Pemikiran Keadilan Radbruch dalam Konteks Ketentuan Pajak Wanita

Oleh: Eko Priyono, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sebagai masyarakat yang terus bergerak maju, konsep keadilan tidak hanya bersifat statis, tetapi terus berkembang seiring berjalannya waktu. Salah satu tokoh yang memainkan peran signifikan dalam merumuskan makna keadilan adalah Gustav Radbruch (1878-1949). Pemikirannya membuka cakrawala baru, memandang keadilan tidak hanya sebagai konsep hukum formal, tetapi juga sebagai entitas dengan dimensi pribadi dan filosofis yang mendalam.
Menurut Radbruch, keadilan pertama-tama harus dipahami sebagai suatu sifat atau kualitas pribadi. Konsep ini merujuk pada keadilan subjektif, yang ia sebut sebagai keadilan sekunder. Artinya, keadilan tidak hanya tercermin dalam peraturan hukum, tetapi juga menjadi bagian integral dari pendirian, sikap, pandangan, dan keyakinan seseorang. Keadilan subjektif menggambarkan komitmen individu terhadap terwujudnya keadilan objektif, yang menjadi keadilan primer. Sumber utama keadilan, menurut Radbruch, berasal dari hukum positif dan cita hukum (rechtsidee). Pandangan ini menegaskan bahwa keadilan tidak dapat dipisahkan dari kerangka hukum yang berlaku dan pandangan filosofis yang menjadi landasan pembentukan hukum tersebut. Oleh karena itu, hukum yang adil harus mencerminkan nilai-nilai yang diakui oleh masyarakat dan memiliki dasar filosofis yang kokoh. Kesamaan menjadi inti konsep keadilan menurut Radbruch, mengikuti pemikiran Aristoteles. Pemikiran ini membagi keadilan menjadi dua bentuk, yaitu keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif membahas alokasi sumber daya dan keuntungan secara adil dalam masyarakat, sementara keadilan komutatif berkaitan dengan keseimbangan dalam pertukaran dan transaksi antarindividu.
Dalam era dinamika sosial dan perkembangan hukum, pemikiran Radbruch memberikan dasar bagi pemahaman yang lebih komprehensif tentang keadilan. Keadilan tidak hanya dilihat sebagai aturan hukum formal, tetapi juga sebagai nilai yang mendorong individu untuk menciptakan tatanan sosial yang adil dan seimbang. Oleh karena itu, dalam menghadapi tantangan zaman, penting bagi kita untuk melibatkan pemikiran seperti yang diajarkan oleh Radbruch, agar konsep keadilan tidak hanya terbatas pada aturan, tetapi juga mencerminkan tekad moral dan filsafat yang mendalam.
Implikasi pemikiran Radbruch tentang keadilan tidak hanya terbatas pada ranah teori dan filsafat. Dalam konteks ketentuan pajak, terutama terkait dengan wanita, konsep keadilan ini dapat diaplikasikan dalam beberapa ketentuan khusus penghasilan tidak kena pajak (PTKP) bagi perempuan.
Baca juga:
Pink Tax: Diskriminasi Harga untuk Perempuan
Menstruasi, Tampon, dan Pink Tax di Indonesia
Wanita dan Pajak, Tulang Punggung Negara
Perlukah Wanita (Isteri) Memiliki NPWP Sendiri?
Perlakuan NPWP Wanita Kawin Setelah Pemberlakuan NIK sebagai NPWP
Macam-Macam Kategori Wajib Pajak Wanita
Pertama, Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) menempatkan keluarga sebagai unit kesatuan ekonomis. Artinya, secara prinsip, satu keluarga membutuhkan satu nomor pokok wajib pajak (NPWP) atau cukup nomor induk kependudukan (NIK) suami yang diaktivasi sebagai NPWP. Ini mencerminkan pandangan bahwa penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak, dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun, dalam situasi di mana istri memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak memiliki hubungan dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya, maka penghasilan tersebut dapat dikenai PPh bersifat final. Hal ini mencerminkan prinsip keadilan komutatif, di mana setiap pihak merasa mendapatkan nilai setara dari transaksi yang dilakukan.
Ketentuan khusus PTKP wanita kemudian membahas kemungkinan suami-istri dikenai pajak secara terpisah dalam beberapa kondisi tertentu. Jika suami-istri hidup berpisah berdasarkan putusan hakim, memiliki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, atau istri memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, mereka dapat memiliki NPWP terpisah. Dalam konteks PTKP wanita lajang, prinsipnya sama dengan PTKP laki-laki lajang. Namun, pada kenyataannya, wanita lajang juga dapat menanggung biaya hidup keluarganya, sehingga diizinkan menambahkan tanggungan pada komponen PTKP-nya.
Bagi wanita kawin, UU PPh menempatkan suami dan istri sebagai satu kesatuan ekonomis. Penghasilan istri digabungkan dengan penghasilan suami, dan kerugian istri dilaporkan sebagai kerugian suami. Namun, ada pengecualian jika suami tidak memiliki penghasilan, di mana besaran PTKP wanita kawin dapat ditambah dengan PTKP untuk status kawin dan PTKP untuk anggota keluarga sedarah dan/atau keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya. Dalam situasi di mana wanita kawin bekerja pada satu pemberi kerja, penghasilannya dapat dikenai PPh bersifat final jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Namun, jika wanita kawin bekerja pada lebih dari satu pemberi kerja, penghasilannya tidak bersifat final, dan PTKP-nya mengikuti ketentuan umum. Ketentuan PTKP wanita yang melakukan kegiatan usaha juga mengikuti prinsip keadilan distributif. Penghasilan istri digabungkan dan dilaporkan dengan penghasilan suami, dan kerugian istri juga digabungkan dengan penghasilan/kerugian suami. Tidak ada pengenaan penghasilan istri yang bersifat final layaknya satu pemberi kerja. Dengan kata lain, penggunaan PTKP dalam penghitungan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh suami adalah K/I/... (sesuai jumlah tanggungan). Dalam situasi terpisah, ketika suami-istri memiliki NPWP terpisah, besaran PTKP bagi wanita kawin tetap sama, yaitu TK/0. Namun, dalam pelaporan SPT Tahunan PPh orang pribadi, masing-masing suami dan istri harus menghitung ulang PPh terutang atas penghasilan yang diterimanya secara proporsional.
Secara keseluruhan, ketentuan khusus PTKP wanita mencerminkan upaya untuk mencapai keadilan dalam sistem perpajakan. Prinsip-prinsip keadilan distributif dan komutatif terlihat dalam alokasi tanggungan pajak antara suami dan istri, serta dalam perlakuan terhadap wanita lajang dan kawin. Oleh karena itu, penggunaan konsep keadilan dalam merancang ketentuan perpajakan bukan hanya tentang aturan yang formal, tetapi juga tentang menciptakan keadilan dalam alokasi beban pajak sesuai dengan kontribusi dan kondisi masing-masing individu. Dalam menghadapi kompleksitas perubahan sosial dan ekonomi, penting untuk mempertimbangkan nilai-nilai keadilan seperti yang diajarkan oleh Gustav Radbruch. Konsep keadilan yang holistik dan mendalam membantu menciptakan sistem perpajakan yang tidak hanya efisien, tetapi juga adil. Oleh karena itu, perlu adanya upaya terus-menerus dalam mengevaluasi dan memperbarui ketentuan perpajakan agar tetap relevan dan memenuhi standar keadilan yang diterima oleh masyarakat.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 213 views