Partai Politik: Penentu Sekaligus Subjek Kebijakan Pajak

Oleh: Luh Putu Benita Sari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Democracy is a government of the people, by the people and for the people. Sebuah kutipan dari Abraham Lincoln yang telah menyihir masyarakat dunia, tak terkecuali Indonesia untuk membangun sebuah pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat. Sistem demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat memiliki makna setiap warga negara memiliki peranan dalam pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi kehidupannya dalam bernegara.
Salah satu ciri dari negara demokrasi yakni adanya pemilihan umum (pemilu) yang dilakukan secara bebas, terbuka, adil dan jujur. Pemilu merupakan sarana bagi masyarakat Indonesia untuk ikut mangambil peran dalam menentukan arah kepemimpinan negara dalam periode waktu tertentu sesuai prinsip one person, one vote, one value. Tahun 2024 merupakan tahun pemilu bagi Indonesia. Pada 14 Februari mendatang masyarakat akan memilih presiden dan wail presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik provinsi maupun kabupaten/kota yang diharapkan mampu memperjuangkan aspirasi rakyat.
Penyelenggaraan pemilu tidak bisa terpisahkan dari peranan partai politik. Indonesia sebagai negara demokrasi menganut sistem multipartai. Sebagai pilar demokrasi, partai politik merupakan wadah seleksi kepemimpinan baik nasional dan daerah. Wakil rakyat yang diusung oleh partai politik itulah yang nantinya akan mewakili kepentingan rakyat dalam perumusan dan penetepan kebijakan pemerintah, salah satunya adalah kebijakan ekonomi. Tahukah anda bahwa partai politik juga merupakan subjek pajak penghasilan? Dengan kata lain, partai politik juga ikut melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah/eksekutif dan kader-kader partai yang duduk di legislatif.
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (UU Parpol), partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Subjek Pajak
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), mengatur bahwa subjek pajak dibagi menjadi tiga kategori yaitu orang pribadi dan warisan belum terbagi, badan, serta bentuk usaha tetap (BUT). Dari definisi partai politik menurut UU Parpol dapat dikategorikan bahwa partai politik merupakan subjek pajak badan. Badan merupakan sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Dapat disimpulkan berdasarkan UU Pajak Panghasilan, partai politik merupakan subjek pajak badan.
Sumber Keuangan
Partai politik merupakan suatu organisasi nirlaba sehingga dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan. Lantas darimana sumber keuangan partai politik?
Pasal 34 UU Parpol menyebutkan sumber keuangan partai politik diperoleh dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, serta bantuan keuangan baik yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD). Ketiga sumber keuangan partai politik ini merupakan objek pajak penghasilan. Besarnya Penghasilan Kena Pajak ditentukan dari penghasilan bruto dikurangi biaya/beban. Untuk partai politik, penghasilan bruto yakni seluruh penerimaan yang berasal dari sumber keuangan partai politik sedangkan biaya/beban yakni pengeluaran untuk kegiatan partai politik yang tetap mengacu pada Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh jo. UU HPP. Sebagai wajib pajak badan, partai politik wajib menyelenggarakan pembukuan.
Kewajiban Perpajakan
Sebagai subjek pajak badan, partai politik yang memenuhi kewajiban subjektif dan objektif berdasarkan UU PPh jo. UU HPP juga memiliki kewajiban perpajakan. Kewajiban pertama, partai politik wajib mendaftarkan diri ke kantor pelayanan pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan wajib pajak. Kedua, wajib menghitung sendiri pajak yang terutang. Ketiga, menyetorkan pajak yang terutang ke kas negara. Keempat, melaporkan SPT Tahunan paling lama empat bulan setelah akhir tahun pajak (tanggal 30 April tahun berikutnya).
Pemotong/Pemungut Pajak
Partai politik juga tidak lepas dari peranannya sebagai pemotong/pemungut pajak. Pemotongan/pemungutan pajak yang sering berhubungan dengan partai politik yakni PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 4 ayat (2). Pemotongan PPh Pasal 21 erat kaitannya sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Pemotongan atas PPh Pasal 23 erat kaitannya dengan dividen, bunga, royalti, hadiah, sewa, serta imbalan sehubungan dengan jasa. Sedangkan, untuk pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) erat kaitannya dengan hadiah undian, sewa tanah/bangunan, dan pengalihan atas tanah/bangunan.
Pemilu dan Kebijakan Pajak
Pemilu dan perubahan pemerintahan seringkali membawa perubahan dalam kebijakan ekonomi, termasuk kebijakan pajak. Hubungan antara partai politik dan kebijakan pajak di Indonesia memiliki dampak yang signifikan terhadap arah dan besaran pajak yang diterapkan. Partai politik seringkali memiliki orientasi ideologis tertentu yang dapat memengaruhi pandangan mereka tentang kebijakan pajak. Partai dengan orientasi konservatif mungkin lebih cenderung mendukung kebijakan pajak rendah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sementara partai dengan orientasi progresif mungkin mendukung pajak yang lebih tinggi untuk mendukung redistribusi pendapatan. Partai politik juga cenderung memprioritaskan tujuan pembangunan ekonomi tertentu. Misalnya, partai yang menekankan pertumbuhan sektor industri mungkin mendukung insentif pajak bagi perusahaan, sedangkan partai yang fokus pada pemberdayaan sektor pertanian atau usaha kecil mungkin memiliki pendekatan yang berbeda.
Partai politik tidak hanya berperan dalam menentukan arah kebijakan perpajakan, tetapi juga berperan sebagai subjek dari kebijakan pajak tersebut.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja. Sehubungan dengan kewajiban netralitas ASN dalam Pemilu, artikel ini tidak dimaksudkan untuk mendukung/mendiskreditkan kandidat siapa pun.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 182 kali dilihat