Oleh: Threesya Aldina, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pesona generasi millenial kian dibuntuti oleh karisma generasi sesudahnya. Generasi post-millenial atau yang sering disebut generasi Z adalah generasi yang lahir pada rentang tahun 1995-2015. Saat ini generasi Z boleh dikatakan sebagai calon nakhoda yang bertanggung jawab atas ke mana kapal peradaban manusia akan berlabuh.

Dibanding generasinya terdahulu yaitu generasi Y (1980-1994), generasi X (1965-1979), dan generasi Baby Boomers (1944-1964), generasi post-millenial mengantongi tantangan baru yang disebabkan oleh pesatnya percepatan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang mengiringi tumbuh-kembang mereka, yaitu revolusi industri 4.0. Meski generasi millenial atau Y tengah berada di kulminasi potensi perpajakan, generasi post-millenials digadang akan mendominasi target konsumen di masa mendatang.

Penduduk Indonesia pada 2019 diproyeksikan berjumlah 267 juta jiwa dengan dominasi 68.7% usia produktif (15-64 tahun), yakni 183,5 juta jiwa. Bila jumlah penduduk usia produktif tersebut dibagi menjadi beberapa blok generasi maka hasilnya sebagai berikut: generasi Z 24% (44.2 juta), generasi Y 34.7% (63.6 juta), generasi X 28.7% (52.7 juta), dan generasi Baby Boomers 12.5% (23 juta). Sedangkan jika blok-blok generasi tersebut dikomparasi menyeluruh dengan total populasi, hasilnya sebagai berikut: generasi Z 41.3% (110.3 juta), generasi Y 23.8% (63.6 juta), generasi X 19.7% (52.7 juta), dan generasi Baby Boomers 15.1% (40.3 juta). Data tersebut sudah jelas menunjukkan bahwa generasi Z menguasai demografi Indonesia dan dapat dipastikan dalam beberapa tahun ke depan generasi Z akan menjadi konsumen akbar dan ladang potensi perpajakan.

Adalah Tax Goes To School (TGTS), sebuah inovasi edukatif yang digagas oleh Direktorat Jenderal Pajak di bawah naungan Kementerian Keuangan yang bertujuan untuk menjembatani transformasi budaya sadar pajak di kalangan muda, yaitu anak usia sekolah dasar dan usia sekolah menengah pertama hingga menengah atas. TGTS ini sudah diselenggarakan oleh ratusan KPP (Kantor Pelayanan Pajak) dan KP2KP (Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan) yang tersebar di seluruh Indonesia. Pada dasarnya, kegiatan semacam TGTS ini bukanlah hal baru dalam dunia pemerintahan.

The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 30 Juni 2015 merilis sebuah buku berjudul Building Tax Culture, Compliance, and Citizenship: A Global Source Book on Taxpayer Education. Buku tersebut memuat strategi inovatif dari 28 negara dalam upaya meradiasi pemahaman dan kesadaran pajak menuju moral dan pemenuhan pajak. Dari 28 negara tersebut, 2 negara di antaranya berasal dari kawasan Asia Tenggara. Jika Indonesia tampil dengan Tax Goes To School-nya, Malaysia maju dengan Tax Fun for Children dan Singapura dengan ide No-Filing Service-nya.

Adrian Furnham dalam Understanding the meaning of tax: Young peoples’ knowledge of the principles of taxation (2005) memaparkan hasil penelitian terbatasnya terhadap 60 anak yang berusia 10 hingga 15 tahun yang dikelompokkan berdasarkan gender dan status sosioekonomi. Furnham memberikan 4 pertanyaan: 1. Apa arti pajak menurut kamu? 2. Siapa yang memutuskan berapa banyak pajak yang harus dibayar masyarakat? 3. Untuk apa saja uang pajak yang kita bayarkan digunakan oleh pemerintah? 4. Apakah orang luar negeri juga membayar pajak?

Hasil penelitiannya menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, peningkatan pemahaman anak terkait pajak berbanding lurus dengan peningkatan usia anak. Kedua, tidak ada penemuan yang signifikan dari pengaruh gender. Ketiga, status sosial mempengaruhi pemahaman anak terhadap pajak. Anak-anak dari kalangan ekonomi rendah cenderung memiliki pengetahuan perpajakan yang lebih baik daripada anak-anak kalangan ekonomi menengah ke atas karena mereka lebih awal terlibat dalam transaksi ekonomi, sehingga pemahaman perpajakannya juga lebih baik.

Pada Agustus 2018, Chartered Institute of Taxation (CIOT) yang bermarkas di Inggris melakukan sebuah penelitian yang diberi judul Improving Tax Literacy and Tax Morale of Young Adults. Penelitian ini melibatkan 377 mahasiswa Inggris yang berasal dari jurusan Akuntansi dengan modul perpajakan, jurusan Bisnis dan Nonbisnis tanpa modul perpajakan. Hasilnya menunjukkan bahwa gender, kelompok dengan atau tanpa modul perpajakan, dan kelompok dengan atau tanpa pengalaman pekerjaan mempengaruhi moral pajak. Responden perempuan cenderung memiliki moral pajak yang lebih tinggi dibanding responden laki-laki.

Hal yang menarik adalah ketika modul perpajakan belum diberikan, mahasiswa yang terdaftar di jurusan perpajakan malah memiliki moral pajak yang lebih rendah daripada mahasiswa yang terdaftar di jurusan lain. Selain itu, mahasiswa dengan pengalaman kerja cenderung memiliki moral pajak yang lebih baik dibanding mahasiswa tanpa pengalaman kerja. Kedua penelitian ini dapat menjadi gambaran bagi masyarakat secara umum dan pemerintah secara khusus atas esensialnya penetrasi literasi pajak yang kontinu dalam membangun moral dan sadar pajak serta menjembatani administrasi dan pemenuhan perpajakan dengan membidik generasi post-millenial sebagai sasaran utamanya. 

Generasi post-millenial adalah generasi yang kritis dan skeptis sebab kanal menuju hilir validitas dan fakta semakin ramah untuk dilalui. Lebih lanjut, generasi Z akan mampu menentukan sendiri keputusan dan perilaku finansialnya. Hal ini sejalan dengan teori ekonomi Alfred Marshall tentang Perilaku Konsumen yang didasarkan pada asumsi bahwa individu adalah pembeli rasional yang memiliki informasi sempurna tentang pasar dan menyadari sepenuhnya keinginan dan kebutuhannya serta mampu melakukan cara yang terbaik untuk mencapai pemenuhan tersebut.

Ke depannya, paham Marshallian ini tak hanya dimiliki oleh elit generasi dewasa pendahulu generasi post-millenial, melainkan juga dimiliki secara dini oleh generasi post-millenial itu sendiri. Salah satu faktor pendukungnya adalah fenomena online shopping dengan maraknya perkembangan e-commerce di Indonesia. Teknologi yang mempersingkat durasi dan mengeliminasi jarak sebagai hambatan proses bisnis maupun transaksi ekonomi inilah yang juga membedakan karakteristik antar generasi. Jika transaksi ekonomi konvensional lebih diminati oleh generasi X dan generasi Baby Boomers, maka transaksi ekonomi modern menempati ruang khusus generasi Y dan generasi Z atau post-millenial. Keputusan dan perilaku finansial generasi Z ini akan berdampak pada mikroekonomi Indonesia oleh sebab itu, generasi Z perlu dibekali dengan edukasi perpajakan yang memadai.

Babak awal pengenalan literasi perpajakan ke generasi muda dapat berupa penjelasan ke pos-pos mana saja uang pajak yang dibayar masyarakat dialokasikan oleh pemerintah. Barang publik, infrastruktur, dan fasilitas pendidikan didanai oleh pajak serta merupakan elemen-elemen yang paling akrab ditemui di kehidupan sehari-hari generasi muda sehingga penguatan pemahaman pada sektor-sektor ini berpeluang besar dalam menanamkan moral dan etiket pajak. Pengetahuan mengenai fasilitas publik yang didanai oleh pajak ini juga merupakan inklusi pajak yang preventif terhadap fenomena vandalisme, yaitu perusakan atau penghancuran fasilitas umum.

Memang, dalam APBN negara mengalokasikan anggaran pemeliharaan barang milik negara dalam pos belanja modal, namun kerusakan akibat tindakan kriminal oleh para vandalis sejatinya bukan merupakan target akomodasi anggaran pemeliharaan karena hal itu di luar estimasi dalam penyusunan APBN. Vandalisme dapat menjadi bumerang bagi kesehatan moneter negara karena ia menciptakan  “ongkos tak terduga” yang dalam praktiknya seharusnya dapat dialokasikan untuk tujuan yang lebih baik. Selain mengikis anggaran pemeliharaan, vandalisme juga dapat menyurutkan pendapatan negara.

Vandalisme pada destinasi wisata yang dikelola pemerintah, misalnya, berpotensi menekan minat wisatawan akibat polusi visual yang ditimbulkan dan jika vandalisme terjadi secara massal dan masif maka ia akan berujung pada menurunnya devisa negara dari sektor pariwisata. Selain kerugian material, hal prinsip lainnya yang tak boleh diabaikan adalah reyotnya mental generasi penerus bangsa. Generasi post-millenial, dalam kasus ini, sangat rentan terhadap paradigma yang menyesatkan dan destruktif. Jika tidak dibimbing dan diawasi, bukan tidak mungkin generasi post-millenial menganggap vandalisme adalah media yang lumrah untuk menyuarakan opini atau mewujudkan ekspresi.

Kesimpulannya adalah literasi perpajakan menaburkan resultan positif di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Pajak sebagai segmen fundamental penyumbang pendapatan terbesar negara harus diimbangi dengan upaya-upaya mendasar dan konstruktif oleh pemerintah untuk menyokong pertumbuhan pajak dan pencapaiannya. Generasi post-millenial adalah prospek jangka panjang negara dan sudah semestinya mereka didukung dengan ruang dan kesempatan literasi. Jawatan literasi amat penting dalam denyut nadi negara sebab literasi selain sebagai salah satu media edukasi, juga sebagai alat untuk berinteraksi dengan kancah internasional dan berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat. Denyut nadi itu adalah tugas 110,3 juta generasi post-millenial bersama generasi-generasi pendahulunya.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.

 

Referensi:

Furnham, Adrian. 2005. “Understanding the meaning of tax: Young peoples' knowledge of the principles of taxation” dalam The Journal of Socio-Economics Volume 34 (hlm. 703-713). London: Department of Psychology, University College London.

Alexander, Phyllis et. all. 2018. “Improving Tax Literacy and Tax Morale of Young Adults” dalam End of Project Report to the Chartered Institute of Taxation (hlm. 3-28). Bournemouth: The Business School at Bournemouth University.

https://www.kasasa.com/articles/generations/gen-x-gen-y-gen-z

https://www.oecd.org/publications/building-tax-culture-compliance-and-citizenship-9789264205154-en.htm

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/01/04/jumlah-penduduk-indonesia-2019-mencapai-267-juta-jiwa