Oleh: Mutiara Mukhlisa Aksa, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Mari kita tengok kembali sejarah untuk merefleksikan hari ini dan masa depan. Tepat 93 tahun yang lalu yaitu tanggal 28 Oktober 1928, pemuda Indonesia bersumpah untuk bertumpah darah, berbangsa, dan berbahasa satu: Indonesia. Sumpah Pemuda ini sesungguhnya adalah tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia karena telah mengkristalkan semangat dan menegaskan cita-cita negara Indonesia.

Kemunculan gerakan pemuda hingga proklamasi kemerdekaan tidak menghentikan pentingnya peran pemuda di Indonesia. Justru pemuda semakin menegaskan perannya untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang mampu berdiri di kaki sendiri. Turunnya Orde Lama dan Orde Baru menjadi saksi ketika pemuda berkumpul untuk menuntut reformasi dalam segala aspek kehidupan. Pemuda selalu menjadi motor penggerak bangsa.

Pemuda dipandang sebagai individu yang sedang mengalami perkembangan fisik dan emosional secara bersamaan, sehingga pemuda menjadi sumber daya manusia yang sangat menjanjikan untuk saat ini maupun di masa depan. Pembangunan kepemudaan untuk menciptakan generasi pemegang nyawa dan harapan bangsa yang tangguh, mandiri, dan berdaya saing telah menjadi agenda yang diutamakan untuk menghadapi bonus demografi yang diperkirakan akan terjadi pada tahun 2030-2040 mendatang.

Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2020, perkiraan jumlah pemuda sebesar 64,50 juta jiwa atau hampir seperempat dari total penduduk Indonesia (23,86 persen). Pemuda saat ini didominasi oleh generasi milenial, yaitu generasi yang lahir antara tahun 1980 sampai tahun 2020. Generasi ini dibesarkan dengan segala kemajuan media dan teknologi digital, sehingga mereka dituntut untuk lebih kreatif, inovatif, produktif, dan memiliki kapasitas daya saing yang lebih tinggi.

Pada Publikasi Statistik Pemuda Indonesia Tahun 2020, disebutkan lebih dari separuh pemuda Indonesia aktivitas utamanya adalah bekerja (51,98 persen), sisanya aktif mengenyam pendidikan, mengurus rumah tangga, serta sibuk mencari dan mempersiapkan pekerjaan. Setelah melihat data dan fakta yang ada, tidak terelakkan lagi, pemuda adalah aset bangsa.

Semakin besar suatu bangsa, semakin besar pula anggaran yang dibutuhkan untuk terus memutar roda kehidupan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai unit organisasi Kementerian Keuangan yang berfungsi sebagai tulang punggung negara, terus berupaya melakukan transformasi dan reformasi untuk memberikan pelayanan dan edukasi perpajakan yang terbaik demi tercapainya penerimaan negara yang optimal.

Salah satu upaya DJP untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan melaksanakan inklusi kesadaran pajak. DJP menyadari bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan generasi calon pelaku ekonomi masa depan yang memiliki kesadaran mematuhi peraturan perpajakan.

Inklusi kesadaran pajak diawali dengan penandatanganan Nota Kesepahaman antara Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor MoU-21/MK.03/2014 dan Nomor 13/X/NK/2014 tentang Peningkatan Kesadaran Perpajakan Melalui Pendidikan pada tanggal 17 Oktober 2014.

Inklusi kesadaran pajak adalah usaha yang dilakukan oleh DJP bersama kementerian yang membidangi pendidikan untuk meningkatkan kesadaran pajak melalui integrasi nilai-nilai kesadaran pajak dalam pembelajaran sehari-hari. Pelaksanaan inklusi pajak yang efektif dan masif diharapkan dapat menciptakan gelombang yang besar hingga kesadaran pajak dapat menjadi budaya.

Masa depan perpajakan yang diharapkan akan terjadi melalui pelaksanaan inklusi kesadaran pajak dapat dibagi ke dalam empat masa, yaitu:

  1. Masa Edukasi. Dimulai pada tahun 2015, dengan ciri-ciri:
  • kesadaran pajak dan tingkat kepatuhan masih rendah
  • banyak warga negara yang belum mengetahui manfaat pajak
  • banyak masyarakat yang resisten terhadap pajak
  • penerimaan pajak masih berat untuk direalisasikan
  1. Masa Pergerakan. Dimulai pada tahun 2030, dengan ciri-ciri:
  • pergerakan mahasiswa dalam reformasi tata kelola keuangan negara, khususnya pajak
  • inklusi aspek perpajakan dalam reformasi produk hukum lembaga pemerintah/swasta
  1. Masa Kesejahteraan. Dimulai pada tahun 2045, dengan ciri-ciri:
  • kepemimpinan nasional dan daerah sudah mempertimbangkan pajak sebagai kebutuhan
  • keberadaan pajak sudah saling terhubung antar lembaga pemerintah dan swasta
  • warga negara merasa malu jika belum melaksanakan kewajiban perpajakan
  1. Masa Kejayaan. Dimulai pada tahun 2060, dengan ciri-ciri:
  • kesadaran pajak warga negara sudah tinggi
  • penerimaan pajak sudah dapat memberikan kesejahteraan bagi penduduknya

Pelaksanaan inklusi kesadaran pajak tentu bukan perkara mudah, dibutuhkan proses dan waktu yang panjang untuk melewati segala tantangan yang akan dihadapi. Namun, sejarah selalu bisa mengajarkan sesuatu kepada manusia. Peristiwa mulanya Orde Reformasi yang dipicu oleh para pemuda yang bersatu dengan semangat reformasi membuktikan bahwa cita-cita mulia kita untuk menciptakan generasi sadar pajak bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi.

Cita-cita yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 alinea ke-4 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.