Relationship dan Merek Lokal

Oleh: Anandita Budi Suryana, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Apakah ada hubungan Vini, Patanjali, Chando, dan Wardah?
Harvard Business Review, pada 7 Februari 2019, membuat kajian tentang 4 merek ini. Berbagai merek global, seperti Colgate, Avon, Axe, dan Olay, mengalami kesulitan mempertahankan market share-nya melawan merek lokal. Menariknya justru di India, Cina, dan Indonesia, pasar consumer packaged goods (CPG) seperti kosmetika dan produk perawatan tumbuh 9 persen per tahun, selama 10 tahun terakhir. Merek global justru turun share-nya 5 persen.
Pasar tiga negara ini unik karena penduduk kelas menengah berkembang pesat dan sangat kritis dalam memilih produk CPG. Media massa juga beragam dan terfragmentasi sehingga menyulitkan strategi promosi produk. Dengan jangkauan pasar sangat luas dengan infrastruktur terbatas, menjadi tantangan dalam delivery dan stock produk CPG.
Pada titik ini merek global kalah dengan merek lokal. Vini deodoran dan pasta Patanjali laku keras di India. Chando facial menjadi salah satu pemain utama di Cina. Wardah sekarang menggurita di Indonesia.
Ada beberapa alasan kuat merek lokal menguat. Pertama, merek lokal membuat engagement dengan calon konsumen secara lebih baik, tanpa perlu stempel kualitas global. Wardah, pada awalnya, membuat produk khusus yang sesuai untuk muslimah Indonesia. Produk itu bermerek Putri. Karena kurang diterima oleh pasar, produsen Putri membuat lagi merek Wardah, artinya Bunga Mawar, dengan tulisan arab. Ketika Wardah mulai laku keras, konsumen melebar. Untuk memperluas konsumen, Wardah sekarang tampil tanpa tulisan arab.
Merek global dengan riset global, pada awal tahun 2000 jarang membuat customisasi seperti ini. Mereka percaya bahwa dengan standarisasi global, produk global akan diterima oleh konsumen lokal negara-negara Asia tanpa reserve.
Kedua, dari sisi standar halal, kosmetik Wardah dipersepsikan memenuhi standar. Kehalalan bahan baku dan proses pembuatan kosmetik, menjadi concern pembeli kelas menengah. Tak hanya membeli, mereka juga melakukan WOM (word of mouth) kualitas Wardah.
Ketiga, pemasaran merek lokal mendekati lokasi tradisional. Wardah selama ini menyasar ke komunitas musliman dan beauty advicer Wardah melakukan asistensi lebih personal dengan tampilan muslimah.
Di India, pasta gigi Patanjali menarik pangsa 17 persen di 2017 karena pemasaran langsung ke kelas-kelas yoga India. Sembari yoga, akan lebih sehat dengan pasta gigi Panjali. Begitulah kira-kira.
Kunci kemenangan merek lokal adalah membuat hubungan bukan seperti penjual dan pembeli. Hubungannya lebih personal dan kepercayaan bahwa produk lokal memenuhi kebutuhan dasar konsumen dan standar etika konsumen. Jika ada permintaan dan komplain, merek lokal lebih fleksibel.
Small is beautiful. Merek global sebenarnya sadar adanya standar kehalalan di beberapa negara Asia tapi mengabaikan ini. Produk global menggunakan model bisnis masal, yang tidak memberikan peluang untuk melayani niche market seperti pasar produk halal ini.
Relationship
Apa hubungannya dengan Pajak? Dari sisi penerimaan, jelas kemunculan merek lokal merupakan potensi ekonomi yang bisa berkontribusi besar untuk membayar pajak. Produsen global akan banyak membayar royalti atau dividen serta biaya manajemen ke kantor pusatnya. Produk lokal tentu tidak demikian, konsentrasinya akan terpusat di Indonesia. Tapi itu bukan itu saja.
Pelajaran berharga justru terletak pada keberhasilan merek lokal membangun hubungan personal dan kepercayaan dengan customer. Kalau di KPP, antara Wajib Pajak dan Account Representative (AR).
Wajib pajak bisa jadi akan membayar pajak dengan sukarela karena tersentuh pendekatan personal AR. Keberhasilan penerimaan pajak akan inline dengan kedekatan hubungan AR dan Wajib Pajak (WP). Tidak dalam arti kolusi pajak, tapi lebih mengenai kepercayaan WP atas penjelasan atau imbauan dari AR.
AR yang dipercaya personal oleh WP, akan memberi kenyamanan pada WP. Hanya dengan diingatkan via telepon oleh AR, WP mau melakukan setoran bulanan PPh dan PPN. WP lebih percaya penjelasan verbal AR daripada surat imbauan, walaupun esensinya sama persis. Bahasa tulisan tetap perlu untuk syarat formal, tetapi bahasa lisan akan mudah diterima.
Inilah relationship. Sulit untuk dipahami, tapi budaya Asia jelas masih sangat menghargai personal.
Hubungan seperti ini mahal. Termasuk juga pentingnya jaringan atau networking. Dalam budaya Asia, budaya paternalistik juga mendominasi kehidupan. Pada etnis tertentu, keberadaan tokoh etnis tersebut menjadi penentu kesediaan orang-orang di bawahnya dalam membayar pajak. Tanpa ada itu, akan ada kendala menerapkan voluntary compliance.
Reformasi perpajakan yang saat ini dilakukan, tujuan akhirnya antara lain implementasi sistem Core Tax. Dalam mewujudkan kemudahan pengolahan data keuangan dan pengawasan kepatuhan WP, Core Tax akan menjadi backbone sistem administrasi pajak modern.
Namun, kalaupun Core Tax sudah jadi, hal trusting relationship seperti ini tetap penting. WP memang secara otomatis akan membayar pajak karena sistem administrasi menampilkan profil keuangan, data asset dan cashflow WP. Dengan pendekatan personal, bisa jadi WP akan membayar pajak lebih besar dan mau sukarela membuka data keuangan lainnya. Voluntary compliance akan menghasilkan penerimaan pajak berkesinambungan. (*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 380 kali dilihat