Pink Tax: Diskriminasi Harga untuk Perempuan

Oleh: Fikri Harris, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
“Produk yang ditargetkan untuk perempuan harganya lebih mahal 7% dibandingkan dengan produk yang ditargetkan untuk laki-laki”.
Kutipan tersebut diambil dari hasil studi New York City Department of Consumer Affairs (DCA) pada tahun 2015 yang berjudul Form Cradle to Cane: The Cost of Being a Female Consumer. Penelitian ini dilatarbelakangi dari isu kesetaraan gender yang tidak hanya menyasar moralitas, tetapi juga hingga ranah ekonomi. Pembahasan mengenai pink tax ini bahkan sempat menjadi perdebatan hangat saat Anggota Kongres California Jackie Speir mengajukan RUU Pencabutan Pink tax pada tahun 2015.
Pada tahun 2021 desakan penghapusan pink tax ini muncul kembali ketika dua senator Amerika Serikat (AS) Maggie Hassan dan Joni Ernst mengajukan RUU yang menghapuskan pink tax pada seragam militer. Hal tersebut bertujuan untuk mengatasi ketidakadilan gender di militer. Sebagai gambaran, biaya seragam bagi tentara perempuan di AS sebesar US$8.000,00. Sementara untuk tentara laki-laki hanya separuhnya, sebesar US$4.000,00.
Selain itu, Zelnier (2018) menyimpulkan bahwa harga pakaian anak perempuan rata-rata 4% lebih mahal daripada pakaian anak laki-laki. Kemudian, perempuan membayar 7% lebih mahal dibandingkan laki-laki untuk aksesoris seperti tas jinjing dan jam tangan, 8% lebih mahal untuk pakaian dan 13% lebih mahal untuk perawatan pribadi seperti deodoran.
Perbedaan harga ini disebut sebagai pink tax atau pajak merah muda.
Definisi Pink Tax
Pink tax dapat dipahami sebagai biaya tambahan yang harus dibayar perempuan dalam kehidupan sehari-hari karena mereka mengonsumsi produk yang “penting” agar masyarakat memandang mereka sebagai perempuan yang menarik dan feminim. Masyarakat cenderung tidak menyadari mengenai penerapan ini, sehingga pink tax diumpamakan sebagai biaya tersembunyi.
Dapat dipahami, pink tax dikenakan terhadap produk dan layanan yang ditujukan untuk gender perempuan. Pada nyatanya, produk ini cenderung memiliki manfaat yang sama atau lebih rendah dengan produk serupa yang ditargetkan untuk laki-laki. Adapun, disebut sebagai pink tax karena warna merah muda secara lahiriah dianggap masyarakat sebagai warna feminitas.
Walaupun mengandung kata pajak, pink tax bukanlah pajak yang diregulasikan secara resmi oleh pemerintah, melainkan perbedaan harga yang dikenakan oleh perusahaan kepada konsumen wanita. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada peran pemerintah dalam pengenaan pajak gender ini.
Namun perlu diketahui, terdapat pengenaan pajak untuk konsumen perempuan yang resmi diregulasikan oleh pemerintah. Jenis pajak tersebut biasa dikenal sebagai istilah tampon tax, atau pajak yang dibebankan pada produk-produk menstruasi. Pengenaan pajak ini biasanya menggunakan mekanisme pajak pertambahan nilai.
Perdebatan mengenai penghapusan tampon tax ini bahkan lebih masif diberbagai negara ketimbang pink tax. Akan tetapi, ada atau tidaknya campur tangan pemerintah, keberadaan pink tax ini jelas cukup melukai keadilan terhadap kesetaraan gender
Fenomena pink tax di Indonesia paling sering ditemui pada produk perawatan diri. Misalnya, produk pisau cukur untuk laki-laki memiliki harga rata-rata Rp20.000,00 hingga Rp50.000,00. Sementara, untuk perempuan produk pisau cukur rata-rata harganya lebih dari Rp100.000,00. Kemudian, harga sabun muka laki-laki rata-rata harganya Rp50.000,00. sedangkan untuk sabun muka perempuan rata-rata berharga lebih dari Rp100.000,00.
Penyebab Perbedaan Harga
Perbedaan harga dapat terjadi karena berbagai alasan, seperti pemasaran, biaya produksi hingga kebutuhan konsumen.
Pertama, beberapa perusahaan menggunakan strategi pemasaran yang berbeda untuk menarik konsumen perempuan dan laki-laki. Seperti penggunaan warna dan desain kemasan hingga pemengaruh yang dipakai jasanya untuk mempromosikan produk perempuan. Hal tersebut dapat membuat konsumen perempuan tertarik terhadap produk dan jasa tersebut dan bersedia membayar lebih mahal daripada konsumen laki-laki.
Kedua, produk atau jasa yang ditargetkan untuk perempuan biasanya memiliki biaya produksi lebih tinggi daripada produk laki-laki. Misalnya, produk perawatan diri perempuan memerlukan bahan-bahan yang lebih kompleks sehingga harganya lebih mahal. Selain itu, produk perempuan mayoritas lebih bervariasi dibandingkan produk laki-laki.
Ketiga, konsumen perempuan memiliki kecenderungan belanja lebih sering dibandingkan laki-laki. Kebiasaan perempuan untuk berbelanja ini meningkatkan permintaan pasar sehingga perusahaan dapat menetapkan harga yang lebih tinggi.
Merupakan salah satu strategi perusahaan untuk mendapatkan keuntungan lebih karena mereka tahu perempuan cenderung rela mengeluarkan uang lebih banyak untuk barang-barang yang dikhususkan untuk mereka.
Solusi Permasalahan Pink Tax
Masih adanya disparitas harga produk terhadap konsumen perempuan merupakan hal yang nyata terjadi dan tidak dapat dibiarkan. Kini, melalui peningkatan kualitas pendidikan serta kesadaran masyarakat, diskriminasi gender dalam bidang ekonomi melalui pink tax dapat dikurangi.
Solusi nyata untuk memberantas pink tax ini telah dimulai melalui gerakan masyarakat yang konsen terhadap isu kesetaraan gender. Tanpa pemahaman terhadap konsumen perempuan, masyarakat tidak dapat meruntuhkan dan membangun norma sosial baru yang memungkinkan adanya kesetaraan di antara konsumen.
Kaum perempuan mulai menggencarkan gerakan di media sosial untuk mengatasi situasi ini. Vermond (2018) mengatakan Pink Tax dan Gender Tax telah sukses menyebar di media seperti Twitter untuk mempromosikan pengetahuan tentang pajak tersembunyi di negara-negara seperti Spanyol dan Irlandia.
Sementara, Zelniker (2018) mengatakan bahwa di Kanada organisasi seperti Girl Talk HQ berupaya mendidik perempuan untuk mendorong perubahan legislatif.
Beberapa negara telah berupaya untuk menghapus atau mengurangi pink tax. Di AS misalnya, telah diajukan RUU Pink Tax Repeal Act oleh anggota kongres. Mereka berpendapat bahwa pink tax adalah diskriminasi yang nyata terhadap kaum perempuan. Selain itu, Australia, Kanada hingga India juga telah menghapus pengenaan pajak terhadap tampon dan produk perempuan lainnya.
Permasalahan ini akan dapat diatasi secara perlahan, jika kaum perempuan mau “melawan”.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 606 kali dilihat