
Oleh: Rizki Piet Darmawan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Keuangan negara merupakan semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pengertian keuangan negara ini terdapat pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pembahasan kerugian pada pendapatan negara tidak akan lepas dari pembahasan tentang kerugian negara meskipun pada UU Keuangan Negara juga tidak diatur apa itu kerugian pada pendapatan negara atau kerugian negara. UU Keuangan Negara dalam muatannya hanya menyebutkan bahwa terkait penyelesaian kerugian negara diatur dalam UU, dimana dalam perkembangannya UU yang dimaksud adalah UU Perbendaharaan Negara. Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Ketentuan tersebut tidak secara eksplisit mengatur terkait kerugian pada pendapatan negara. Bahkan keseluruhan substansi pasal yang terdapat dalam paket UU Keuangan Negara tidak secara tegas menyebut frasa yang digunakan yaitu antara kerugian keuangan negara atau kerugian negara yang mana dapat berbeda makna dengan kerugian pada pendapatan negara. UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sendiri menggunakan frasa kerugian keuangan negara.
Pasal 2 ayat (1) UU Keuangan Negara menjelaskan bahwa yang merupakan bagian keuangan negara adalah: a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c. Penerimaan Negara; d. Pengeluaran Negara; e. Penerimaan Daerah; f. Pengeluaran Daerah; g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Lebih jauh berkaitan dengan pendapatan negara, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Keuangan Negara menjelaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terdiri dari anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan merupakan wujud dari pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan UU. Pasal 11 ayat (3) UU Keuangan Negara menyebutkan bahwa pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah. Muatan dua pasal tersebut secara tersirat menyebutkan bahwa pendapatan negara merupakan unsur dari keuangan negara dan dalam pengertiannya, pajak merupakan bagian dari pendapatan negara. Dengan demikian, dapat diartikan, kerugian pada pendapatan negara merupakan bagian dari kerugian negara atau bagian dari kerugian keuangan negara. Kerugian pada pendapatan negara adalah kerugian negara atau kerugian keuangan negara pada sisi pendapatan negara berupa penerimaan pajak.
Berdasarkan hal tersebut di atas, frasa kerugian pada pendapatan negara yang terdapat pada muatan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dapat dipahami sebagai kekurangan pada pendapatan negara berupa penerimaan pajak yang dapat mengakibatkan kerugian negara atau kerugian keuangan negara yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Selanjutnya, berkaitan dengan batasan dan ukuran terkait pemenuhan unsur kekurangan nilai atau jumlah sebagai pembuktian unsur, dilakukan perhitungan pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Frasa kerugian pada pendapatan negara pertama kali muncul di peraturan perpajakan dalam UU Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP. Frasa tersebut terdapat di Pasal 38, Pasal 39, dan Penjelasan Pasal 38 yang mengubah frasa kerugian pada negara yang ada di UU Nomor 6 Tahun 1983. Untuk mempertegas bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana di bidang perpajakan terjadi di sisi pendapatan negara berupa penerimaan pajak, maka frasa kerugian pada negara di UU Nomor 6 Tahun 1983 diubah menjadi kerugian pada pendapatan negara di UU Nomor 9 Tahun 1994.
Frasa kerugian negara kemudian muncul di Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2007, di Pasal 34 yang mengatur penghentian penyidikan. UU Nomor 28 Tahun 2007 sendiri menggunakan frasa kerugian pada pendapatan negara di Pasal 38 dan Pasal 39. Akan tetapi, dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, frasa kerugian negara kembali berubah menjadi kerugian pada pendapatan negara di pasal yang mengatur penghentian penyidikan.
Tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana tersebut di Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) UU KUP merupakan delik materiil yang menitikberatkan pada akibat dari tindak pidana di bidang perpajakan tersebut yaitu kerugian pada pendapatan negara. Berdasarkan hal tersebut, objek penanganan tindak pidana di bidang perpajakan dari pengembangan dan analisis informasi, data, laporan dan pengaduan (IDLP), pemeriksaan bukti permulaan, hingga penyidikan adalah mengidentifikasi adanya kerugian pada pendapatan negara dan tidak an sich mengidentifikasi jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Akan tetapi, karena pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan dilakukan terhadap indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, penghitungan jumlah kerugian pada pendapatan negara menggunakan parameter jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Pada proses penyidikan yang dilakukan terhadap perusahaan atau korporasi, dilakukan kegiatan pemeriksaan terhadap saksi dan dokumen yang berdasarkan bukti atau keterangan yang diperoleh, penyidik menetapkan tersangka. Bisa tersangka korporasi dan perseorangan atau tersangka perseorangan saja. Bisa satu tersangka atau lebih dari satu tersangka. Bisa tersangka pelaku utama saja atau tersangka turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu tindak pidana di bidang perpajakan. Kerugian pada pendapatan negara dibebankan kepada pihak yang melakukan perbuatan pidana dan tidak terkait kepada kewajiban perpajakan.
Yang dibebankan kepada tersangka adalah kerugian pada pendapatan negara dalam satu peristiwa pidana dan bukan an sich pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Jika yang dibebankan adalah an sich pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar maka hal tersebut hanya dapat dikenakan terhadap wajib pajak yang muncul di Surat Perintah Penyidikan yang pertama karena tersangka (misalnya pengurus korporasi atau pelaku turut serta) tidak dapat dibebani pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar yang menjadi kewajiban wajib pajak yang muncul di Surat Perintah Penyidikan yang pertama. Jika frasa kerugian pada pendapatan negara yang digunakan, hal tersebut sudah tepat karena kerugian pada pendapatan negara dapat dibebankan kepada setiap tersangka terkait dengan perbuatan pidana yang telah dilakukan dan tidak terkait kepada kewajiban perpajakan. Namun demikian, sekali lagi, karena ini adalah penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perpajakan, penghitungan jumlah kerugian pada pendapatan negara menggunakan parameter jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dalam Pasal 44B UU KUP, frasa kerugian pada pendapatan negara lebih tepat digunakan daripada frasa jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar untuk penghentian penyidikan yang berasal dari delik pidana Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) UU KUP. Jumlah kerugian pada pendapatan negara yang menjadi dasar pembayaran pokok dan sanksi Pasal 44B UU KUP dapat ditentukan oleh Ahli Perpajakan.
- 1220 kali dilihat