Problematika Stunting, Pajak, dan Masa Depan Perekonomian Indonesia

Oleh: Andi Zulfikar, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Mengatasi permasalahan stunting adalah hal yang sangat krusial bagi bangsa Indonesia saat ini. Berbagai langkah terus dilakukan pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut. Salah satunya melalui kebijakan APBN. Dari alokasi APBN 2019 pada bidang kesehatan sebesar 123,1 triliun rupiah salah satu sasaran targetnya adalah mengatasi permasalahan stunting. Target prevelansi stunting adalah 24,8 persen pada tahun 2019.
Stunting merupakan suatu kondisi di mana seorang anak mengalami gagal pertumbuhan yang diakibatkan oleh kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Gagal pertumbuhan di sini, bukan hanya berkaitan dengan tinggi tubuh, namun paling utama dengan kegagalan fungsi otak. Hal ini mengakibatkan seorang anak memiliki tubuh yang lebih pendek dari anak normal dan keterlambatan dalam berpikir.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan bahwa prevalensi stunting nasional Indonesia mencapai 37,2 persen. Hal ini berarti sekitar 9 juta anak pada tahun tersebut di Indonesia mengalami hal tersebut. Mengatasi permasalahan ini menjadi penting, karena menurut salah satu laporan World Bank di tahun 2016, stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan produktivitas yang berakibat hilangnya 11 persen Gross Domestic Product (GDP). Hal lain, stunting menyebabkan berkurangnya pendapatan pekerja dewasa hingga 20 persen.
Problematika ini menyebabkan kesenjangan kesejahteraan yang semakin buruk. Stunting dapat menyebabkan kemiskinan antar generasi yang berkelanjutan. Karena selain meningkatnya risiko kerusakan otak, stunting juga dapat menjadi pemicu penderitanya terkena penyakit diabetes dan jantung. Penelitian juga menunjukkan, stunting dapat menurunkan IQ seseorang. Dengan ancaman kesehatan dan kecerdasan, maka generasi yang terkena stunting akan mengalami berbagai permasalahan dalam tantangan kehidupan yang semakin beragam.
Secara ekonomi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan kerugian akibat stunting bisa mencapai 2-3 persen dari dari Produk Domestik Bruto (PDB). Misalnya dengan PDB tahun 2017 sebesar 13.000 triliun rupiah, kerugian akibat permasalahan ini sekitar tiga ratus triliun rupiah. Karenanya, permasalahan ini harus menjadi fokus bersama dalam penyelesaiannya. Indonesia sendiri berada di urutan ke-5 dalam hal prevelansi stunting di dunia.
Masyarakat Sehat, Pajak Bertambah
Permasalahan ekonomi, khususnya pajak, dan permasalahan kesehatan penduduk adalah hal yang berkaitan. Mengabaikan salah satunya, sama saja dengan merencanakan kegagalan perencanaan ekonomi ke depan. Apalagi, dalam beberapa tahun ke depan Indonesia akan mengalami fase bonus demografi. Fase ini terjadi ketika populasi usia produktif lebih banyak daripada usia non produktif. Diperkirakan Indonesia akan mengalami bonus demografi pada tahun 2020 sampai dengan 2035.
Bonus demografi, bisa menjadi peluang sekaligus juga menjadi ancaman. Dalam keadaan masyarakat yang sehat dan cerdas, maka akan ada peluang untuk bersaing. Sebaliknya, dalam keadaan masyarakat yang terancam kesehatan dan kecerdasannya, maka mengurangi kekuatan untuk bersaing. Apalagi bila dikaitkan dengan masalah pengumpulan pajak. Masyarakat yang sehat dan cerdas akan lebih berpeluang mencari penghasilan dibanding mereka yang berada dalam keadaan sebaliknya.
Salah satu lembaga internasional, International Monetary Fund (IMF), pernah menyatakan bahwa Indonesia sebaiknya mempunyai tax ratio sebesar 15 persen. Hal ini sejalan dengan tujuan reformasi perpajakan yang mempunyai target tax ratio 15 persen di tahun 2024. Untuk mencapai tujuan tersebut, harus dilakukan perubahan dan dukungan secara holistik. Perubahan bukan hanya dalam unsur Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saja, namun juga dari sektor lain yang berkaitan. Sektor lain yang berkaitan, misalnya sektor pendidikan dan kesehatan, adalah pendukung dalam mewujudkan impian ini. Dengan masyarakat yang sehat dan terdidik, maka seharusnya upaya untuk mengumpulkan penerimaan pajak berbasis kepatuhan sukarela (voluntary compliance) akan terbuka lebih lebar.
Oleh karenanya, masalah stunting, bukanlah masalah yang tidak terkait dengan target kenaikan tax ratio. Penerimaan pajak yang tinggi berasal dari wajib pajak yang sehat dan sejahtera. Menyadari hal tersebut, pemerintah selalu berfokus dalam hal kesehatan masyarakat. Sebagai hasilnya, pada Riskesdas 2018 menunjukkan penurunan angka prevalensi stunting menjadi 30,8 persen.
Pajak Untuk Kemakmuran
Sesuai dengan definisi pajak dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), tujuan dikumpulkannya pajak adalah digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemakmuran yang nyata harus dirasakan baik secara jasmani dan rohani, serta yang tidak kalah pentingnya, harus dirasakan merata.
Pajak dipergunakan untuk kemakmuran. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas kesehatan dan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia. Namun penerimaan pajak di Indonesia menganut sistem self assessment. Sistem ini memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk mendaftarkan diri mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan kewajibannya. Karenanya sistem ini berbasis pada keaktifan wajib pajak. Keaktifan sendiri dasarnya bermula pada kesehatan.
Mendukung penanganan stunting, sama halnya dengan mendukung penerimaan pajak yang lebih baik. Kita berharap Indonesia dapat menjadi negara maju. Negara yang berdiri di atas kaki sendiri. Kuncinya ada pada tiga pondasi utama yang saling terkait. Tiga pondasi utama itu adalah kesehatan masyarakat, kualitas SDM dan pajak. Oleh karenanya, mari kita dukung penanganan masalah stunting di Indonesia. (*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 3586 kali dilihat