Pada 29 Oktober 2021, pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) yang diundangkan dalam UU No. 7 tahun 2021. Penerapan pajak carbon atau carbon tax merupakan salah satu hal baru yang muncul dalam UU HPP.

Secara umum pajak karbon dapat diartikan sebagai pajak yang dikenakan atas emisi dari bahan bakar fosil. Pajak ini diterapkan sebagai salah satu cara mengurangi polusi gas rumah kaca yang dihasilkan dalam proses produksi perusahaan serta mengurangi kebergantungan individu dan perusahaan dalam penggunaan bahan bakar fosil.

Pajak karbon akan dijalankan secara bertahap mulai bulan April 2022. Sebagai tahap awal, pajak ini akan diterapkan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara dengan tarif Rp 30,00/kg ekuivalen sesuai jumlah emisi yang melebihi batas yang ditetapkan. PLTU Batubara dipilih sebagai target pertama pajak karbon, karena sektor pembangkit listrik merupakan salah satu sektor terbesar di Indonesia yang menyumbangkan emisi gas efek rumah kaca. Hal ini dinilai wajar melihat sekurang-kurangnya 61% sumber listrik di Indonesia berasal dari PLTU Batubara.

Tarif pajak karbon senilai Rp 30,-/kg setara CO2 atau Rp 30.000,-/ton setara CO2 sebenarnya tergolong lebih murah bila dibandingkan dengan negara lain yang telah menerapkan pajak karbon, mengingat Rp 30.000 hanya bernilai 2,1 USD setelah dikonversikan. Tercatat Jepang memasang tarif sebesar 3 USD/ton setara CO2, sementara Kanada mengenakan tarif sebesar 31.83/ton setara CO2. Selain itu Swiss dan Swedia menerapkan tarif yang termasuk paling tinggi di antara negara-negara lain, yaitu sebesar 101 USD/ton setara CO2 dan 137 USD/ton setara CO2.

Idealnya, tarif pajak karbon yang tinggi akan mempercepat perubahan perilaku pelaku ekonomi dalam usaha mengurangi polusi gas rumah kaca. Kebijakan penerapan tarif pajak secara bertahap seperti yang diambil oleh pemerintah Indonesia tidak bisa dinilai kurang efektif karena pajak karbon merupakan hal yang masih menjadi konsep baru bagi masyarakat, sehingga diperlukan pengenalan yang tidak bisa langsung diterapkan secara keras dan besar-besaran. Pengenalan pajak karbon secara bertahap diharapkan dapat memunculkan kebiasaan baru dalam menjaga lingkungan melalui pengurangan emisi karbon yang dilepaskan secara langsung ke udara.

Dalam pelaksanaan UU HPP, tindak lanjut pemerintah dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri harus dipertimbangkan secara matang agar kelancaran pelaksanaan pajak karbon dapat diterapkan secara berkelanjutan. Pemerintah harus memahami bahwa tujuan utama pajak karbon adalah menjaga lingkungan, sehingga pajak karbon tidak bisa disikapi seperti pajak lainnya, yaitu sumber penambah pendapatan semata. Pencampuran pajak karbon dan pajak lain ke dalam satu kantong besar penerimaan negara akan membuat tujuan utama pajak karbon, pengurangan emisi dan polusi gas efek rumah kaca, akan menjadi kabur, karena pajak karbon menjadi sama dengan pajak yang lain.

Perlu diciptakan sistem mekanisme khusus dalam pengelolaan pajak karbon, sehingga penerimaan negara yang bersumber dari pajak karbon nantinya dapat dibelanjakan kembali oleh negara untuk pembangunan yang rendah karbon. Kita harus memahami bahwa Indonesia masih belum memiliki fasilitas yang menunjang aktivitas rendah karbon, sehingga pajak karbon diharapkan bisa menjadi tulang punggung dalam penerapan kebijakan rendah karbon di masa depan, seperti pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan, riset teknologi hijau, insentif industri hijau, dan lain-lain.

Tentunya hal ini harus dilaksanakan secara transparan dan akuntabel demi menghindari turunnya kepercayaan masyarakat terhadap usaha pemerintah dalam melestarikan lingkungan. Pemerintah perlu memahami bahwa tanpa adanya subtitusi terhadap industri dan sumber energi yang berperan besar dalam pencemaran udara melalui emisi, penerapan pajak karbon hanya akan dianggap sebagai cara pemerintah mencari uang tanpa menghiraukan kepentingan umum, dalam hal ini perubahan iklim yang dikarenakan oleh efek gas rumah kaca.

Proses realisasi penerapan pajak karbon tentu tidak akan lepas dari teknis implementasi yang akan dilakukan berdasar pada Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Pemerintah lagi-lagi perlu memahami bahwa pajak karbon lebih memerlukan serangkaian infrastruktur yang lebih terarah pada model pengukuran perubahan iklim daripada hanya berfokus pada model keuangan dalam perumusan instrumen untuk memperjelas teknis implementasi pajak karbon.

Untuk itu, pemerintah perlu memilih sub sektor tujuan dan jenis pajak karbon yang akan diterapkan. Selanjutnya harus diberlakukan standar internasional dalam perumusan teknis implementasi pajak karbon demi menyiapkan target, pengukuran, dan model evaluasi yang jelas dan transparan.

Mengingat bahwa pajak karbon merupakan hal yang masih baru, pemerintah harus memperhatikan sumber daya manusia (SDM) yang disiapkan untuk mengimplementasikan pajak ini. Implementasi pajak karbon menuntut pemerintah melaksanakan pelatihan khusus bagi SDM yang terlibat, sehingga pengetahuan akan pentingnya mitigasi perubahan iklim menjadi pola pikir dalam setiap pengambilan keputusan dan pelaksanaan pekerjaan harian.

Komunikasi yang efektif kepada masyarakat, khususnya calon wajib pajak dan wajib pajak, pada sektor bisnis yang terdampak oleh implementasi pajak karbon juga tak kalah penting untuk diperhatikan. Seluruh teknis implementasi, kebijakan, dan SDM yang mumpuni tidak akan mampu menyukseskan penerapan pajak karbon, apabila masyarakat sebagai target pajak tidak memahami dengan baik atau bahkan menolak penerapan pajak ini.

Penjelasan yang lugas dan jelas mengenai langkah implementasi, tujuan, arah, manfaat, serta evaluasi dari implementasi pajak karbon harus dikomunikasikan kepada masyarakat demi menghindari kesalahpahaman dan penolakan masyarakat terhadap pajak karbon yang dapat meningkatkan risiko ekonomi dan politik. Pemerintah sebagai payung dalam bernegara wajib melakukan komunikasi yang terarah, terbuka, dan transparan sehingga masyarakat luas mudah memahami implementasi pajak karbon.

UU HPP yang telah disetujui merupakan pondasi yang kuat dalam memulai usaha menekan emisi dan efek gas rumah kaca secara sistematis. Selanjutnya akan tergantung pada pemerintah untuk menunjukkan dan membuktikan keseriusan dan kesungguhan dalam menerapkan pajak karbon tanpa melupakan tujuan awal pajak ini, yaitu meningkatkan pembangunan rendah karbon dan mengurangi emisi.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.