Oleh: Dio Agung Purwanto, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Menjelang pergantian tahun, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi (PP 58/2023). Dalam PP tersebut, pemotongan PPh Pasal 21 atas wajib pajak orang pribadi dikategorikan dalam empat kelompok yaitu A, B, C, dan D. Kategori ini didasarkan kepada status perkawinan dan jumlah tanggungan.

Sekilas, PP 58/2023 ini menyodorkan tarif baru dalam penghitungan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21. Terlebih lagi, alih-alih menggunakan penghasilan neto, dasar penghitungannya pun menggunakan penghasilan bruto dengan tarif bertingkat dan berkategori sebagaimana tercantum pada bagian lampiran PP 58/2023. Semakin tampak berbeda dengan hadirnya penegasan pada ketentuan penutup bahwa Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, tidak berlaku lagi. Pasal 2 ayat (3) PP 80/2010 tersebut menegaskan bahwa tarif pemotongan PPh Pasal 21 menggunakan tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

1. Dasar Pengenaan Pajak 

PPh Pasal 21 sebagaimana dibahas di sini adalah PPh yang bersifat pemotongan oleh pihak pemberi kerja. Dalam praktiknya, penghitungan penghasilan neto setiap bulan cukup merepotkan. Selain penghasilan tidak kena pajak (PTKP), variabel pengurang penghasilan seperti biaya jabatan dan iuran pensiun harus diperhitungkan untuk memperoleh penghasilan neto. Belum lagi bila harus dihadapkan dengan penghasilan yang harus disetahunkan, lalu penentuan batas lapisan tarif PPh Pasal 21 setiap bulannya selama tahun berjalan. Untuk itulah, guna menyederhanakan penghitungan ini, PP 58/2023 hadir untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan. Kemudahan tersebut berupa dasar pengenaan pajak dari penghasilan bruto. Jadi, PPh Pasal 21 tinggal dikalikan dengan tarif rata-rata sesuai dengan tabel tarif dalam lampiran, dengan penghasilan bruto. Caranya, tentukan kategori wajib pajak, lihat seluruh penghasilan bruto pada bulan yang bersangkutan, lalu cocokkan dengan tabel tarif efektif yang tercantum dalam Lampiran PP 58/2023. Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong pun sudah didapatkan dengan mudah.

2. Kategorisasi Wajib Pajak

Untuk menerapkan tarif efektif yang tepat sasaran, kategori wajib pajak dalam PP 58/2023 ini didasarkan atas status perkawinan dan jumlah tanggungan.

Kategori A untuk lajang tanpa tanggungan (TK/0), lajang dengan tanggungan satu orang (TK/1), atau menikah tanpa tambahan tanggungan (K/0).

Kategori B untuk lajang dengan tanggungan dua orang (TK/2), lajang dengan tanggungan tiga orang (TK/3), menikah dengan tambahan tanggungan satu orang (K/1), atau menikah dengan tambahan tanggungan dua orang (K/2).

Kategori C untuk wajib pajak yang menikah dengan tambahan tanggungan tiga orang (K/3). Sementara itu,

Kategori D dibuat khusus untuk mengakomodasi penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan bruto yang dibayarkan secara harian.

Ditetapkannya empat kategori ini, sekali lagi, dalam rangka simplifikasi penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan dalam setiap masa pajak. Sementara itu, tarif efektif yang ditetapkan sudah dicantumkan dalam tabel yang tertera pada lampiran PP 58 Tahun 2023 ini.

3. Rekapitulasi Penghasilan untuk SPT Tahunan

Sebagai sebuah peraturan pelaksanaan dalam penerapan UU PPh, PP 58/2023 ini tetap mengacu kepada peraturan perundang-undangan di atasnya. Simplifikasi penghitungan menggunakan tarif efektif pada dasarnya adalah upaya membantu para pemberi kerja untuk menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan PPh Pasal 21 secara lebih cepat dan tepat waktu. Sebelas bulan pertama dalam tahun pajak sudah dimudahkan, maka pada bulan terakhir tentu perlu ada penyesuaian. Lagi-lagi, penyesuaian ini pun adalah sebuah bentuk kemudahan. Pemberi kerja hanya perlu satu kali membuat rekapitulasi penghasilan dan unsur-unsur pemotongannya untuk setiap pegawai, yaitu di akhir tahun saat penghasilan terakhir pegawai di tahun pajak tersebut dibayarkan. Tidak perlu ada penghitungan penghasilan yang disetahunkan secara berkala, termasuk apabila ada kenaikan lapisan tarif sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh. Hanya perlu ada penyesuaian besar PPh Pasal 21 yang dipotong, disetor, dan dilaporkan pada SPT Masa PPh Pasal 21 bulan terakhir tahun pajak terkait. Dengan demikian, pembuatan bukti potong PPh Pasal 21 untuk kepentingan SPT Tahunan masing-masing pegawai pun dapat dilaksanakan dalam waktu yang lebih singkat dengan hasil yang tepat. Implikasinya, para pegawai dapat melaporkan SPT Tahunan lebih awal tanpa khawatir melewati batas waktu pelaporannya.

Kunjungi juga:
Kalkulator Pajak

Unduh juga:
Buku Elektronik Cermat Pemotongan PPh Pasal 21/26

Baca juga:
[SIARAN PERS] Penghitungan PPh 21 Lebih Mudah, Berikut Ketentuannya
[SIARAN PERS] DJP Mudahkan Penghitungan PPh Pasal 21
[Tajuk] Transformasi Substansi Hukum Pajak Tahun 2024 melalui Tarif Efektif Pajak Penghasilan
Yuk, Ta'aruf dengan TER
Serba-Serbi TER PPh Pasal 21: Pajak Baru atau Formula Baru?
Era Baru Pajak Penghasilan: Digitalisasi dan Inovasi Pemotongan PPh 21/26

Sebagai sebuah Peraturan Pemerintah, PP 58/2023 tentu diatur lebih mendalam dengan adanya peraturan turunannya. Dalam hal ini, Menteri Keuangan Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Pribadi (PMK 168/2023). Menariknya, PMK 168/2023 tidak menyebutkan secara spesifik bahwa ini adalah peraturan pelaksanaan atas PP 58/2023. Dalam batang tubuhnya pun, Peraturan Pemerintah yang disebutkan hanya mengacu kepada perihal yang sama dengan PP 58/2023 tanpa menyebutkan nomor dan tahunnya. Hal ini tentu saja dirancang agar apabila di kemudian hari PP 58/2023 diganti dengan yang baru, tidak perlu ada pembuatan PMK yang baru selama tidak ada perubahan substansial di dalamnya. Selain itu, jika kita menilik lebih dalam, PMK 168 ini tidak hanya membahas apa yang ada dalam PP 58/2023. PMK 168 ini disajikan sebagai rangkuman peraturan pelaksanaan atas berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tema yang diangkat. Pada akhirnya, semangat simplifikasi penghitungan PPh Pasal 21 yang diusung melalui PP 58/2023 semakin dikuatkan dengan hadirnya PMK 168/2023.

Jadi, lebih simpel, bukan? 

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.