Oleh: Rahmi Hidayat, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Komposisi utang yang terlalu tinggi dalam suatu perusahaan menyebabkan korporasi mencari alternatif dengan melakukan restrukturisasi utang untuk menjaga keberlangsungan usahanya. Para pelaku bisnis dituntut untuk dapat menentukan berapa porsi utang dan modal dalam komponen pendanaannya agar mencapai komposisi yang optimal. Namun, tidak jarang terjadi kondisi di mana komposisi utang meningkat karena kesulitan finasial, baik berupa masalah arus kas, kerugian bisnis, atau penerimaan pendapatan yang tidak terlalu signifikan.

Akhir-akhir ini publik dihebohkan dengan pemberitaan mengenai saham beberapa perusahaan besar disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Salah satu pemicunya adalah kondisi perusahaan tidak sanggup melunasi utangnya. Bagi perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa saham, kondisi perusahaan yang mengalami pailit atau sedang mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dapat mengakibatkan saham perusahaan tersebut di-suspend. Akibatnya, saham yang kena suspend tidak dapat diperdagangkan melalui bursa saham dalam jangka waktu tertentu.

Ketika perusahaan tidak dapat melakukan pelunasan utang, salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah melakukan restrukturisasi utang dengan skema debt to equity swap. Debt to equity swap merupakan pertukaran utang dengan saham, atau mengubah utang menjadi penyertaan modal.

Debt to equity swap umumnya terjadi ketika penerima pinjaman (debitur) tidak mampu melunasi utangnya, kemudian pemberi pinjaman (kreditur) menukarkan piutangnya dengan ekuitas di perusahaan debitur. Lazimnya, kreditur akan bersedia melakukan debt to equity swap jika perusahaan debitur diproyeksikan tetap bertahan dan mempunyai nilai ekonomi yang bagus di masa mendatang. Namun, sebaliknya apabila perusahaan debitur masih akan mengalami masalah finansial dan tidak memberikan nilai ekonomi yang bagus setelah dilakukan penghapusan utangnya, maka pemberi pinjaman kemungkinan besar tidak akan bersedia melakukan debt to equity swap.

Aspek Perpajakan

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Pasal 4 ayat (1) huruf d mengatur bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.

Pada dasarnya dalam transaksi debt to equity swap terdapat dua transaksi yang dilakukan secara bersamaan, yaitu transaksi pelunasan utang oleh debitur, dan transaksi penyertaan modal oleh kreditur kepada entitas debitur. Ketika perusahaan melakukan transaksi debt to equity swap, tidak terdapat transaksi arus kas karena hanya terdapat transaksi tukar-menukar utang menjadi modal. Walaupun tidak terdapat transaksi arus kas, bukan berarti tidak terdapat konsekuensi perpajakan dalam transaksi debt to equity swap ini.

Pasal 10 ayat 2 UU PPh jo. UU HPP mengatur bahwa nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar. Hal yang perlu menjadi perhatian dalam transaksi debt to equity swap adalah nilai buku utang yang dihapuskan dan nilai pasar modal yang ditukarkan dengan utang. Dalam hal debt to equity swap dilakukan dengan nilai yang sama antara pelunasan utang dan penyertaan modal, yakni sebesar nilai buku utang terakhir, maka tidak terdapat konsekuensi perpajakan seketika.

Contoh: PT A tidak sanggup melunasi utangnya kepada PT B. PT A melakukan restrukturisasi utang dengan cara menukarkan utang dengan nilai buku Rp10.000.000 dengan kepemilikan saham dengan nilai pasar Rp10.000.000. Lantaran nilai pelunasan utang dan penyertaan modal sama maka tidak terdapat konsekuensi perpajakan.

Namun, dalam hal utang sebesar nilai buku terakhir dilunasi melalui perubahan bentuk menjadi penyertaan modal yang jumlahnya lebih kecil, maka selisihnya merupakan keuntungan karena terdapat penghapusan utang bagi debitur dan pembebasan dan penghapusan piutang bagi kreditur.

Contoh: PT A tidak sanggup melunasi utangnya kepada PT B, PT A melakukan restrukturisasi utang dengan cara menukarkan utang dengan nilai buku Rp10.000.000, dengan kepemilikan saham dengan nilai pasar Rp8.000.000. Karena nilai pelunasan utang lebih besar dari penyertaan modal maka terdapat keuntungan dalam bentuk penghapusan utang bagi PT A sebesar Rp2.000.000, yang merupakan objek PPh walaupun tidak terdapat realisasi pembayaran antara masing-masing pihak.

Sebaliknya, apabila jumlah penyertaan modal lebih besar dari nilai buku utang yang dilunasi, maka selisihnya merupakan penghasilan bunga bagi kreditur dan biaya bunga bagi debitur. Atas keuntungan dari transaksi debt to equity swap ini merupakan objek pajak penghasilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh jo. UU HPP.

Contoh: PT A tidak sanggup melunasi utangnya kepada PT B. PT A melakukan restrukturisasi utang dengan cara menukarkan utang dengan nilai buku Rp10.000.000 dengan kepemilikan saham dengan nilai pasar Rp12.000.000. Karena nilai pelunasan utang lebih kecil dari penyertaan modal, maka terdapat keuntungan berupa pendapatan bunga bagi PT B sebesar Rp2.000.000, yang merupakan objek PPh, walaupun tidak terdapat realisasi pembayaran antara masing-masing pihak.

Lazimnya setiap transaksi tukar-menukar terdapat keuntungan atau kerugian. Keuntungan dari transaksi tukar-menukar merupakan objek PPh, sedangkan kerugian dari transaksi tukar-menukar merupakan beban yang bisa dibiayakan apabila transaksi tukar-menukar ada hubungannya dengan 3M (mendapatkan, menagih,dan memelihara) penghasilan yang merupakan objek pajak.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.