Oleh: Vinna Dien Asmady Putri, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Teruntuk para wanita, apakah kamu tahu bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga memiliki dampak terhadap kesetaraan gender antara pria dan wanita? Mari kita lihat.

Dalam artikel ini akan diulas salah satu titik penting dalam kehidupan seorang wanita yaitu periode menstruasi. Menstruasi bagi wanita adalah Kodrat. Kodrat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah: kekuasaan Tuhan, hukum alam, atau sifat asli/sifat bawaan. Dengan demikian, mengelola proses mentruasi dalam kehidupan sehari-harinya adalah suatu kenyataan hidup yang spesifik hanya dihadapi atau ditanggung oleh wanita.

Saat mentruasi, salah satu kebutuhan pokok bagi wanita adalah pembalut. Pembalut di sini meliputi segala jenis produk sanitasi wanita yang digunakan untuk menampung darah menstruasi. Berdasarkan pencarian daring yang dilakukan penulis, produk ini bisa berbentuk kain, pembalut/pads sekali pakai, tampon, maupun menstrual cup. Semua jenis produk pembalut ini, hingga saat artikel ini ditulis, termasuk barang yang dikenai PPN. PPN atas pembalut ini merupakan beban bagi penghasilan seorang wanita dan hanya wanitalah yang terbebani dengan PPN ini karena hanya wanita yang menggunakan pembalut sebagai bentuk menjalankan kodratnya.

Beberapa negara telah menurunkan bahkan membebaskan pembalut dari pengenaan pajak misalnya India, Kenya, Kanada, Jamaika, Malaysia, Amerika Serikat, Jerman, dan beberapa negara lainnya. Lalu adakah negara, selain Indonesia, yang juga mengenakan pajak pada pembalut? Kroasia adalah salah satu contohnya.

Di Kroasia pada tahun 2021, tarif PPN atas pembalut adalah 25% meskipun telah diajukan penurunan tarif PPN dari 25% ke 5% namun usulan tersebut ditolak. Alasan penolakan tersebut adalah karena parlemen Kroasia tidak dapat meyakini bahwa menurunkan tarif PPN untuk pembalut akan berpengaruh kepada turunnya harga pembalut di negara tersebut. Anggota parlemen dalam wawancara yang dilansir balkaninsight.com dan ditayangkan juga melalui ddtc.co.id mengatakan bahwa faktor harga pembalut lebih dipengaruhi oleh preferensi wanita terhadap variasi jenis pembalut dan faktor-faktor bahan baku tambahan seperti mawar atau lavender yang akhirnya justru meningkatkan harga pembalut.

Di Indonesia sendiri sempat muncul rencana kebijakan PPN multitarif dengan pembalut dapat dijadikan salah satu produk yang memiliki tarif lebih rendah daripada tarif PPN barang/jasa pada umumnya. Namun, PPN multitarif seperti ini memiliki sisi moral hazard dengan kemungkinan timbulnya upaya-upaya dari produsen untuk mengintervensi pejabat pemerintahan agar produk buatannya memiliki tarif PPN lebih rendah daripada barang penggantinya, misalnya.

Lalu bagaimana jika dibebaskan sama sekali? Untuk membebaskan pembalut dari pengenaan PPN saat ini dibutuhkan perubahan pada Pasal 4A UU PPN sehingga memasukkan pembalut sebagai barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Namun, tentu saja wacana seperti ini akan dihadapkan kepada argumen-argumen seperti apakah itu kebutuhan pokok? Apakah syarat barang itu dibutuhkan oleh wanita dapat dikategorikan sebagai kebutuhan rakyat banyak sedangkan susu formula untuk bayi saja masih dikenakan PPN? Sepertinya tampon tax di Indonesia masih akan ada untuk beberapa saat ke depan.

Selain tampon tax, dunia pun kini mengenal istilah ‘Pink Tax’. Apakah Pink Tax ini? Pink Tax pada dasarnya adalah pembedaan harga berdasarkan pangsa pasar yang berbasis gender. Contoh dari pink tax. Misalnya, cukuran rambut yang dikhususkan untuk wanita memiliki harga yang lebih mahal dibanding cukuran rambut pada umumnya. Sesungguhnya cukuran rambut pada umumnya dapat digunakan oleh wanita, namun ketika produk tersebut memiliki kekhususan untuk para wanita (perbedaan warna menjadi pink atau faktor pembeda lainnya) maka harganya menjadi naik dan lebih mahal daripada ketika produk tersebut belum berbeda.

Pink tax berbeda dengan tampon tax. Pembebanan PPN-lah yang berperan dalam ketidaksetaraan gender, maka pada pink tax kebijakan penentuan harga oleh pengusahalah yang berperan dalam ketidaksetaraan gender.

Berdasarkan penelusuran penulis, ultimagz.com mengutip thekzooindex.com, mengemukakan bahwa wanita membuat 85% pembelian konsumen dan memengaruhi lebih dari 95% dari total barang dan jasa yang dibeli sehingga wanita menjadi pangsa pasar yang disasar oleh para pengusaha/produsen produk-produk konsumsi.

Para produsen membuat produk yang disukai wanita dari aspek bentuk, warna, ataupun aspek lain yang dapat mengindikasikan kekhususan atau spesialisasi kepada wanita. Hal ini diharapkan akan mendapatkan sambutan baik di pasar yang akhirnya menaikkan penjualan. Namun tentu saja, untuk kekhususan atau rasa spesial tersebut ada kenaikan harga yang harus dibayar, sehingga keuntungan yang dibuat dapat menjadi lebih besar lagi. Cukup mengesalkan bukan? Wanita diasumsikan sebagai pendamba rasa intim atau rasa khusus dan untuk itu rela membayar lebih mahal. Dalam terminologi ekonominya, wanita dianggap kurang elastis terhadap harga produk sehingga walaupun harganya naik dan lebih mahal, namun tetap saja dibeli dan digunakan.

Tirto.id mengutip investopedia, mengatakan bahwa beberapa negara bagian di Amerika Serikat mencabut atau mengatur ulang undang-undangnya yang membebankan secara berbeda harga barang/jasa berdasarkan gender sehingga mengurangi diskriminasi gender.

Lalu apakah pemerintah Indonesia juga akan mengikuti langkah tersebut? Diikuti atau tidak, sementara waktu ini, sebetulnya wanita dapat menghindari pengenaan harga secara diskriminatif dengan menanamkan kesadaran di dalam dirinya tentang kegunaan barang yang sejati dan tidak terbawa arus untuk membeli barang-barang berdasarkan dorongan emosi atau hal lain yang tidak esensial dari produknya sendiri.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.