Pajak sebagai Instrumen untuk Mewujudkan Keadilan Sosial

Oleh: I Nyoman Ananda Wigneswara Suandipta, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
No taxation without representation merupakan slogan penduduk koloni Inggris di bagian benua Amerika Utara pada masa Revolusi Amerika pada abad ke-18. Slogan tersebut muncul dari ketidakpuasan masyarakat atas pungutan pajak kala itu; bahwa tanpa memiliki perwakilan di kursi parlemen Inggris, mereka merasa diperlakukan layaknya vassal state/negara bawahan dengan kewajiban upetinya. Hingga kini pun, slogan tersebut eksis sebagai pengingat bahwa pungutan pajak tetap harus menjaga rasa keadilan di masyarakat.
Baru-baru ini, warganet Indonesia ramai pasca-ucapan salah satu calon presiden (capres) terkait pungutan pajak di Indonesia. “Kemarin saya ketemu tukang becak, tukang becak bilang saya bayar pajak, pajaknya dibikin bangun tol, lah kok saya nggak bisa menikmati tol,” katanya. Penulis cukup terkesan dengan wawasan netizen di kolom komentar terkait istilah-istilah perpajakan seperti Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), Non-Efektif, Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Tulisan ini disusun untuk menyempurnakan pemahaman masyarakat terkait topik ini, tidak untuk mendukung/mendiskreditkan kandidat siapa pun dalam rangka pesta demokrasi. Harapannya, masyarakat semakin paham bahwa pungutan dan pengelolaan pajak sudah diterapkan secara adil oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Jenis dan Sifat Pajak
Di Indonesia, terdapat dua level otoritas yang berhak melakukan pungutan ke masyarakat, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat berwenang memungut pajak, bea cukai, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sementara itu, pemerintah daerah berwenang memungut pajak daerah dan retribusi daerah. Detailnya adalah sebagai berikut.
Dari daftar pungutan tersebut, hanya PPh yang bersifat subjektif. Pungutan subjektif memperhatikan kondisi pribadi penanggungnya. Kondisi dimaksud adalah kondisi yang mempengaruhi kemampuan bayarnya; meliputi jumlah tanggungan dan besar penghasilan yang diperoleh. Contoh: jika seorang tukang becak berstatus lajang, tidak memiliki tanggungan, dan memperoleh penghasilan bersih Rp54 juta setahun, maka yang bersangkutan tidak perlu setor PPh. Sementara itu, jika seorang influencer memperoleh penghasilan bersih Rp6 miliar setahun, maka pemengaruh tersebut akan dikenai PPh secara proporsional sesuai lapisan tarifnya, hingga rentang tarif maksimum (35%). Dampaknya sering disebut sebagai keadilan vertikal.
Pungutan non-PPh bersifat objektif. Artinya, pungutannya tidak memandang kondisi pribadi penanggungnya (hanya memperhatikan kemunculan objek pajaknya). Contoh: jika seorang tukang becak parkir di pinggir jalan, maka yang bersangkutan akan dipungut retribusi parkir. Perlakuannya tetap akan sama, terlepas presiden sekali pun yang parkir. Dampaknya sering disebut sebagai keadilan horizontal.
Pengelolaan Dana Pajak
Oleh pemerintah pusat dan daerah, pungutan tersebut dikelola secara terpisah. Pada pemerintah pusat, pengelolaan dananya tertuang pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara itu, pemerintah daerah memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sebagian belanja APBN mengalir ke pemerintah daerah (baca: Transfer ke Daerah), tetapi tidak berlaku sebaliknya untuk belanja APBD. Inilah filosofi distribusi pembangunan, yang sekaligus juga mengeyahkan paradigma daerah harus setor "upeti" kepada pusat.
Per tahun 2022, pemerintah pusat mengumpulkan Pendapatan Dalam Negeri sebesar Rp2.622,88 triliun. Dari jumlah tersebut, pajak berkontribusi sebesar Rp1.716,76 triliun (66%), bea dan cukai sebesar Rp317,78 triliun (12%), dan PNBP sebesar Rp588,34 triliun (22%). Dana tersebut dialokasikan untuk belanja dengan perincian pada tabel berikut.
Tabel di atas menunjukkan upaya diversifikasi belanja yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat. Bahwa pemerintah tidak semata berfokus pada belanja infrastruktur fisik.
Porsi belanja terbesar ada pada pos belanja TKD. Per tahun 2022, 67% penerimaan pajak pusat senasional masih terkonsentrasi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sementara itu, 98% pemerintah kabupaten se-Indonesia masih berstatus belum mandiri (sumber: Indeks Kemandirian Fiskal BPK, 2020). Oleh karenanya, TKD berperan sebagai subsidi silang dana pembangunan.
Selain TKD, dana pajak juga digunakan untuk menyubsidi berbagai kebutuhan vital masyarakat seperti bahan bakar minyak (BBM), liquified petroleum gas (LPG), listrik, pupuk, dan biaya logistik. Kemudian, pemerintah juga telah merealisasikan puluhan jenis bantuan untuk masyarakat, mulai dari bantuan tunai, potongan iuran, hingga beasiswa pendidikan.
Simpulan
Pemerintah memiliki berbagai instrumen untuk memungut penerimaan dari masyarakat. Aturan pemungutan pajak telah ditetapkan sesuai dengan sifat objek dan/atau kondisi subjek penanggung pajak. Dana yang terkumpul juga telah dialokasikan untuk berbagai keperluan yang, dirasa secara langsung ataupun tidak langsung, sangat berpengaruh untuk kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Menjadi pekerjaan rumah Kementerian Keuangan untuk terus menyosialisasikan hal ini demi menjaga kualitas pengelolaan keuangan negara di Indonesia. #UangKita untuk pembangunan Indonesia.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja. Sehubungan dengan kewajiban netralitas ASN dalam Pemilu, artikel ini tidak dimaksudkan untuk mendukung/mendiskreditkan kandidat siapa pun.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 348 kali dilihat