Oleh: Endang Dwi Ari Surjaningsih, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Perkembangan pemanfaatan teknologi internet dan komunikasi seperti smartphone mendorong berkembangnya bisnis perdagangan secara elektronik (e-commerce) dan financial technology (Fintech) dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini memunculkan berbagai inovasi dan keterlibatan pihak baru dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, seperti Penyelenggara Payment Gateway, Penyelenggara Dompet Elektronik, dan Penyelenggara Penunjang seperti perusahaan penyedia teknologi pendukung transaksi nirkontak (contactless).

Bank Indonesia sebagai lembaga yang bertugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran menetapkan dasar hukum penyelenggaraan Fintech dalam sistem pembayaran di Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Bank Indonesia mendefinisikan Fintech sebagai hasil gabungan antara jasa keuangan dengan teknologi yang akhirnya mengubah model bisnis dari konvensional menjadi moderat, yang awalnya dalam membayar harus bertatap muka dan membawa sejumlah uang kas, kini dapat melakukan transaksi jarak jauh dengan melakukan pembayaran yang dapat dilakukan dalam hitungan detik saja. Dalam hal ini, Fintech mampu menggantikan peran lembaga keuangan formal seperti bank. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendefinisikan Fintech yang merupakan Inovasi Keuangan Digital sebagai aktivitas pembaruan proses bisnis, model bisnis,dan instrumen keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa keuangan dengan melibatkan ekosistem digital.

Salah satu jenis jasa keuangan berbasis teknologi informasi  yang cukup populer saat ini adalah model Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi / Fintech  peer-to-peer (P2P) Lending.

Dalam rangka mendukung pertumbuhan lembaga jasa keuangan berbasis teknologi informasi, OJK sebagai lembaga pengawas industri jasa keuangan di Indonesia menetapkan peraturan yang secara rinci mengatur profil penyelenggara maupun pengguna yaitu POJK nomor 77/POJK.01/2016 tanggal 28 Desember 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan POJK nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan.

Fintech P2P Lending adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman (lender) dengan penerima pinjaman (borrower) dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. Fintech  P2P Lending diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dana tunai secara cepat, mudah, dan efisien,serta meningkatkan daya saing serta  dapat menjadi salah satu solusi untuk membantu pelaku usaha skala UMKM dalam memperoleh akses pendanaan. Perbedaan utama antara Fintech  P2P Lending adalah P2P tidak melakukan penghimpunan dana masyarakat.

OJK membatasi penyelenggara Fintech  P2P Lending adalah badan hukum Indonesia yang berbentuk perseroan terbatas atau koperasi dengan syarat pada saat pendaftaran penyelenggara yang berbentuk perseroan terbatas wajib memiliki modal disetor paling sedikit Rp1 miliar dan untuk koperasi wajib memiliki modal sendiri paling sedikit Rp1 miliar. Penyelenggara yang telah terdaftar di OJK, wajib mengajukan permohonan ijin sebagai Penyelenggara dalam jangka waktu paling lama 1 tahun sejak tanggal terdaftar di OJK dan wajib memiliki modal disetor / modal sendiri paling sedikit Rp2,5 miliar. OJK juga mengatur batas maksimum total pemberian pinjaman dana maksimal sebesar Rp2 miliar. Penyelenggara yang telah terdaftar wajib menyampaikan laporan secara berkala setiap 3 bulan kepada OJK dan penyelenggara yang telah memperoleh ijin, wajib menyampaikan laporan berkala secara elektronik kepada OJK, yaitu laporan bulanan dan laporan tahunan.

Para pelaku usaha Fintech P2P Lending di Indonesia bergabung dalam satu wadah organisasi Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Melalui surat No. S-5/D.05/2019 AFPI ditunjuk OJK sebagai asosiasi resmi penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi di Indonesia. Dalam Code of Conduct AFPI ditetapkan bahwa bunga maksimal 0,8% per hari. Besaran tersebut terdiri dari bunga, biaya transfer antar bank, biaya verifikasi, denda dan lainnya. Adapun akumulasi seluruh biaya termasuk denda adalah 100% dari nilai pokok Pinjaman.

Data OJK menunjukkan bahwa pada Desember 2018 penyaluran pinjaman Fintech P2P menunjukkan angka sebesar Rp22,66 triliun. Dan per Juni 2019 telah mencapai Rp44,80 triliun. Jumlah pinjaman tersebut mengalir ke 9.743.679 rekening peminjam dengan komposisi 99,9% perorangan dan 0,11% badan usaha. Sementara itu, akumulasi pemberi pinjaman sebanyak 498.824 rekening. Mayoritas lender adalah perorangan (99,83%) dan hanya 0,17% badan usaha. Sampai dengan 7 Agustus 2019, penyelenggara Fintech berijin dan terdaftar di OJK adalah sebanyak 127 perusahaan.

Melihat tingkat pertumbuhan Fintech P2P Lending yang cukup tinggi dengan nilai transaksi jasa keuangan berbasis teknologi yang meningkat signifikan, maka dari sisi perpajakan dapat dikatakan akan terdapat potensi pajak cukup tinggi yang ikut menyertai.

Secara singkat diketahui bahwa Fintech P2P Lending melibatkan tiga pihak, yaitu penyelenggara yang berbentuk badan serta peminjam dan pemberi pinjaman (perorangan maupun badan). Ketiga pihak tersebut bisa jadi merupakan wajib pajak potensial bagi iklim perpajakan di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui Indonesia mengadopsi sistem perpajakan self assessment yang artinya wajib pajak diberikan kebebasan, wewenang, kepercayaan, tanggung jawab untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri besaran pajak yang harus dibayarkan. Maka demikian juga halnya dengan para pelaku Fintech P2P Lending, tata cara pemenuhan kewajiban perpajakannya juga berdasarkan asas self assesment.

Dari sisi penyelenggara layanan, OJK mengatur bahwa pada saat mengajukan permohonan harus menyampaikan NPWP badan dan dalam akta pendirian penyelenggara P2P, harus disebutkan kegiatan usahanya adalah “Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi”. Dengan demikian dapat dipastikan seluruh penyelenggara Fintech P2P Lending yang terdaftar di OJK telah terdaftar sebagai wajib pajak. Oleh karena penyelenggara Fintech berada dalam pengawasan OJK, maka pemenuhan kewajibannya mengacu pada ketentuan perpajakan yang mengatur industri jasa keuangan.

Dalam UU PPh disebutkan yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.  Secara umum kewajiban PPh yang menjadi kewajiban suatu badan usaha meliputi kewajiban PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 25/29, PPh Pasal 26, dan PPh Pasal 4 ayat 2.

Terkait dengan penghasilan jasa keuangan dalam Permenkeu Nomor 251/PMK.03/2008 tentang Penghasilan atas Jasa Keuangan yang Dilakukan oleh Badan Usaha yang Berfungsi sebagai Penyalur Pinjaman dan/atau Pembiayaan yang Tidak Dilakukan Pemotongan PPh Pasal 23 disebutkan bahwa atas penghasilan sehubungan dengan jasa keuangan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan, tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 UU PPh. Penghasilan jasa keuangan tersebut berupa bunga atau imbalan lain yang diberikan atas penyaluran pinjaman dan atau pemberian pembiayaan, termasuk yang menggunakan pembiayaan berbasis syariah. 

Badan usaha sebagaimana dimaksud terdiri dari perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha dari Menteri Keuangan serta badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah yang khusus didirikan untuk memberikan sarana pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, termasuk PT Permodalan Nasional Madani.

Adapun untuk transaksi lainnya yang dilakukan sehubungan dengan kegiatan usaha seperti biaya gaji dan biaya sewa mengikuti ketentuan yang berlaku secara umum.

Sementara dalam UU PPN, jasa keuangan termasuk sebagai jasa yang tidak dikenai PPN. Fintech P2P Lending dalam hal ini dapat dikatakan termasuk sebagai jasa keuangan yang menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan sarana telekomunikasi atau sarana lainnya.

Sampai saat ini belum ada ketentuan yang mengatur secara khusus kewajiban perpajakan para pelaku usaha Fintech P2P Lending.

Kehadiran Fintech P2P Lending selain memberikan keuntungan bagi para penyelenggara dan pemberi pinjaman, diharapkan juga dapat memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi mitra pelaku UMKM yang meminjam dana dengan meningkatnya penghasilan usaha mereka. Sehingga pada akhirnya akan dapat memberikan kontribusi pada penerimaan pajak secara signifikan.

Untuk mengetahui potensi pajak sesungguhnya dari Wajib Pajak Fintech P2P Lending, sinergi Direktorat Jenderal Pajak dengan OJK di sektor jasa keuangan terkait pertukaran data menjadi satu hal yang sangat penting. Mengingat penyelenggara Fintech mempunyai kewajiban pelaporan rutin ke OJK, maka diharapkan fiskus dapat memanfaatkan data yang diperoleh untuk lebih memahami proses bisnis Fintech P2P Lending dan menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakannya.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja