Penentuan Kuasa Lebih Leluasa

Oleh: Dian Anggraeni, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sistem administrasi perpajakan self assessment yang dianut oleh Indonesia, menghendaki kepatuhan sukarela yang tinggi dari para wajib pajak. Sistem yang memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, dan melaporkan pajak-pajak yang terutang sendiri tentu harus berbarengan dengan pemahaman pajak yang memadai.
Sementara memahami aturan pajak yang kompleks dan dinamis memerlukan upaya tersendiri yang acapkali menjadi alasan wajib pajak enggan berurusan dengan pajak. Namun pajak tidak dapat dihindari. Sifat pajak yang memaksa berdasarkan undang-undang, mengikat kedua belah pihak: masyarakat wajib pajak yang tidak bisa mengelak dari pajak yang terutang, dan fiskus yang harus senantiasa berpegang pada undang-undang dalam menjalankan amanah pemungutan pajak
Untuk membantu wajib pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya, pemerintah memungkinkan hadirnya satu pihak lagi dalam hubungan wajib pajak-fiskus. Undang-undang memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi wajib pajak untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan wajib pajak.
Kehadiran perantara wajib pajak dan fiskus di dalam pelaksanaan ketentuan perpajakan lazim terjadi di banyak negara. Victor Thuronyi dan Frans Vanistendael dalam bukunya yang berjudul Tax Law Design and Drafting menyatakan bahwa sangat sulit melaksanakan sistem perpajakan tanpa bantuan konsultan pajak. Hal ini disebabkan oleh rumit dan dinamisnya sistem perpajakan, sehingga wajib pajak sering tidak memahami peraturan perpajakan. Setiap negara memiliki kebijakannya sendiri-sendiri dalam mengatur dan mengawasi keberadaan konsultan pajak.
Pengaturan mengenai kuasa wajib pajak dalam administrasi perpajakan di Indonesia baru-baru ini mengalami perubahan. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan uji materiil terhadap Pasal 32 ayat (3a) UU KUP, batasan-batasan yang disyaratkan dalam peraturan menteri keuangan untuk menjadi seorang kuasa wajib pajak menjadi tidak memiliki kekuatan hukum lagi.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor : PMK-229/PMK.03/2014 yang merupakan pendelegasian Pasal 32 ayat (3a) UU KUP menjelaskan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi karyawan atau konsultan pajak ketika mereka berkehendak hadir sebagai representasi wajib pajak. Majelis hakim berpendapat bahwa peraturan menteri keuangan tidak boleh membatasi hak seseorang dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan. Pengaturan persyaratan kuasa wajib pajak yang cukup detail di dalam peraturan menteri keuangan tersebut bersifat substantif yang seharusnya diatur dalam Undang-Undang. Menteri Keuangan dalam hal ini tidak diperkenankan mengatur selain permasalahan teknis administratif.
Artikel ini tidak akan membahas argumentasi kedua kubu dalam mempertahankan posisi masing-masing. Palu hakim telah diketok, putusan lembaga supremasi hukum tersebut harus dijalankan. Ketiga pihak yang terkait: wajib pajak, DJP, dan mediator dalam hal ini konsultan pajak harus bersiap menghadapi implementasi putusan tersebut.
Wajib pajak sebagai aktor utama di dalam rantai permasalahan ini, kini mempunyai banyak pilihan didalam menentukan pihak yang akan mewakilinya dalam menjalankan hak dan kewajiban pajak. Jika PMK-229/PMK.03/2018 membatasi hanya karyawan dan konsultan pajak dengan persyaratan tertentu yang bisa menjadi kuasa, maka sekarang siapa pun yang memahami masalah perpajakan, hanya berbekal secarik kuasa khusus dapat tampil sebagai wakil wajib pajak.
Bertambahnya pilihan memang menambah jumlah alternatif pihak yang dapat dipilih. Persoalan pajak merupakan persoalan yang kompleks dan berhubungan dengan sejumlah uang. Kondisi seperti ini menjadi rentan untuk dimanfaatkan oknum dengan integritas rendah dan intensi yang tidak baik. Wajib pajak harus benar-benar selektif dalam mengaudisi pihak-pihak yang mengajukan diri sebagai kuasa. Apapun tindakan yang dilakukan kuasa merupakan tanggung jawab wajib pajak.
Jangan sampai alih-alih mendapatkan kemudahan dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan, malah terperosok ke dalam kesulitan, karena dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak kompeten, profesional dan beretika. Mengantisipasi hal-hal seperti inilah maka pemerintah hadir melindungi wajib pajak melalui pengaturan kuasa secara detail di dalam peraturan menteri keuangan. Salah satu persyaratan mengharuskan seorang konsultan sebagai kuasa wajib pajak harus menjadi anggota asosiasi profesi. Hal ini dimaksudkan agar seorang kuasa berada di bawah pengawasan dan kendali asosiasi yang akan menjamin kompetensi, profesionalisme, dan etika anggotanya.
Perluasan makna kuasa yang kini hanya dibatasi oleh frasa memahami masalah perpajakan harus disikapi wajib pajak dengan hati-hati. Kesalahan nasihat atau konsultasi perpajakan dapat berakibat pada penetapan pajak beserta sanksi-sanksinya yang akan menjadi beban yang berat bagi wajib pajak.
Bagi para konsultan pajak, yang selama ini dianggap sebagai profesi yang memonopoli posisi kuasa wajib pajak, ke depan harus bersiap menghadapi peningkatan persaingan. Masuknya pemain-pemain baru tentu akan mengganggu keseimbangan yang selama ini telah tercipta. Upaya perbaikan dalam segala aspek perlu menjadi perhatian agar klien yang sudah ada dalam genggaman tidak lari ke pihak lain.
Direktorat Jenderal Pajak sebagai pihak yang diberikan kewenangan untuk melakukan pembinaan, pengawasan, dan penegakan hukum di bidang perpajakan, kini siap-siap akan kedatangan tamu-tamu baru yang mewakili wajib pajak. Putusan MK yang mengoreksi kewenangan Menteri Keuangan dalam mengatur persyaratan kuasa yang sejatinya untuk melindungi kepentingan wajib pajak, sebenarnya menerbitkan sisi terang bagi pelaksanaan administrasi perpajakan di Indonesia.
Perluasan kesempatan menjadi kuasa wajib pajak yang terbuka bagi setiap pihak yang memahami masalah perpajakan, menjadi stimulus yang akan memotivasi masyarakat luas untuk mempelajari pajak. Semesta baru yang tercipta ini hadir lengkap dengan mekanisme pasarnya. Lapangan pekerjaan sebagai kuasa wajib pajak yang terbuka lebih lebar juga akan melakukan seleksi alam terhadap pihak-pihak yang tidak kompeten. DJP tetap hadir sebagai pihak yang berwenang melakukan pengawasan dan penegakan hukum sesuai ketentuan.
Fungsi pembinaan salah satunya dapat dilakukan melalui upaya meningkatkan kerja sama dengan perguruan tinggi, lembaga yang mencetak para calon profesional. Peningkatan permintaan pasar akan kuasa wajib pajak, mendorong perguruan tinggi mencetak profesional di bidang perpajakan. Jika sekarang DJP dengan program inklusi kesadaran pajak dalam pendidikan terkesan “malu-malu” dalam menembus dunia pendidikan, maka kini DJP dapat turut membenahi kurikulum yang sesuai dengan keperluan perpajakan.
Berlandaskan niat melindungi kepentingan wajib pajak, DJP dapat menyisipkan aturan kuasa wajib pajak yang lebih detail di dalam revisi UU KUP. Sehingga sesuai dengan Putusan MK, pengaturan yang bersifat substantif telah diakomodir oleh UU. Namun sembari menunggu hal tersebut, dengan itikad baik dari semua pihak diharapkan implementasi Putusan MK ini dapat membangun pelaksanaan administrasi pajak yang mudah, murah, transparan, dan akuntabel.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 2688 kali dilihat