Oleh: Edmalia Rohmani, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Kota Hujan pagi itu tidak sedang hujan. Bu Eka, panitia kegiatan, menyambut kami di lobi hotel yang berlokasi tak jauh dari Stasiun Bogor. Ya, pagi ini kami akan menjadi salah satu narasumber dalam acara Bimbingan Teknis Pengelolaan Administrasi Keuangan Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas (SMA). “Sebentar lagi acara mulai,” ujarnya ramah.

Ini bukan tahun pertama kami diundang sebagai pembicara. Tahun sebelumnya, kami telah memberikan materi tentang tata cara penghitungan, pembayaran, pelaporan dan aplikasi-aplikasi elektronik yang dapat digunakan untuk pelaporan pajak bagi bendahara. 

Namun, mengubah perilaku pelaporan tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu upaya yang lebih besar untuk melakukan perubahan yang besar. Maka, kami senang ketika disodorkan tema “Kebijakan Perpajakan Terbaru”, artinya kami bisa mulai membantu menginstalasi aplikasi elektronik untuk membantu mereka menuju pelaporan digital. 

Beberapa peserta sudah kami kenal sebab mengikuti acara sosialisasi tahun lalu. Hal ini menambah kepercayaan diri dalam menyampaikan materi, sebab upaya untuk membangun kedekatan dengan audiens tentu membutuhkan upaya ekstra. Dengan modal awal ini kami yakin pesan yang disampaikan akan lebih mudah meresap.

Kami tidak langsung menjelaskan tentang teknis aplikasi. Menurut pengalaman, tantangan terbesar dalam menyampaikan aturan maupun teknis perpajakan memang lebih banyak terkait kesadaran dan motivasi. Apabila penyuluh pajak berhasil memberikan gambaran dan latar belakang kenapa wajib pajak harus melaporkan digital, maka mentransfer keahlian teknis akan lebih mudah.

Kami mula-mula menjelaskan tentang kondisi perekonomian negara yang merupakan negara berkembang dan berada di bayang-bayang perlambatan ekonomi global. Apabila negara kita gagal mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, maka Indonesia akan terjebak dalam fenomena Middle Income Trap atau jebakan negara berpendapatan menengah dan gagal menjadi negara dengan pendapatan tinggi.

Padahal, negara kita diramalkan akan mengalami bonus demografi di tahun 2020-2035. Bonus demografi adalah sebuah kondisi dimana penduduk berusia muda yang produktif akan membanjiri pasar tenaga kerja Indonesia dan menanggung penduduk berusia non-produktif yang jumlahnya lebih sedikit. Apabila negara kita gagal menciptakan kondisi perekonomian yang kondusif sehingga lapangan pekerjaan di masa itu tidak optimal menyerap tenaga kerja, maka yang terjadi adalah bencana demografi. 

Bencana demografi juga bisa terjadi ketika negara kita gagal menciptakan tenaga kerja muda berkeahlian tinggi. Apabila yang tersedia adalah tenaga kerja berpendidikan rendah dengan keahlian yang tidak sesuai dengan permintaan pasar, maka pengangguran akan terjadi secara massal. Akan sangat sulit bagi Indonesia untuk melompat ke jajaran negara maju apabila saat ini tidak dilakukan revolusi besar-besaran dalam bidang pendidikan dan riset teknologi.

Maka, pajak mempunyai peran besar dalam hal ini. Sebab, lebih dari tiga perempat penerimaan negara berasal dari pajak dan digunakan untuk membiayai berbagai macam program pemerintah. Program-program pemerintah selain untuk membiayai pembangunan fasilitas publik dan infrastruktur, juga digunakan untuk mengakselerasi kemajuan di bidang pendidikan, riset, dan pengembangan teknologi.

Saat ini, penerimaan negara di luar perpajakan didapatkan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan utang. Seandainya seluruh wajib pajak mengetahui kewajiban pajaknya dan mempunyai kesadaran dalam memenuhinya, maka bukan tidak mungkin suatu saat nanti pajak akan menjadi satu-satunya sumber penerimaan negara dan mengantarkan negara kita menjadi negara mandiri yang terbebas dari utang.

Lalu apa hubungannya dengan kewajiban bendahara? Nah, di sinilah kami mulai memasukkan sugesti tentang pentingnya peran bendahara pemerintahan. Kami jelaskan bahwa berdasarkan APBN 2017, 26%-nya adalah belanja pegawai dengan nilai belanja pemerintah sebesar Rp1.315 triliun. Berdasarkan informasi ini, bendahara menjadi kunci keberhasilan pengelolaan keuangan pemerintah. 

Apabila bendahara belum mengetahui pentingnya peran mereka, secara psikologis pelaporan digital akan menjadi beban dan menciptakan keengganan. Padahal, pelaporan digital menjadi penting karena dapat memudahkan pekerjaan bendahara di masa depan. Sistem pelaporan digital mengurangi mobilitas penggunanya sehingga waktu menjadi lebih efisien. 

Dengan sistem pembayaran yang juga elektronik, seharusnya bendahara tidak perlu meninggalkan kantor untuk membayar dan melapor pajak. Data yang dilaporkan juga dapat diandalkan dan langsung diolah oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menjalankan proses bisnisnya. Namun, agar hal ini disadari oleh bendahara, diperlukan pemberian motivasi dan kemampuan di bidang teknologi yang mumpuni.

Setidaknya ada tiga kendala terkait pelaporan digital pada bendahara. Pertama, terjadi mutasi kepegawaian sehingga bendahara baru memerlukan transfer ilmu dari bendahara lama dan edukasi ulang dari petugas pajak. Kedua, sumber daya manusia dan keterampilan dalam menggunakan perangkat komputer. Hal ini biasanya dipengaruhi faktor usia, pendidikan, dan tingkat ketekunan masing-masing individu. Ketiga, banyaknya data yang perlu dihimpun oleh bendahara dan transaksi pembayaran dengan pihak lain. Semakin banyak data yang dikumpulkan dan diolah oleh bendahara, akan semakin besar beban psikologis dan keengganan dalam pelaporan elektronik.

Di sinilah peran petugas penyuluh dalam memberikan motivasi kepada para bendahara. Setelah kami menjelaskan tentang pentingnya peran mereka dan juga peran pajak yang sangat vital dalam pembangunan, terlihat audiens mulai antusias dan bertanya-tanya tentang aplikasi. Kami pun memanfaatkan momen ini untuk mulai menginstalasi dan menjelaskan melalui video. 

Ada sebuah saran menarik yang disampaikan oleh salah satu peserta, yaitu perlunya DJP untuk membuat sistem pelaporan yang dapat terintegrasi atau mengambil data dari aplikasi Sistem Aplikasi Satker (SAS), sebab beberapa data yang diperlukan dalam pelaporan pajak sebenarnya sudah dilaporkan melalui aplikasi tersebut. Apabila sistem keduanya dapat tersambung atau bendahara dapat mengunduh data yang diperlukan dari aplikasi SAS, selain mengurangi duplikasi pekerjaan juga dapat mengecek kesesuaian data yang diberikan.

Selain itu, diketahui terdapat kendala lain yaitu beberapa kasus kegagalan instalasi aplikasi akibat spesifikasi perangkat yang tidak sesuai. Diperlukan pemutakhiran aplikasi pelaporan pajak agar kompatibel dengan kondisi perangkat terkini. Menyadari hal tersebut, kami menyampaikan bahwa di lain waktu kami akan mengundang para bendahara tersebut dan memberikan sosialisasi khusus teknis pengisian aplikasi dan mengatasi galat.

Mengedukasi pajak bendahara jelas bukan pekerjaan sehari dua hari. Dibutuhkan konsistensi dan niat baik dari semua pihak, baik dari DJP maupun instansi lain. Dalam hal ini, edukasi pajak akan sulit mencapai tujuannya apabila tidak terjalin sinergi dan hubungan yang harmonis antarkedua pihak. Apabila hal itu dapat tercipta maka mentransformasi mereka menuju pelaporan digital jelas akan lebih mudah. (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.