Pembiayaan Modal Kerja Online Tingkatkan Ekonomi Rakyat

Oleh: Trisha Aurel Carissa, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Di tengah era pandemi Covid-19 ini, kekuatan ekomoni rakyat menjadi salah satu pilar penting dalam ketahanan ekonomi nasional. Ekonomi rakyat membantu perekonomian Indonesia di era keterbukaan pasar sehingga perlu adanya kesadaran untuk terus meningkatkan faktor penggerak ekonomi rakyat. Salah satu faktornya adalah ketersedian modal kerja.
Ekonomi rakyat yang biasa dijalankan oleh para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) kerap terkendala dengan ketersediaan modal kerja yang diperlukan dalam merintis atau proses pengembangan usahanya. Sedangkan modal kerja sendiri justru banyak dimiliki oleh para pelaku usaha skala besar ataupun orang pribadi yang memiliki banyak kekayaan.
Adanya jarak antara pemilik modal dan penerima modal inilah yang ahkirnya memicu munculnya Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB). Kehadiran lembaga ini legal dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 38/MK/IV/1972 tentang Perubahan/Tambahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KEP-792/MK/IV/12/1970 tentang Lembaga Keuangan.
Lembaga Keuangan Bukan Bank sendiri merupakan suatu badan yang melakukan kegiatan dalam hal keuangan baik secara langsung maupun tidak langsung, menghimpun dana dari masyarakat yang kemudian disalurkan untuk pembiayaan bagi yang membutuhkan pinjaman. Melalui Lembaga Keuangan Bukan Bank inilah jarak tersebut disatukan dan semakin berkembangnya teknologi digital, jarak tersebut semakin dipersempit dengan adanya layanan secara online.
Aspek Perpajakan
Sebelum kita membahas aspek perpajakan yang muncul, kita perlu memahami siapa sajakah pelaku (aktor) yang muncul dari kegiatan tersebut. Ada tiga pelaku dalam kegiatan tersebut, yaitu pemberi modal (orang pribadi dan/atau badan), Lembaga Keuangan Bukan Bank, dan penerima modal (pelaku UMKM).
Bagi para penerima modal khususnya pelaku UMKM, bantuan yang diterima ini dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan sesuai Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2020 tentang Bantuan atau Sumbangan, Serta Harta Hibahan yang Dikecualikan Sebagai Objek Pajak Penghasilan.
Kewajiban perpajakan penerima modal muncul ketika usaha yang dijalankan telah memberikan keuntungan/penghasilan. Keuntungan tersebut nantinya akan dikenakan Pajak Penghasilan sesuai dengan jumlah peredaran usaha yang diterima dan/atau diperoleh penerima modal dalam satu tahun pajak.
Jika peredaran usaha lebih dari 4,8 miliar rupiah maka Pajak Penghasilan dihitung dengan menggunakan tarif Pasal 17 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Kemudian penerima modal melaporkan dan membayarkan atas pajak terutangnya. Namun, jika tidak lebih dari 4,8 miliar rupiah maka Pajak Penghasilan dihitung dengan menggunakan tarif tunggal 0,5% dan bersifat final.
Sedangkan bagi pemberi pinjaman, aspek perpajakan yang timbul dari kegiatan ini adalah Pajak Penghasilan yang muncul akibat adanya penghasilan pasif yang diterima oleh pemberi pinjaman dalam bentuk imbalan bunga. Disebut sebagai penghasilan pasif karena pemberi pinjaman tanpa ada usaha aktif dan semata-mata menerima penghasilan karena adanya aset berupa modal yang dipinjamkan.
Lembaga Keuangan Bukan Bank sebagai perantara dalam proses pembiayaan modal kerja ini wajib memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% dari imbalan bunga yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman. Jika pemberi pinjaman tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) akan dikenai kenaikan tarif sebesar 100% dari 15%.
Namun, perlu dipahami bahwa atas imbalan bunga yang diterima oleh pemberi pinjaman tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 4a ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN).
Setelah kita mengenal aspek perpajakan penerima modal, kita juga perlu mengetahui aspek perpajakan yang harus dipahami oleh para penyedia jasa. Hal ini sejalan dengan penjelasan dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang menjelaskan bahwa perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik merupakan kriteria dari perdagangan melalui sistem elektronik.
Pelaku usaha yang berbisnis melalui PMSE dapat menjalankan bisnisnya melalui sarana yang dibuat dan dikelola sendiri secara langsung atau melalui sarana milik pihak Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).
Perlu diketahui bahwa sebagai penyedia jasa pembiayaan modal kerja online, lembaga yang melakukan PMSE dapat dikategorikan sebagai Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran (PKP PE) sehingga memiliki kewajiban untuk mendaftarkan diri dan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak berkewajiban menerbitkan faktur pajak, menghitung, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang.
Selain dikarenakan Lembaga Keuangan Bukan Bank dikategorikan sebagai PKP, hal ini juga disebabkan atas jasa yang disediakan lembaga sebagai perantara antara pemberi dan penerima modal termasuk dalam kategori jasa kena pajak dan bukan merupakan negative list dari kriteria barang dan/atau jasa kena pajak yang diatur dalam UU PPN. Sedangkan atas penghasilan yang diterima yang berupa jasa menurut UU PPh juga merupakan objek Pajak Penghasilan.
Dengan demikian pembiayaan modal kerja online yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Bukan Bank menjadi salah satu alternatif upaya untuk dapat meningkatkan ekonomi rakyat khususnya bagi pelaku UMKM dan juga meningkatkan kontribusi penerimaan Pajak Penghasilan.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 152 kali dilihat