Pajak Minimum Global: Wujud Keadilan untuk Semua Wajib Pajak
Oleh: (Bintang Krishnamurti), pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Dalam dinamika perpajakan nasional, skeptisisme publik terhadap sistem pajak masih cukup tinggi. Persepsi yang berkembang menunjukkan bahwa negara lebih fokus memungut dari rakyat kecil, sementara korporasi besar kerap memanfaatkan celah regulasi untuk meminimalkan kewajiban pajaknya.
Fenomena penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengalihan keuntungan (profit shifting) ke yurisdiksi dengan tarif pajak rendah bukanlah hal baru dalam praktik bisnis global. Namun, terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 tentang Pengenaan Pajak Minimum Global Berdasarkan Kesepakatan Internasional (PMK 136/2024) menjadi penegasan bahwa pemerintah Indonesia serius dan tidak tinggal diam. Regulasi ini merupakan langkah konkret dalam penegakan keadilan fiskal global dengan menerapkan pajak minimum global (global minimum tax/GMT) terhadap perusahaan multinasional (PMN) yang beroperasi lintas yurisdiksi.
PMK 136/2024 sendiri merupakan bagian dari implementasi Pilar II, yakni kesepakatan internasional yang diinisiasi melalui kerangka Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD)/Group of Twenty (G20) Inclusive Framework on BEPS. Kesepakatan ini bertujuan mengatasi praktik penggerusan basis pajak dan pengalihan laba ke negara dengan tarif pajak rendah. Tepatnya, tujuannya menyasar grup PMN dengan pendapatan konsolidasi tahunan minimal €750 juta dalam dua dari empat tahun pajak sebelumnya.
Menutup Celah Penghindaran Pajak
Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Kacaribu, memberikan pandangan tegas mengenai urgensi kebijakan ini. Baginya, pajak minimum global bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan bentuk komitmen pemerintah untuk menciptakan sistem perpajakan yang sehat.
Dalam pernyataan resminya, Febrio mengungkapkan, “Pajak minimum global merupakan wujud upaya negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, yang telah diusahakan bersama setidaknya dalam lima tahun terakhir. Inisiatif ini bertujuan untuk meminimalkan kompetisi tarif pajak yang tidak sehat (race to the bottom).”
Secara teknis, PMK 136/2024 sebenarnya mengatur tiga mekanisme utama: income inclusion rule (IIR), undertaxed payment rule (UTPR), dan domestic minimum top-up tax (DMTT). Ketiganya dirancang untuk memastikan bahwa PMN membayar pajak minimum di setiap negara tempat mereka beroperasi, bahkan jika mereka tidak memiliki kantor fisik di negara tersebut.
IIR memungkinkan yurisdiksi induk perusahaan mengenakan pajak tambahan atas laba yang kurang dikenai pajak di negara lain. UTPR berfungsi sebagai backstop mechanism yang memastikan pajak minimum tetap terpenuhi meski IIR tidak diterapkan. Sementara DMTT memberikan hak kepada negara sumber untuk mengenakan pajak tambahan domestik terlebih dahulu.
Hak Pemajakan Indonesia yang Lebih Kuat
Di era ekonomi digital seperti sekarang ini, perusahaan dapat menghasilkan keuntungan yang siginifikan dari negara tempat mereka beroperasi tanpa perlu memiliki kehadiran fisik. Platform digital, misalnya, dapat melayani jutaan konsumen Indonesia dan meraup pendapatan besar tanpa perlu mendirikan kantor atau entitas permanen di Indonesia.. Hal ini tentu saja menimbulkan tantangan dalam alokasi hak pemajakan.
Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia, Prianto Budi Saptono, menjelaskan bahwa PMK 136/2024 hadir sebagai jawaban atas tantangan tersebut. Menurut pandangannya, “Hak pemajakan Indonesia sebagai negara sumber penghasilan bagi grup perusahaan multinasional tidak lagi terbatas pada kehadiran fisik anggota grup tersebut.”
Dengan demikian, Indonesia kini memiliki dasar hukum yang lebih kokoh untuk mengenakan pajak kepada perusahaan global yang memperoleh keuntungan dari pasar domestik, meskipun mereka tidak memiliki kantor di dalam negeri. Ini bukan soal antiinvestasi, melainkan tentang keadilan. Prinsip keadilan mengharuskan perusahaan yang meraup keuntungan dari pasar Indonesia juga turut berkontribusi melalui pajak.
Tantangan dan Kritik yang Perlu Diantisipasi
Meski PMK 136/2024 membawa angin segar dalam reformasi perpajakan, sejumlah tantangan perlu diantisipasi. Salah satu dampak langsung yang mungkin terjadi adalah berkurangnya daya tarik insentif investasi, seperti tax holiday, yang selama ini menjadi daya tarik bagi PMN yang masuk ke Indonesia.
Prianto mengingatkan bahwa kebijakan ini bisa memengaruhi keputusan investasi dari grup PMN yang sebelumnya menikmati fasilitas tersebut. Selain itu, implementasi GMT menuntut kesiapan administrasi yang tinggi. Pemerintah harus memastikan sistem pelaporan seperti global anti-base erosion rules information return (GIR) dan country-by-country reporting (CbCR) berjalan efektif, serta memperkuat koordinasi lintas lembaga. Ini bukan pekerjaan ringan dan butuh komitmen jangka panjang.
Pemerintah Tidak Diam: Insentif Alternatif Disiapkan
Menanggapi kekhawatiran investor, pemerintah tengah menyiapkan solusi alternatif dengan memberikan insentif yang kompetitif tetapi tidak bertentangan dengan prinsip GMT. Beberapa skema sedang dikaji. Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menyatakan bahwa Direktorat Jenderal Pajak sedang berdiskusi dengan Kementerian Keuangan dan pemberlakuannya masih dipertimbangkan lagi seperti negara lain. Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya fokus pada penerimaan, tetapi juga pada keberlanjutan iklim investasi.
Pemerintah menunjukkan komitmennya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tidak hanya memungut pajak dari rakyat kecil, tetapi juga berani menindak korporasi global yang selama ini memanfaatkan celah hukum. Regulasi ini memperkuat posisi Indonesia dalam sistem perpajakan internasional, sekaligus menunjukkan bahwa negara hadir untuk menegakkan keadilan.
Pesan yang disampaikan jelas bahwa pajak bukan hanya kewajiban rakyat biasa, melainkan juga tanggung jawab perusahaan besar yang menikmati keuntungan dari pasar Indonesia. Implementasi PMK 136/2024 adalah bukti nyata keseriusan pemerintah dalam mewujudkan sistem perpajakan yang lebih adil dan berkeadilan.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.