasi yang juga harus diemban oleh platform e-commerce. Mari kita luruskan kekhawatiran ini.

Bukan Pajak Baru, Hanya Mekanisme yang Disederhanakan

Pedagang online rata-rata merupakan generasi muda yang mampu memanfaatkan kemajuan teknologi digital. Dikutip dari laporan Kredivo Group dan Katadata pada tahun 2019, data menunjukkan bahwa 84% hingga 85% konsumen yang melakukan transaksi online didominasi oleh generasi muda. Meskipun ini adalah data konsumen, tingginya penetrasi belanja online di kalangan generasi muda menciptakan peluang besar bagi mereka untuk menjadi penjual. Kondisi ini menjadikan generasi muda memainkan peran yang sangat signifikan dalam dunia perbelanjaan melalui aplikasi online.

Kekhawatiran publik pun tak henti-hentinya dikemukakan di media sosial, terutama di kolom komentar akun Instagram Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Katanya, kehadiran PMK 37/2025 menambah beban bagi para pedagang online. Sebelum berlakunya PMK 37/2025, pengaturan perpajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce).

Dalam sistem yang lama, pelaporan pajak dilakukan secara self-assessment atau mandiri, di mana wajib pajak diberikan wewenang penuh untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang wajib dibayarkan. Namun, ketentuan ini menciptakan ketimpangan, di mana transaksi online masih sulit terlacak dan masuk dalam kategori shadow economy. Berbeda dengan toko offline yang relatif lebih mudah diawasi lewat dokumen pengurusan legalitas usahanya.

Dengan adanya PMK 37/2025, pajak tidak lagi harus disetorkan langsung oleh pedagang toko online, melainkan dipotong secara otomatis oleh platform e-commerce tempat mereka berjualan. Langkah ini justru memberikan kemudahan administrasi karena menyederhanakan mekansime yang lama. Selain itu, hal ini juga dapat meningkatkan kepatuhan pajak dan memastikan keadilan bagi semua pelaku usaha.

Baca juga: https://pajak.go.id/id/artikel/pmk-372025-bukan-pajak-baru

Pengecualian bagi Pedagang dengan Omzet Tertentu

Pemerintah juga berusaha meredam kekhawatiran masyarakat dengan berpihak kepada pelaku usaha dengan omzet tertentu. Pasal 10 ayat (1) PMK 37/2025 mengatur bahwa penyelenggara PMSE yang ditunjuk sebagai pemungut PPh tidak memungut PPh dari pedagang orang pribadi dalam negeri dengan omzet yang belum melebihi Rp500 juta. Pedagang tersebut hanya cukup menyampaikan surat pernyataan bahwa omzetnya masih di bawah atau sama dengan Rp500 juta kepada platform e-commerce selaku pemungut PPh.

Selain itu, pedagang yang memiliki surat keterangan bebas (SKB) pemotongan dan/atau pemungutan juga dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 ini. Syaratnya, mereka harus menyampaikan SKB-nya kepada penyelenggara PMSE. Bahkan, bagi pedagang yang mekanisme pemajakannya bersifat final, PPh Pasal 22 yang dipungut akan dianggap sebagai pelunasan atas kewajiban PPh final tersebut.

Memperluas Basis Pajak

Transaksi e-commerce ini sudah sangat menjamur hampir di seluruh lanskap dunia dan dalam hal perpajakan, sangat sulit untuk diawasi. Pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam, bahkan menilai bahwa e-commerce selama ini termasuk dalam kategori shadow economy, yakni kegiatan usaha yang belum sepenuhnya terjangkau oleh sistem perpajakan.

Temuan ini juga terlihat dalam survei DJP pada tahun 2014. Dari 1.600 pelaku e-commerce yang dijadikan sampel, 600 di antaranya belum teridentifikasi. Sementara itu, dari 1.000 yang tercatat, hanya sekitar 620 yang sudah memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Oleh karena itu, kebijakan ini bukan hanya tentang pemungutan pajak saja, melainkan juga tentang perluasan basis pajak secara sistematis. Dengan adanya penunjukan platform e-commerce sebagai pemungut, pelaku usaha yang belum teridentifikasi dapat masuk ke dalam sistem perpajakan. Hal ini sejalan dengan asas keadilan dalam perpajakan. Pemungutan pajak harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak dan negara tidak boleh bertindak diskriminatif.

Mendongkrak Potensi Penerimaan Negara

Pada tahun 2024, nilai transaksi penjualan di platform Shopee dan Tokopedia diproyeksikan mencapai Rp563 triliun. Jika dikombinasikan dengan transaksi dari marketplace lainnya, totalnya diperkirakan bisa melampaui Rp1.000 triliun pada tahun 2025. Jika tarif pemungutan hanya 0,5% persen, potensi penerimaan negara bisa mencapai Rp5 triliun per tahun.

Senada dengan itu, dilansir dari Center for Indonesia Tax Analysis (CITA), gross merchandise value (GMV) ekonomi digital Indonesia diperkirakan tumbuh dari 80 miliar dolar AS pada 2023 menjadi 90 miliar dolar AS pada 2024, dan terus meningkat hingga 360 miliar dolar AS atau sekitar Rp5.680 triliun pada 2030. Sekitar 72 persen dari angka itu berasal dari sektor e-commerce, utamanya marketplace, dan sebagian besar melibatkan transaksi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal ini menunjukkan potensi penerimaan pajak yang sangat besar dan dapat digali untuk pembangunan Indonesia.

Kolaborasi Generasi Muda untuk Indonesia yang Tangguh

Semakin besar penerimaan pajak, semakin kuat kemampuan pemerintah untuk membiayai berbagai program pembangunan, mulai dari infrastruktur, pendidikan, hingga kesehatan. Dengan generasi muda sebagai kekuatan ekonomi digital yang masif, potensi fiskal yang bisa digali sangatlah besar. Lewat partisipasi mereka dalam mendorong ekonomi melalui aktivitas e-commerce, mereka berkontribusi dalam menyumbang penerimaan negara melalui PPh Pasal 22 ini.

Kebijakan ini adalah sebuah langkah penting untuk menciptakan iklim usaha yang adil, sehat, dan berkelanjutan. Dengan PPh Pasal 22 atas penghasilan pedagang dalam negeri dari transaksi melalui marketplace ini, pemerintah berupaya menutup celah shadow economy dan mendongkrak penerimaan pajak. Ini adalah momentum untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik.

Dengan sinergi antara pemerintah dan generasi muda sebagai pemegang pelaku e-commerce paling banyak, potensi besar ekonomi digital dapat dioptimalkan untuk Indonesia yang tangguh. Pajak Tumbuh, Indonesia Tangguh!

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.