Oleh: Maya Anita, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Siapa yang menyangka bahwa May Day yang kita kenal sekarang memiliki kisah masa lalu yang panjang. Ia bermula dari sebuah gerakan oleh para pekerja di Chicago pada abad ke-19 untuk menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam dalam satu hari. Saat itu, kondisi kerja cukup buruk, mungkin dapat disebut tidak manusiawi jika berkaca pada standar saat ini. Merupakan hal yang umum bagi buruh di masa itu untuk menghabiskan 10 hingga 16 jam sehari dalam kondisi keamanan yang tidak memadai.

Aksi di awal bulan Mei yang mulanya berjalan damai tersebut lantas berakhir menjadi tragedi. Di antara aparat dan para pengunjuk rasa, kekerasan terjadi. Buntut dari kejadian ini, aktivitas buruh dibatasi. Meski demikian, gerakan buruh menjadi semakin kuat dan solid, hingga akhirnya tuntutan mereka dipenuhi. Untuk mengenang perjuangan kelas pekerja tersebut, tanggal 1 Mei kemudian ditetapkan sebagai Hari Buruh Internasional.

Sejarah peringatan Hari Buruh di Indonesia sendiri dimulai di era kolonial pada 1 Mei 1920. Saat itu, kaum buruh melakukan aksi untuk menuntut perbaikan hak, termasuk pemberian upah yang layak. Pascakemerdekaan, gagasan peringatan Hari Buruh diutarakan, sehingga melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 diatur bahwa setiap 1 Mei para buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja. Undang-undang tersebut juga mengatur tentang jam kerja, upah, perlindungan anak, dan hak pekerja perempuan.

Di era Orde Baru, perayaan Hari Buruh sempat dilarang karena adanya benturan isu ideologi. Selanjutnya, di masa kepemimpinan Presiden BJ Habibie, dilakukan ratifikasi Konvensi ILO Nomor 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan. Hingga pada 1 Mei 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Hari Buruh sebagai hari libur nasional.

Dalam perkembangannya, keberadaan kaum pekerja dan organisasi yang menaunginya memiliki peran signifikan bagi negara. Organisasi serikat pekerja/buruh adalah wadah bagi pekerja/buruh untuk memperjuangkan hak-hak dari pekerja/buruh yang berperan penting dalam pembangunan perekonomian nasional.1 Selain itu, telah diakui kedudukan dan peran penting tenaga kerja dalam perkembangan ekonomi, yakni sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. 2 Peran buruh dapat dirasakan dalam berbagai hal, seperti mendorong pergerakan ekonomi, menjadi pelaksana pembangunan infrastruktur, hingga menyumbang penerimaan negara melalui setoran pajak penghasilan.

Di sisi lain, negara turut hadir dalam mengupayakan peningkatan kesejahteraan para pekerja. Contohnya, negara tidak mengenakan beberapa jenis penghasilan dari kewajiban pembayaran pajak penghasilan (PPh) sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Jika pekerja menerima tambahan penghasilan dari sumber sebagaimana dimaksud pada ketentuan tersebut, maka atas tambahan penghasilan tersebut tidak akan dikenakan PPh. Selain itu, negara juga menetapkan angka Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagai batas minimum penghasilan yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan. Dengan demikian, apabila para pekerja memperoleh penghasilan di bawah PTKP, maka pekerja tersebut dibebaskan atas pembayaran PPh.

Baca juga:
Menggali Keadilan Pajak dalam Upah Pekerja

Selain itu, PTKP untuk pekerja lajang tanpa tanggungan (TK/0), sebesar Rp54 juta setahun, atau Rp4,5 juta per bulan. Angka tersebut relatif lebih tinggi daripada upah minimum regional sebagian besar daerah. Hanya kota-kota industri yang besar saja, yang memiliki upah minimum yang lebih tinggi daripada PTKP. Artinya, pajak sangat melindungi hak-hak pekerja untuk memperoleh upah layak dengan tidak memberatkan mereka.

Dengan memiliki pemahaman yang mendalam tentang bagaimana pajak berdampak pada kehidupan sehari-hari para pekerja, dengan memahami sudut pandang dan kebutuhan mereka, dan dengan memiliki kesadaran akan pentingnya kebijakan perpajakan yang berpihak pada kelompok rentan, maka sistem ekonomi yang adil dan berkelanjutan akan dapat tercipta. Lebih lanjut, terciptanya hubungan yang saling mendukung antara sistem perpajakan yang adil dengan perlindungan hak pekerja akan sangat berarti dalam mewujudkan cita-cita luhur sila kelima Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Referensi:

1Marcella, Y., & Sudibya, K. P. (2018). Peran Organisasi Serikat Pekerja/Buruh dalam Pembangunan Perekonomian Indonesia. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 4(3), 1-15.

2Sidabalok, Janus. (2012). Hukum Perusahaan Analisis terhadap Pengaturan Peran Perusahaan dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia. Nuansa Aulia, h. 195.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.