Presidensi G20: Ajang Unjuk Gigi Indonesia

Oleh: Putu Dian Pusparini, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Tahun 2022 mendatang, Indonesia akan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20. Hal ini merupakan torehan sejarah bagi negara kita karena pertama kalinya Presidensi G20 dipegang oleh Indonesia.
Kelompok 20
Group of Twenty atau yang lebih dikenal dengan nama G20, adalah sebuah forum utama kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan negara-negara dengan perekonomian besar di dunia yang terdiri dari 19 negara dan 1 lembaga Uni Eropa.
Indonesia patut bangga karena menjadi salah satu anggota G20. Pasalnya, posisi G20 sangat strategis karena secara kolektif merupakan representasi dari 85% perekonomian dunia, 80% investasi global, 75% perdagangan internasional serta 60% populasi dunia.
Selain Indonesia, lima negara Asia lain yang masuk ke dalam jajaran G20 adalah Jepang, Korea Selatan, Arab Saudi, Republik Rakyat China (RRC), dan India. Indonesia bersanding dengan Amerika Serikat, Inggris, Turki, Afrika Selatan, Rusia, Meksiko, Italia, Prancis, Jerman, Kanada, Brasil, Argentina, Australia serta Uni Eropa.
Forum yang dibentuk tanggal 26 September 1999 ini berfokus pada perekonomian dunia dan keuangan global.
Presidensi G20 dan pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia
Indonesia telah ditetapkan sebagai Presidensi G20 Tahun 2022 pada KTT G20 ke-15. Serah terima presidensi ini telah dilakukan oleh Perdana Menteri Italia Mario Draghi yang secara simbolis menyerahkan palu kepada Presiden Indonesia Joko Widodo sebagai penerus Presidensi G20. Serah terima yang dilaksanakan tanggal 31 Oktober 2021 ini menjadi garis awal Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan forum bergengsi dunia ini.
Berkaca dari KTT yang telah dilaksanakan di Italia tahun 2021, setidaknya ada tiga jenis pertemuan yang akan diselenggarakan. Pertemuan tersebut di antaranya KTT yang dihadiri 20 kepala negara anggota G20, pertemuan tingkat menteri dan deputi serta kelompok kerja yang dihadiri para ahli.
Beberapa topik hangat yang akan menjadi pembahasan KTT mulai dari perubahan iklim, pemulihan ekonomi dunia, inflasi kenaikan energi, gangguan rantai pasok hingga aspek ekonomi digital. Namun, yang menjadi fokus tema adalah pemulihan ekonomi yang berkelanjutan pascapandemi Covid-19.
Presidensi G20 di Indonesia akan membawa dampak besar bagi perekonomian Indonesia. Pertemuan ini akan membuat Indonesia menjadi pusat perhatian dunia dan memberikan angin segar bagi sektor pariwisata Indonesia khususnya Bali yang sempat “koma” saat pandemi Covid-19 melanda. Selain dampak pada sektor pariwisata, hal ini juga menunjukkan adanya persepsi baik dunia atas pertahanan perekonomian Indonesia di masa kritis.
Jika KTT tahun depan sukses digelar, akan ada kemungkinan kerja sama antara Indonesia dengan negara-negara lain yang akan memberikan dampak positif terhadap hubungan luar negeri serta perekonomian Indonesia.
Perubahan Iklim dan Pajak Karbon
Salah satu topik hangat yang akan dibahas saat KTT G20 adalah perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap perekonomian global. Dewasa ini perbincangan tentang perubahan iklim semakin intens karena produksi gas buangan industri, kerusakan hutan, pemanasan global, dan efek rumah kaca yang semakin meningkat.
Perubahan iklim yang ekstrem akan menyebabkan banyak dampak negatif, misalnya kekeringan pada lahan pertanian dan perkebunan atau tandusnya hutan disertai angin yang dapat menimbulkan kebakaran hutan. Selain dampak langsung terhadap lingkungan, perubahan iklim dapat meningkatkan probabilitas terjadinya bencana alam. Hal ini akan menjadi semakin semrawut jika ditambah keberadaan simultan seperti penyakit.
Pada intinya perubahan iklim berpengaruh besar terhadap penurunan produktivitas ekonomi. Sebegitu besarnya pengaruh perubahan iklim terhadap perekonomian yang saat ini menjadi perhatian para pemimpin dunia. Salah satunya Indonesia.
Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak sudah meresmikan adanya pajak karbon. Pajak karbon diatur dalam Bab VI Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pajak karbon lahir sebagai bentuk kepedulian dan aksi tanggap pemerintah Indonesia terhadap isu perubahan iklim. Sebab, pajak karbon dikenakan atas pembelian barang dan/atau aktivitas yang mengandung emisi karbon dengan tarif paling rendah Rp30,00 per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Hasil dari pajak karbon ini akan dialokasikan ke pengendalian perubahan iklim.
Dengan disahkannya pajak karbon, diharapkan akan mendorong pelaku usaha melakukan aktivitas ekonomi hijau, rendah karbon serta ramah lingkungan.
Kebijakan Pajak Pascapandemi
Pemerintah Indonesia mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger” pada KTT G20 tahun 2022 mendatang. Dari tema tersebut, sudah jelas para pemimpin dunia akan membincangkan pemulihan pascapandemi.
Seperti yang kita ketahui, seluruh dunia tengah menghadapi “serangan” sejak tahun 2019 hingga kini. Pengambil kebijakan fiskal biasanya merespon krisis dengan cara mengaktifkan fungsi regulerend pajak. Misalnya dengan menerbitkan insentif pajak.
Selama tahun 2020 hingga 2021, Indonesia sudah menerapkan insentif pajak dan manfaatnya dapat dirasakan secara perlahan mulai dari mampu bertahannya beberapa pelaku usaha hingga adanya pertumbuhan positif pendapatan masyarakat. Namun, tetap saja penerimaan pajak menjadi harga yang harus dibayar untuk mendapatkan manfaat fungsi regulerend pajak.
Meneropongi kebijakan pemulihan ekonomi pascapandemi, kebijakan fiskal yang bisa diambil untuk kembali menaikkan penerimaan pajak adalah dengan berbagai cara. Misalnya, memperluas basis pemajakan, penambahan pajak baru, meningkatkan tarif pajak atau meningkatkan penegakan hukum pajak.
Sebagai langkah awal, Indonesia sudah mulai menambahkan pajak baru seperti pajak karbon yang sebenarnya sudah dilakukan oleh beberapa negara seperti Kanada, China, Jepang, Inggris, dan lainnya dengan total 27 negara.
Selain itu pula, Indonesia sudah berani memperluas basis pemajakan dengan menambah lapisan tarif progresif Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi. Dengan bertambahnya satu lapisan tarif 35% dapat memajaki lebih banyak wajib pajak dengan penghasilan lebih dari Rp5 miliar setahun.
Indonesia turut mempersiapkan strategi kebijakan fiskal selanjutnya untuk pemulihan ekonomi pascapandemi dan menunggu ide dari masing-masing pemimpin anggota G20.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 113 kali dilihat