Oleh: Muhammad Widodo Ma'ruf, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) baru-baru ini memperkenalkan sejumlah perubahan signifikan dalam sistem pemotongan pajak penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26. Langkah-langkah ini tertuang dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-2/PJ/2024 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 --yang efektif berlaku sejak masa pajak Januari 2024.

Perubahan utama mencakup kewajiban penggunaan aplikasi e-Bupot 21/26 untuk pembuatan bukti potong dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh 21/26) secara elektronik. Selain itu, penerapan tarif efektif rata-rata (TER) untuk perhitungan PPh Pasal 21 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi (PP 58/2023) turut menjadi bagian penting dari transformasi sistem perpajakan ini. Aturan turunan dari PP 58/2023 ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Pribadi (PMK 168/2023).

Menuju Era Digital: e-Bupot 21/26

Sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, DJP kini mewajibkan penggunaan aplikasi e-Bupot 21/26 untuk pembuatan bukti potong PPh 21/26 dan pelaporan SPT Masa secara elektronik atau dalam format digital.

Kewajiban ini diatur teperinci dalam Pasal 6 ayat (3) PER-2/PJ/2024 yang menyebutkan bahwa pemotong pajak dengan kriteria tertentu wajib menggunakan e-Bupot 21/26. Kriteria dimaksud mencakup pemotong pajak PPh 21 non-final (kredit pajak) atau PPh 26 dengan jumlah dokumen pemotongan lebih dari 20 dalam satu masa pajak. Demikian pula dengan pembuat bukti potong PPh 21 final, PPh 21 bulanan, atau PPh 21 pegawai tetap dan pensiun dengan total dokumen lebih dari 20 per masa pajak.

Baca juga:
Validasi adalah Bukti Digitalisasi

Belajar Digitalisasi dari IKD
Mengulik PP 58/2023: TER dan Penghitungan PPh yang Lebih Simpel
Sinopsis Ringkas dan Unduh Buku Cermat Pemotongan PPh Pasal 21/26

Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk meningkatkan efisiensi dan kepatuhan perpajakan. Penggunaan sistem digital seperti e-Bupot 21/26 memungkinkan proses pembuatan dokumen perpajakan dan pelaporan dilakukan lebih cepat, mudah, dan akurat. Data perpajakan yang terintegrasi secara digital juga memudahkan DJP untuk melakukan pengawasan. 

Aturan ini menciptakan perubahan mendasar dalam proses pemotongan dan pelaporan PPh Pasal 21/26, mendukung transformasi digital dalam pengelolaan pajak di Indonesia. PER-2/PJ/2024 dinyatakan mulai berlaku sejak masa pajak Januari 2024. Dengan demikian, peraturan sebelumnya yakni PER-14/PJ/2013 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

TER: Inovasi Perhitungan PPh 21

Selain mendorong digitalisasi pelaporan pajak, DJP juga berinovasi dalam tata cara perhitungan pemotongan PPh Pasal 21, yaitu dengan menerapkan TER. Kebijakan ini tertuang dalam PP 58/2023 dan PMK 168/2023 yang mulai diberlakukan sejak Januari 2024.

Menurut Penyuluh Ahli Madya DJP, Dian Anggraeni, tarif efektif rata-rata PPh Pasal 21 bertujuan untuk memberikan kemudahan kepada pemberi kerja yang melakukan pemotongan PPh Pasal 21. Sebelumnya, perhitungan PPh 21 melibatkan beberapa komponen yang harus diperhatikan oleh pemberi kerja, seperti biaya jabatan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) karyawan. Kompleksitas perhitungan ini seringkali menyulitkan pemberi kerja dalam melakukan pemotongan PPh 21.

Oleh karena itu, pemerintah mengintroduksikan tarif efektif rata-rata guna memberikan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemberi kerja. Mekanismenya adalah dengan menetapkan besaran tarif persentase tertentu yang langsung dikalikan dengan penghasilan bruto karyawan tanpa harus memperhitungkan komponen lainnya.

Tarif efektif yang ditetapkan dalam PP 58/2023 terdiri atas 3 kategori, yaitu:

- Tarif Efektif Kategori A: atas penghasilan bruto bulanan dengan status PTKP TK/0, TK/1, dan K/0

- Tarif Efektif Kategori B: atas penghasilan bruto bulanan dengan status PTKP TK/2, K/1, TK/3, dan K/2

- Tarif Efektif Kategori C: atas penghasilan bruto bulanan dengan status PTKP K/3

TK : Tidak Kawin

K : Kawin

Pemberi kerja dapat langsung menerapkan tarif efektif sesuai kategori penghasilan karyawannya tanpa harus melakukan penyesuaian atau perhitungan tambahan terkait komponen lain. Langkah ini jelas akan mempercepat dan meringankan proses pemotongan PPh 21 setiap bulannya.

Hingga saat ini, kebijakan tarif efektif rata-rata PPh 21 baru berlaku untuk masa pajak Januari hingga November setiap tahunnya. Sementara itu, besaran tarif masa pajak Desember tetap menggunakan ketentuan umum dalam Pasal 17 UU Pajak Penghasilan dengan memperhitungkan akumulasi PPh 21 yang telah dipotong sebelumnya.

Implikasi dan Tantangan Kebijakan

Adanya perubahan mendasar terkait tata cara pemotongan dan pelaporan PPh 21/26 tersebut tentu membawa implikasi dan tantangan tersendiri, baik bagi DJP sebagai regulator maupun pemotong pajak sebagai pihak yang diwajibkan untuk beradaptasi.

  1. Tantangan bagi Pemotong Pajak

Bagi pemberi kerja dan bendaharawan pembayar penghasilan lainnya yang bertindak sebagai pemotong pajak, tentu diperlukan proses penyesuaian terhadap sejumlah hal berikut:

  • Mempelajari dan memahami tata cara pengoperasian aplikasi e-Bupot 21/26.
  • Melakukan digitalisasi data pegawai dan penghasilan sebagai syarat penggunaan e-Bupot 21/26.
  • Menyesuaikan sistem dan proses pembuatan bukti potong PPh 21/26 dari manual ke digital.
  • Membiasakan pelaporan SPT Masa PPh 21/26 secara full online tanpa formulir kertas.
  • Memahami dan menerapkan perhitungan PPh 21 berbasis tarif efektif rata-rata dengan benar.
  1. Tantangan bagi Regulator

Di sisi DJP sebagai regulator, beberapa tantangan yang harus dihadapi antara lain:

  • Mempersiapkan infrastruktur TI dan sistem aplikasi e-Bupot 21/26 yang andal dan user-friendly.
  • Melakukan sosialisasi dan pelatihan yang masif kepada pemotong pajak agar memahami kebijakan baru.
  • Memberikan dukungan layanan dan bantuan teknis atas implementasi e-Bupot 21/26.
  • Melakukan pengawasan dan evaluasi atas penerapan kebijakan di lapangan apakah sudah berjalan efektif atau belum.
  • Mendorong budaya baru dalam proses administrasi perpajakan menuju era digital sehingga dapat mengurangi penggunaan kertas.

Proses adaptasi dan implementasi kebijakan baru memang kerap kali menimbulkan gejolak. Namun dengan persiapan matang dan sosialisasi luas mengenai manfaat program-program baru ini, niscaya seluruh pemotong pajak dapat segera beralih menerapkan sistem perpajakan yang lebih transparan, akuntabel, dan efisien di era teknologi informasi saat ini.

Melalui transformasi PPh Pasal 21/26 yang ditandai dengan penerapan e-Bupot 21/26 serta TER PPh 21, DJP berupaya merealisasikan sistem perpajakan modern yang mengedepankan prinsip-prinsip digitalisasi, efisiensi, dan kemudahan bagi masyarakat.

Langkah-langkah strategis ini sejalan dengan tren digitalisasi pelayanan publik di berbagai sektor pemerintahan yang tengah gencar dilakukan saat ini. Digitalisasi administrasi perpajakan diyakini dapat meningkatkan transparansi, akurasi, dan kepatuhan pemotong pajak dalam memenuhi kewajibannya.

Di samping manfaat bagi regulator, inisiatif baru DJP terkait PPh 21/26 juga memberikan keuntungan nyata bagi pemotong pajak itu sendiri. Mulai dari efisiensi waktu dan biaya, hingga percepatan proses dan kemudahan dalam perhitungan pajak.

Tentu saja, seluruh terobosan kebijakan ini tidak terlepas dari berbagai tantangan yang wajar dalam setiap proses reformasi dan modernisasi. Melalui dukungan bersama antara DJP dan pemangku kepentingan terkait, transformasi sistem perpajakan diharapkan dapat memberikan hasil optimal dan berkelanjutan demi kemajuan administrasi perpajakan di Indonesia.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.