Oleh: Dewi Damayanti, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kisah petani afiliasi sawit di Riau dan petani karet di tempat lain di Sumatera adalah sebuah cerita usang. Cerita tentang implementasi regulasi agraria yang salah kaprah. Mengusung spirit dari Undang-Undang Pokok Agraria agar tanah pertanian bisa dimiliki secara merata oleh para petani, pemeirntah berinisiatif mengupayakan setiap keluarga petani memperoleh minimal 2 hektare tanah sebagai lahan garapan mereka. Tujuannya agar para petani bisa menjadi tuan di tanahnya senidir, tidak hanya sebagai buruh penggarap. Dan muaranya ke pembangunan itu bisa merata. Namun Badan Pertahanan Nasionl (BPN) justru menjadikan kebijakan 2 hektare lahan itu sebagai sebuah regulasi pembatasan kepemilikan lahan. Para petani afiliasi itu hanya diperbolehkan memiliki tanah maksimal 2 hektar saja. Tak boleh lebih, sehingga menjadi batu sandungan bagi petani bagi petani yang ingin meningkatkan usaha dengan memperluas lahan. Untuk menyiasati keterbatasan lahan itu mereka kadang harus menempuh cara tak legal. Contoh seorang petani karet karet bisa jadi mempunyai lahan 100 hektar, namun menggunakan nama orang yang berbeda-beda. Entah nama itu memang nyata atau sekedar fiktif. Kepemilikan ilegal ini akan mempersulit proses pemetaan dan dokumentasi atas tanah-tanah pertanian kita. Melalui beleid UU Pengampuanan Pajak (Amnesti Pajak) Nomor 11/2016 Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak membuka pintu kemudahan bagi petani yang pendapatannya di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan ingin melegalkan properti mereka dengan cara mengikuti amnesti pajak. Caranya dengan mengungkapkan hartanya di dalam surat pernyataan, dan kemudian membayar uang tebusannya. Bagi yang telah mengikuti amnesti pajak dan membayar uang tebusan akan memperoleh Surat Keterangan Pengampunan Pajak (SKPP). Berbekal SKPP inilah petani mengajukan Surat Keterangan Bebas PPH atas pengalihan hak properti pertaniannya, guna balik nama SHM tanah yang semula diatasnamakan orang lain. Bagi petani yang penjualan hasil panennya di bawah RP 4,8 miliar per tahun diberikan tarif uang tebusan yang lebih rendah, yaitu 0,5% jika harta yang diungkapkan nilainya sampai dengan Rp 10 miliar dan dikenakan 2% jika nilai hartanya lebih dari Rp 10 miliar. Aturan ini berlaku sampai 31 Maret 2017. Tarif amnesti pajak yang rendah seharusnya dapat dimanfaatkan petani kita untuk proses balik nama Sertifikat Hak Milik (SHM). Karena SHM merupakan legalitas atas sebuah lahan. Saat lahan telah memperoleh legalisasi, maka bisa sebagai modal usaha bagi pemiliknya. Karena dapat dijadikan sebagai jaminan kredit di bank/ lembaga keuangan. Modal itu dapat digunakan untuk memperluas lahan. Namun kemudahan yang diberikan Ditjen Pajak ini akan menemui kendala, terkait regulasi agraria yang tidak kondusif. Ini bsia menjadi jalan buntu jika tak dicarikan jalan keluarnya. Regulasi agraria tak kondusif Mungkin dasar BPN melakukan pembatasan 2 hektar lahan kepemilikan petani sawit di Riau dan petani karet di tempat lain adalah Pasal 8 Undang-Undang No 56/Prp/1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang menyatakan upaya pemerintah agar setiap keluarga petani minimal dapat memiliki tanah 2 hektar. UU No 5/Prp/1960 ini merupakan juklak dari UU Pokok Agraria. Sementara dalam Pasal 1 UU No 56/Prp/1960 menyatakan seorang atau sebuah keluarga diizinkan memiliki lahan maksimal dengan status hak milik adalah 15 hektar jika lahan tersebut berupa sawah, dan 20 hektar untuk lahan kering. Jika merujuk ke aturan ini, maka seseorang atau sebuah keluarga petani sawit dapat memiliki lahan maksimal 20 hektar, bukan 2 hektar. Dengan “kreativitas” petani memecah lahan atas nama orang lain, mereka akan kesulitan saat harus melegalisasi properti dengan memanfaatkan fasilitas amnesti pajak ini. Meskipun UU Pengampunan Pajak mengakomodir jika wajib pajak ingin melaporkan asetnya dalam amnesti pajak tetapi masih atas nama orang lain, bisa dilakukan dengan cara membuat Surat Pengakuan Nominee. Namun kendala akan ditemui saat proses pengalihan hak atas tanah dilakukan. Seandainya seorang memiliki 100 hektar lahan dan terbagi-bagi atas 50 kepemilikan yan gberbeda (nyata atau fiktif), bayangkan berapa Surat Pengakuan Nominee yang harus dibuat. Tanpa bukti kepemilikan yang jelas, mungkinkah sebuah properti dilegalisasi? UU Agraria ini memang mengusung semangat land reform. Tujuannya pemerataan kepemilikan atas tanah, sehinggak tak ada lagi tuan-tuan tanah yang dulu mendominasi tanah pertanian. Namun pembatasan kepemilikan tanah 2 hektar bagi petani merupakan penyimpangan atas sebuah regulasi. Sebuah momentum Keadaaan Indonesia kini dengan banyaknya properti pertanian yang belum terdokumentasikan dan dilegalisasi, bisa jadi tak berbeda jauh dengan Amerika di tahun 1782 dulu. Ketika itu Presiden Amerika Serikat George Washington, mengeluhkan tentang bandit yang mewabah dan mengakar pada bagian penting negara dan menghabiskan penting negara dan menghabiskan banyak anggaran. Bandit-bandit ini adalah para penghuni liar dan para wirausahawan kecil ilegal yang mendiami tanah bukan milik mereka. Indonesia punya kesempatan sama untuk bertransformasi dari segara keterbelakannya. Amnesti pajak adalah sarana untuk mendokumentasikan properti dalam negerid yang selama ini tak bertuan. Merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah (BPN) untuk membenahi regulasi agraria agar bisa selaras dan bersinergi dengan kebijakan amnesti pajak yang digelar Ditjen Pajak. Perlu dipikirkan solusi yang memudahkan petani melegalisasi properti mereka. Karena legalisasi dan dokumentasi propertasi pertnian tak hanya penting untuk petani, tapi juga wajah Indonesia yang lebih teratur ke depan.(*) *) Tulisan ini telah dimuat di Harian Kontan dan merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.