Oleh : Ade Yusuf, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Konon, rokok yang telah dihisap Roro Mendut jauh lebih mahal dari rokok utuh. Ia menjual kelobot lintingan yang direkatkan dengan air liurnya. Demikian diceritakan dalam Roro Mendut (Ajip Rosidi, 1985). Semakin pendek rokok yang dijual, karena telah dihisap Roro Mendut, semakin mahal harganya.

Inilah uniknya harga rokok. Saat ini, dalam harga sebungkus rokok, uang yang dibayar pembeli lebih banyak untuk pembayaran pajak tidak langsung. Pajak tersebut berupa Cukai Hasil Tembakau (CHT), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Rokok.

Sebagai ilustrasi, pembeli membayar sebungkus rokok seharga Rp31.400 di minimarket. Rokok ini memiliki Harga Jual Eceran (HJE) atau harga banderol, harga yang tertera pada pita cukai, sebesar Rp35.800. Berisi dua puluh batang rokok dengan tarif cukai Rp935 per batang. Adapun pajak yang dibayar berupa CHT Rp18.700 (20 batang x Rp935), PPN Rp3.258 (9,1% x Rp35.800) dan Pajak Rokok Rp1.870 (10% x Rp18.700) atau seluruhnya Rp23.828 (Rp18.700+Rp3.258+Rp1.870). Dengan kata lain, 76% dari harga yang dibayar konsumen adalah pajak.

Anda pun dapat menghitungnya. Ambilah bungkus/pak rokok yang Anda beli. Cermati pita cukainya. Di sana tertera informasi tahun penerbitan pita cukai, harga yang tercetak adalah Harga Jual Eceran (HJE) atau harga banderol, jumlah batang rokok dalam satu bungkus, serta cukai yang dinyatakan dalam rupiah per batang.

Hitunglah pajak yang Anda bayar. Kalikan tarif cukai per batang dengan jumlah batang untuk mengetahui cukainya. Kalikan HJE atau harga banderol dengan tarif 9,1% untuk mengetahui PPN. Kalikan besarnya cukai pada perhitungan pertama dengan tarif 10% untuk mengetahui pajak rokoknya. Jumlahkan cukai, PPN, dan pajak rokok maka Anda akan mengetahui besarnya pajak yang Anda bayar ketika membeli sebungkus rokok. Lumayan besar, bukan?

Walaupun Anda yang membayar seluruh pajak ini, Anda tidak langsung menyetorkannya ke kas negara. Anda menitipkan pajak ini kepada penjual ketika Anda membayar harga rokok yang Anda beli. Demikian juga penjual, katakanlah pengecer atau toko swalayan, tidak menyetorkannya langsung ke kas negara. Pengecer menitipkannya ke agen atau distributor pada saat mereka kulak. Demikian pula agen atau distributor, mereka tidak menyetorkannya langsung ke kas negara. Agen atau distributor menitipkannya ke pabrik rokok saat mereka kulak.

Pabrik rokoklah yang menyetorkan pajak tadi ke kas negara. Inilah yang dikenal dengan pajak tidak langsung. Sejatinya pabrik rokok menalangi terlebih dahulu pembayaran pajak Anda pada saat mereka akan memproduksi rokok, yaitu pada saat menebus pita cukai. Kemudian menagihkannya kepada Anda, pembeli rokok, melalui harga yang Anda bayar. Lewat jalur penjualan, mulai dari distributor, agen, hingga pengecer tempat Anda membeli rokok.

CHT yang berhasil dihimpun dari Anda, para pembeli rokok, pada tahun 2020 sebesar Rp176,3 triliun. Jumlah ini belum termasuk pajak rokok Rp17,6 triliun dan PPN sekitar Rp25 triliun. Jadi total penerimaan pajak tidak langsung dari rokok tidak kurang dari Rp200 triliun.

Tahun ini direncanakan penerimaan CHT sebesar Rp173,78 triliun. Jumlah ini pun belum termasuk pajak rokok Rp17,37 triliun dan PPN sekitar Rp24 triliun. Tahun depan penerimaan CHT dianggarkan Rp194 triliun atau naik 11,6%. Betapa dapat diandalkan (untuk menghindari kata adiktif) penerimaan dari rokok ini dengan porsi terhadap penerimaan APBN telah melampaui angka 10%.

Selain untuk penerimaan, cukai termasuk PPN dan pajak rokok dijadikan alat untuk mengendalikan konsumsi rokok. Kenaikan cukai di awal tahun 2021 dikaitkan dengan prevalensi merokok untuk remaja usia 10-18 tahun. Ditargetkan turun ke level 8,7% pada 2024 dari 9,1% pada 2018 sesuai data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas). Penurunan konsumsi juga diharapkan terjadi ketika cukai dinaikkan. Rokok yang semakin mahal diharapkan dapat menekan daya beli masyarakat (affordability) sehingga dapat diikuti dengan menurunnya konsumsi.

Kenaikan cukai yang rutin dilakukan ternyata diikuti turunnya produksi sejak 2016 yang berada di angka sekitar 340 miliar batang menjadi sekitar 298 miliar batang pada 2020. Survei Sosial Ekonomi Nasional oleh BPS menunjukkan bahwa untuk tahun 2019 dan 2020 persentase perokok pada penduduk usia di bawah 18 tahun secara nasional masing-masing sebesar 3,87% dan 3,81%. Jadi, sudah mantap untuk menyatakan bahwa kenaikan cukai efektif menekan angka konsumsi.

Penurunan produksi berarti pula turunnya permintaan bahan baku dari petani tembakau dan cengkeh. Ribuan petani masih mengandalkan (untuk menghindari kata: adiktif) kedua komoditas ini untuk pendapatannya. Belum lagi, penurunan produksi belum berarti menurunnya konsumsi.

Kenaikan cukai biasanya memicu bertambahnya peredaran rokok ilegal terutama rokok polos (tanpa cukai). Belum lagi, semakin kompetitif persaingan antar pabrik rokok tentu akan mengurangi margin laba dan juga tenaga kerja.

Mengingat porsi penerimaan cukai sudah 10% lebih dari APBN, mungkin sudah saatnya penerimaan cukai tidak terlalu diandalkan (untuk menghindari kata adiktif). Dalam artian, tambahan kenaikan cukai yang tahun depan dianggarkan naik 11,6% khusus dimanfaatkan untuk program atau kegiatan pengendalian konsumsi dan penanggulangan dampaknya. Hemat kami, kegiatan dapat disusun mulai dari penindakan atas kegiatan rokok ilegal secara masif.

Kedua, membuat jalan keluar untuk para petani, pekerja terdampak penurunan produksi. Sungguh pekerjaan yang tidak mudah, tetapi sangat mungkin dilakukan dengan anggaran memadai. Termasuk memberi jalan untuk industri rokok, dengan modalnya yang cukup besar, memikirkan bidang lain di masa depan untuk digarap.

Ketiga, penerimaan dari kenaikan cukai yang dianggarkan juga bisa diatur untuk kegiatan edukasi, promosi, bahaya merokok pada remaja. Mencari cara paling efektif dalam penyampaiannya. Termasuk mengganti penerimaan pemerintah daerah yang melarang iklan rokok di daerahnya dan seterusnya.

Ketika kegiatan dan program berjalan efektif, maka diharapkan konsumsi turun dan terkendali. Pada gilirannya tambahan kenaikan penerimaan cukai juga turun. Karena tambahan kenaikan cukai turun, anggaran untuk kegiatan pengendalian konsumsi selain menaikkan tarif cukai juga akan berkurang. Karena program berkurang, konsumsi kembali naik, dan seterusnya hingga mencapai keseimbangan.

Memang sangat menantang merumuskan kebijakan yang sempurna dalam penentuan CHT. Ini pun sekadar saran yang baiknya dibaca saat sore hari sambil menikmati kopi hitam dan bentul goreng. Wallahualam.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.