Oleh: Anang Purnadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Puncak pesta demokrasi rakyat Indonesia baru saja dilaksanakan. Hingar bingar pemilihan presiden (pilpres) mendominasi mengalahkan pemilihan anggota legislatif yang sebetulnya tidak kalah penting. Siapa yang akan memimpin republik ini masih menunggu hasil pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Siapa pun, semoga amanah dan mampu membawa republik ini menjadi lebih baik.

Debat calon presiden dan wakil presiden menjadi fase kemeriahan yang ditunggu. Momen para calon pemimpin akan memaparkan strategi, program, serta kebijakan yang akan dilakukan untuk mengatasi segala permasalahan yang dihadapi Indonesia dalam lima tahun ke depan. Para calon pemilih mendapatkan bahan informasi untuk memutuskan kepada siapa suara akan diberikan.

Pelbagai program, solusi, serta janji-janji disampaikan calon presiden dan wakil presiden untuk meyakinkan rakyat memilih dirinya. Aspek pengeluaran atau belanja menjadi bagian yang mendominasi dalam janji serta rencana kebijakan. Sementara aspek pemasukan hanya dibahas dalam porsi yang sedikit. Ironis, bisa dikatakan demikian. Bagaimana bisa mewujudkan tanpa adanya pendapatan yang mencukupi.

Pajak sebagai sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2019 menempati porsi  82,5 persen (1.786,4 T) dari total pendapatan negara (2.165,1 T). Pajak mendapatkan satu sesi dalam debat kelima debat calon presiden dan calon wakil presiden. Meskipun pernah kali disinggung dalam beberapa debat sebelumnya, dalam porsi sedikit. Tidak ada hal yang baru, terlebih strategi khusus yang disampaikan untuk menggenjot penerimaan pajak.

Rasio Pajak

Rasio pajak tahun 2018 sebesar 11,5 persen dari PDB (Pendapatan Domestik Bruto), meningkat dari tahun 2017 (10,7 %), 2016 (10,89 %), meskipun masih di bawah rasio pajak tahun 2015 (11,6 %) dan 2014 (13,1 %).

Dibanding dengan negara tetangga, Indonesia masih tertinggal. Pada tahun 2018 rasio pajak Malaysia sebesar 15 persen, Filipina 14,6 persen, dan Singapura 13,6 persen.

Tahun 2019 target rasio pajak ditetapkan sebesar 12,2 persen dari PDB. Tidak mudah untuk menaikkan rasio pajak ke angka 16 persen. Butuh usaha dan waktu. Kenaikan perlahan namun konsisten menjadi pilihan rasional.

Memaksakan peningkatan rasio pajak dalam jangka pendek akan membawa dampak yang mengkhawatirkan. Menaikkan tarif pajak yang drastis demi tingginya rasio pajak berdampak pada bertambahnya beban masyarakat serta dunia usaha pada khususnya.

Ditjen Pajak Pisah dari Kementerian Keuangan

Wacana pemisahan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) dari Kementerian Keuangan kembali mencuat. Dengan alasan untuk menggenjot rasio pajak dan kepatuhan pajak, perlu memisahkan Ditjen Pajak menjadi Badan Penerimaan Negara yang berada di bawah presiden secara langsung.

Langkah pemisahan telah lama bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat dan saat ini masih dalam proses pembahasan. Hal ini bisa dilihat dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) terakhir, meskipun tidak secara eksplisit disebutkan tentang pemisahan. Terdapat penyebutan istilah kepala lembaga yang bertugas langsung di bawah kewenangan presiden.

Kenaikan PTKP, Penurunan Pajak Badan

Rencana menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) jadi isu berikutnya yang dilontarkan dalam debat pamungkas capres dan cawapres tahun 2019. Kenaikan PTKP diharapkan dapat meningkatkan daya beli dan jumlah konsumsi masyarakat.

Apakah hal ini menjamin? Menurut Teori Keynes dalam rasio konsumsi terhadap pendapatan yang menyatakan kecenderungan mengkonsumsi rata-rata (average propensity to consume) turun ketika pendapatan naik.

Secara jangka pendek kenaikan PTKP akan menambah daya beli masyarakat dan meningkatkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun prosentase penambahan jumlah yang dikonsumsi tidak sebanding lurus dengan penambahan penghasilan akibat peningkatan PTKP. Sebagian penambahan pendapatan akan dimanfaatkan untuk investasi atau tabungan.

Dari teori di atas dapat disimpulkan kenaikan PPN tidak sebanding dengan penurunan Pajak Penghasilan (PPh) Perseorangan. Kenaikan PTKP tahun 2016 dari Rp36 juta ke Rp54 juta menyebabkan penuruan PPh Pasal 21 sebesar 4,43 persen.

Penurunan PPh Badan tidak luput dari rencana kebijakan perpajakan kedepan. Dengan turunnya tarif PPh Badan diharapkan mendorong perkembangan dunia usaha, dan menambah lapangan pekerjaan.

Saat ini rencana penurunan PPh Badan dari 25% menjadi 17% sedang digodok Kementerian Keuangan. Namun sebelum PPh Badan secara menyeluruh diresmikan, pemberian insentif perpajakan telah diberikan kepada perusahaan-perusahaan tertentu.

Wajib Pajak Badan yang melakukan penanaman modal pada industri pionir tertentu mendapat fasilitas libur bayar pajak. Sesuai PMK Nomor 150 Tahun 2018 terdapat 18 industri yang bisa diberikan fasilitas libur bayar pajak tersebut.

Pengurangan pajak sebesar hingga 200% akan diberikan kepada perusahaan yang meningkatkan anggaran risetnya dalam jumlah tertentu.

Basis Pajak dan Reformasi Perpajakan

Meningkatkan rasio pajak penting dilakukan, semua pihak sepakat. Pemanfaatan kemajuan teknologi, informasi, transparasi, dan komputerisasi diperlukan untuk mendongkat kepatuhan pembayaran dan pelaporan pajak.

Penurunan tarif, pemberian insentif perpajakan, libur pajak, dan penigkatan PTKP secara jangka pendek akan langsung memberikan dampak penurunan rasio pajak. Namun hal ini tidak menjadi persoalan jika jumlah pembayar pajak bertambah dan kepatuhan pembayaran meningkat. Hal itu tercapai dengan basis pajak yang kuat.

Sinkronasi data dengan berbagai pihak, antar kementerian, perbankan, lembaga keuangan lain maupun pihak swasta mutlak diperlukan. Dengan basis data yang kuat dan akurat maka siapa dan berapa pembayaran pajak akan mudah dihitung dengan tepat.

Sistem yang terintegrasi akan mudah melacak aliran uang masuk. Dapat dibayangkan jika data Bank, kepemilikan properti, kendaraan, pembayaran tagihan listrik, telepon, dan uang elektronik terintegrasi dengan data perpajakan maka dipastikan jumlah pajak yang dibayar menjadi lebih akurat.

Saat ini reformasi perpajakan tahap ketiga tengah berproses, indikasi yang sudah dirasakan diantaranya pelaporan SPT Tahunan yang dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja, melalui efiling. Hampir semua pelayanan pajak dapat dilaksanakan dalam jaringan (online), tidak harus datang ke Kantor Pelayanan Pajak.

Cita-cita pajak dalam genggaman menjadi hasil akhir yang diharapkan. Aplikasi Tax Payer Account dinanti kehadirannya dalam gawai setiap wajib pajak. Jumlah pajak yang harus dibayar, pengingat kapan bayar dan lapor pajak, membayar dan melaporkan SPT akan tersaji dalam satu aplikasi.

Akhir kata, pos belanja negara apapun akan mudah diwujudkan jika penerimaan negara melimpah. Reformasi pajak mutlak diperlukan, basis pajak harus dibenahi, peningkatan pelayanan demi pencapaian rasio pajak setinggi mungkin. Dengan pisah dari Kementerian Keuangan ataupun tidak. (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.