Suroto dan Pengenaan Pajak Pertanian

Oleh: Oji Saeroji, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Suroto, seorang peternak ayam petelur dari Blitar mendadak viral di berbagai pemberitaan. Hal ini dikarenakan keberaniannya membentangkan poster sambil berdiri di pinggir jalan ketika mobil Presiden Jokowi bergerak menuju Makam Bung Karno dalam kunjungan kerjanya. Pihak keamanan kemudian mengamankan Suroto yang membentangkan poster bertulisan “Pak Jokowi bantu peternak beli jagung dengan harga wajar”.
Kejadian tersebut seketika menjadi heboh di semua lini masa pemberitaan dan media sosial. Namun demikian, apa pun pro kontrannya, Suroto bersama perwakilan Asosiasi Peternak Unggas dan Pengusaha Pakan Ternak menemui Presiden di Jakarta pada 15 September 2021 lalu. Pertemuan ini diharapkan untuk segera dicarikan solusinya oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.
Masalah Suroto adalah masalah kita sebagai bangsa selama masa pandemi Covid-19 dari Maret tahun 2020 sampai September 2021. Semua sektor usaha menghadapi tekanan hebat seperti jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa angkutan, konstruksi, dan pariwisata. Hal ini tentu juga berimbas pada tekanan serius capaian pertumbuhan dan penerimaan pajak secara umum.
Pajak sendiri telah banyak memberikan dukungan berupa insentif perpajakanbagi dunia usaha agar tetap tumbuh dan berkembang termasuk sektor pertanian yang menjadi keluhan Suroto dan para petani peternak lainnya.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini sudah resmi memperpanjang pemberian insentif pajak hingga akhir Desember 2021. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 82/PMK.03/2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2021 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019.
Insentif pajak yang diberikan pemerintah kepada kegiatan usaha khususnya selama masa pandemi ini, cukup banyak sehingga sangat membantu dalam memberikan kemudahan ataupun relaksasi pada pembayaran pajaknya.
Kontribusi Sektor Pertanian
Pemerintah Indonesia mengandalkan sektor pertanian untuk menggenjot Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2021. Pada masa pandemi Covid-19 sejak tahun 2020, berbagai industri menghadapi tekanan. Namun, sektor pertanian mencatatkan capaian positif selama tahun 2020 lalu.
Di tahun 2021, proyeksi PDB pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 3,3% sampai dengan 4,27% sebagaimana dijelaskan Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud. Dua sektor lain yang juga akan digenjot oleh pemerintah adalah peternakan dan perikanan. PDB dari sektor peternakan ditargetkan mencapai 3,72% sampai dengan 4,68%, sedangkan sektor perikanan 3,43% sampai 4,38%.
Pemanfaatan sektor pertanian merupakan hal yang tepat. Berdasarkan sejarah, sektor pertanian mampu menjadi alat pertahanan selama masa krisis. Sistem agribisnis menjadi pengaman bagi perekonomian selama ini seperti halnya peristiwa yang terjadi pada tahun 1998 lalu. Pada masa krisis moneter tersebut, agribsinis justru menjadi booming.
Namun demikian, kontribusi sektor pertanian sangat besar bagi PDB belum diimbangi dengan kontribusi pajak sektor pertanian yang masih relatif sangat kecil. Oleh karena itu, untuk asas keadilan, diperlukan proporsi yang seimbang untuk kontribusi pajaknya. Dalam konteks beban penerimaan pajak, harus ada proportionality. Bahwa ada sektor yang menghasilkan besar, harusnya juga menghasilkan kontribusi pajak yang sebanding.
PPN Hasil Pertanian
Barang hasil pertanian awalnya dibebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 (PP 31 Tahun 2007) tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2001 Tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Namun, Putusan Mahkamah Agung Nomor 70 P/HUM/2013 mencabut fasilitas PPN di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Hal ini dikarenakan gugatan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) terkait Tandan Buah Segar yang merasa dirugikan akibat diberikan fasilitas dibebaskan. Oleh karena itu, pemerintah selanjutnya ingin memberi kepastian hukum dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2015.
Dalam peraturan tersebut, bidang peternakan dan perikanan tetap diberikan pembebasan PPN. Sedangkan di bidang usaha pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan juga dibebaskan PPN. Sekarang, telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89/PMK.010/2020 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu, produk pertanian, perkebunan, dan kehutanan terutang PPN.
Dengan mekanisme Nilai Lain sebagai dasar pengenaan pajak (DPP), ada pengenaan PPN dengan tarif efektif sebesar 1%. Adapun barang hasil pertanian yang termasuk dalam lingkup aturan tersebut adalah produk pertanian seperti holtikultura yang terdiri dari buah-buahan (non Barang kena Pajak, kebutuhan pokok), sayur-sayuran (non Barang kena Pajak, kebutuhan pokok), tanaman hias dan obat (Barang kena Pajak), tanaman pangan (non Barang kena Pajak, kebutuhan pokok) seperti padi, jagung, kacang tanah, ubi kayu, beras, dan gabah.
Produk pertanian adalah Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya dari petani atau kelompok petani dengan peredaran usaha di atas Rp4,8 miliar kepada pembeli, dikenai PPN dengan tarif 10% dari harga jual. Sebagaimana mekanisme PPN, petani dimaksud memenuhi kewajiban PPN-nya dengan memperhitungkan seluruh pajak masukan yang sudah dibayar (misalnya pajak atas pembelian pupuk), kemudian menyetorkan sisanya ke kas negara.
Untuk menggunakannya, petani hanya perlu memberitahukan kepada DJP terkait penggunaan mekanisme nilai lain tersebut pada saat menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN. Petani diberikan pilihan DPP Nilai Lain. DPP Nilai Lain merupakan dasar pengenaan PPN yang ditetapkan Menteri Keuangan dan ditujukan untuk transaksi/penyerahan tertentu.
Jika biasanya PPN dihitung 10% dari harga jual, dengan mekanisme Nilai Lain, DPP-nya hanya sebesar 1% dari harga jualnya. Jadi, kalau dihitung, tarif efektif PPN yang dibayar hanya sebesar 1% (10 persen dikalikan 10 persen dari harga jual). Berbagai barang hasil pertanian yang dapat menggunakan Nilai Lain adalah barang hasil perkebunan, tanaman pangan, tanaman hias dan obat, hasil hutan kayu, dan hasil hutan bukan kayu.
Penggunaan mekanisme Nilai Lain dan penunjukan badan usaha industri yang membeli dari petani ditunjuk sebagai pemungut PPN 1% dan tetap dapat mengkreditkan PPN tersebut sebagai pajak masukan. Pemungutan oleh badan usaha industri ini semakin meningkatkan kemudahan bagi petani dan kelompok petani.
Hal ini tentu saja menjadi angin segar pada daya saing sektor pertanian terlebih sektor pakan ternak yang dikeluhkan Suroto. Dengan tarif efektif PPN yang relatif kecil dan dapat dikreditkan, tentu saja akan memberikan dampak positif bagi peningkatan kontribusi pajak di sektor pertanian yang pada akhirnya akan meningkatkan pembiayaan negara dalam hal bantuannya untuk pemberian insentif pangan dan tata niaga pertanian yang lebih adil.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 359 kali dilihat