Meningkatkan Sinergi Strategis DJP dan PPATK

Oleh: Hepi Cahyadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Belakangan pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah efouria dalam memberi relaksasi atau beleid sektor perpajakan. Memang untuk menunjang iklim investasi perlu kemudahan, kepraktisan, kelonggaran, dan kenyamanan serta mereduksi segala hambatan maupun kendala yang menghambat proses penanaman modal. Segala prosedur yang berbelit harus dipangkas habis sesuai arahan dalam pidato kemenangan presiden beberapa waktu lalu. Kemudahan prosedur perijinan dan tarif pajak adalah sektor yang paling banyak disorot terkait aspek kemudahan berinvestasi.
Investasi dan pajak ibarat dua sisi mata pisau, jika pajak terlalu membebani maka investor menjadi enggan untuk mendekat. Sebaliknya jika pajak terlalu longgar maka penerimaan negara untuk menjaga iklim investasi juga lemah. Menjaga iklim investasi memang keharusan, namun menjaga penerimaan negara juga kewajiban. Indikator makro saat ini telah memberi warning bahwa defisit anggaran sampai dengan semester pertama 2019 adalah sebesar Rp135.8 triliun atau setara dengan 0.84% dari PDB. Sebagai komparasi tahun kemarin realisasi defisit anggaran semester pertama 2019 ini lebih besar jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018 yang hanya sebesar Rp110.6 Triliun atau 0.75% dari PDB. Realisasi penerimaan negara sampai dengan Juni 2019 adalah sebesar Rp898.8 Triliun (41.51 % dari target APBN 2019), dengan rincian penerimaan dari sektor pajak sebesar Rp688.94 triliun serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp209 triliun.
Penerimaan pajak tercapai terakhir pada tahun 2008 ketika itu sedang diadakan program sunset policy, kala itu realisasi pajak diatas 100% tepatnya 108%. Setelah tahun 2008 dalam kurun waktu lebih dari satu dekade penerimaan pajak tidak pernah melampaui target 100%. Rata rata penerimaan pajak dalam dekade tersebut adalah kisaran 90 hingga 97 persen. Sebuah anomali di mana penerimaan pajak yang tak pernah tepat sasaran namun justru senjata dan amunisi dikurangi bahkan dilucuti. Sejumlah regulasi yang bersifat “relaksasi atau beleid perpajakan” saat ini sedang gencar dikucurkan. Serentetan wacana ataupun yang telah dieksekusi semisal penurunan tarif PPh korporasi, Superdeductable 300% insentif biaya R&D dan vokasi, serta penurunan PTKP belakangan menjadi headline sejumlah massmedia. Belum jelas arah kebijakan pajak terhadap e-commerce juga menjadi batu sandungan untuk memperluas basis data wajib pajak guna meningkatkan tax ratio kita.
Pertajam Mata Cangkul
Meningkatkan penerimaan pajak dengan menaiikan tarif pajak memang bukan kebijakan populis, rawan digugat, dan didemo. Kebijakan yang tidak populis juga tidak tepat untuk stabilitas nasional di tahun politik ini. Namun demikian upaya untuk meningkatkan capain penerimaan pajak tetap harus diusahakan. Mempertajam mata cangkul DJP mutlak diperlukan dalam menggali potensi perpajakan. Sesuai undang undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) disebutkan bahwa Penyidik Pajak berwenang menyidik TPPU yang berasal dari tindak pidana perpajakan sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 ayat (1) huruf v UU 8/2010. Penyidik Ditjen Pajak berwenang melakukan Penundaan Transaksi, Pemblokiran dan Permintaan Keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan sebagaimana diatur pada Pasal 70, 71, dan 72 UU 8/2010.
Sinergi antara DJP dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) memang bukan hal baru, namun perlu ditingkatkan jalinan koordinasinya untuk mendapatkan output yang lebih besar. Tugas dan fungsi pokok dari PPATK sebenarnya linear dengan tupoksi dari DJP yang bertindak sebagai Polisi Kekayaan. PPATK atau Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center/INTRAC) adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, Kontra Pendanaan Terorisme, Bertanggung jawab kepada Presiden RI, Kewenangannya bersifat independen dan bebas dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan mana pun.
Bagaimana DJP dan PPATK berkolaborasi?
PPATK menerima beberapa laporan dari Pihak Pelapor, yaitu: Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM), Transaksi Keuangan Tunai (TKT), dan transfer dana internasional dari Penyedia Jasa Keuangan (PJK), serta transaksi senilai Rp500 juta atau lebih dari Penyedia barang dan atau Jasa (PBJ). PPATK juga menerima laporan pembawaan uang tunai dan atau instrumen pembayaran senilai Rp100 juta rupiah atau lebih baik yang masuk atau keluar wilayah Republik Indonesia.
Pendekatan yang dilakukan oleh PPATK adalah pendekatan follow the money yaitu mendahulukan mencari uang atau harta kekayaan hasil tindak pidana dibandingkan dengan mencari pelaku kejahatan. Setelah hasil tindak pidana diperoleh melalui pendekatan analisa transaksi keuangan (financial analysis) kemudian dicarilah pelakunya dan tindak pidana yang dilakukan. Keuntungan prinsip follow the money antara lain adalah: 1. Jangkauannya lebih jauh sehingga dirasakan lebih adil; 2. Dapat dilakukan dengan ”diam-diam”, sehingga lebih mudah, dan risiko lebih kecil karena tidak berhadapan langsung dengan pelaku yang kerap memiliki potensi melakukan perlawanan; 3. Pendekatan merampas hasil kejahatan mengurangi atau menghilangkan motivasi orang untuk melakukan tindak pidana; 4. Adanya insentif pengecualian ketentuan rahasia bank dan ketentuan kerahasiaan lainnya.
Diseminasi hasil analisa PPATK antara lain disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Badan Narkotika Nasional, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea Cukai. Dalam PER-08/1.02/PPATK/05/2013 tetang Kerjasama Pertukaran Informasi bertujuan untuk Mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain terkait dengan tindak pidana pencucian uang; atau mendukung kebijakan pemerintah dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme khususnya untuk pengangkatan pejabat strategis.
Dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, surat permintaan Informasi dapat diajukan secara tertulis dan ditandatangani oleh direktur yang membidangi penyidikan atau Kepala Kantor Wilayah. Ruang untuk berkolaborasi sebenarnya terbuka luas, tinggal bagaimana kita menindaklanjuti salah satu “tool/senjata atau amunisi” yang telah disematkan pada DJP tersebut.
Tipologi Tindak Pidana Perpajakan yang dapat dianalisa bersama dengan PPATK antara lain adalah Pengalihan pendapatan ke paper company di luar negeri. PPATK juga dapat melacak jejak (tracking) kasus beneficial owner yakni pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan atau Royalti baik Wajib Pajak Perorangan maupun Wajib Pajak Badan yang sebenarnya berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut. Penyandingan daftar harta di SPT dengan analisa underlying transaction harusnya lebih powerful jika bekerjasama dengan PPATK. Selain itu PPATK lebih berkompeten memberikan analisa mendalam tentang semua data lalu lintas uang/transaksi serta sumber suatu penghasilan berasal.
Jika DJP memiliki Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP), PPATK memiliki sistem administrasi yang bernama SIPESAT (Sistem Informasi Pengguna Jasa Terpadu). Kelebihan SIPESAT dalam mebantu DJP antara lain dalam penelusuran asset dan kepemilikan rekening, sehingga permintaan Informasi ke perbankan menjadi lebih effektif. Selain itu komparasi jumlah rekening yang dilaporkan WP pada SPT dapat disandingkan dengan hasil analisa PPATK. Informasi yang terkandung di SIPESAT sangat beragam tidak hanya kepemilikan rekening bank, Informasi investasi dan pembelian asset serta penukaran valas juga tersedia. Informasi lalu lintas pengiriman uang lintas batas berguna dalam melakukan analisis strategis, sebagai contoh melihat aliran dana lintas batas WP yang sedang dilakukan pemeriksaan. Transaksi lintas batas dapat berindikasi adanya jangkauan bisnis lebih luas dari WP sehingga omzet usahanya dapat lebih besar dari yang dilaporkan di SPT.
Sebuah harapan besar jika SIPESAT dapat dicangkokkan dalam salah satu aplikasi DJP, seperti halnya portal jont analys DJBC pada apportal. Dengan penambahan menu SIPESAT diharapkan analisa data dapat dilakukan lebih komprehensif dan terintegrasi, sehingga output data yang dihasilkan lebih valid dan berkualitas. Relaksasi dan beleid memang perlu untuk menunjang iklim investasi, namun demikian intensifikasi penerimaan pajak juga perlu diupayakan karena 80% penerimaan negara berasal dari pajak.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 675 kali dilihat