NIK Sebagai NPWP, Belum Tentu Bayar Pajak

Oleh: Desak Putu Sri Shania Aprilia, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Rancangan Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) telah disepakati menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022. Salah satu aturan baru yang dimuat dalam UU HPP yaitu mengatur Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dapat digunakan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Dalam UU HPP menyatakan bahwa setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan NPWP. Kemudian dipertegas dengan pernyataan bahwa NPWP yang dimaksud bagi Wajib Pajak Orang Pribadi menggunakan NIK.
“Saya sudah punya KTP, jadi tidak perlu daftar NPWP lagi?”
Jawabannya adalah IYA. Sesuai dengan UU HPP yang telah dijelaskan di atas, maka Wajib Pajak Orang Pribadi tidak perlu repot lagi untuk melakukan pendaftaran NPWP karena NIK sudah berfungsi sebagai NPWP. Namun, bagi pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, wajib melaporkan usahanya pada kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
“Saya punya KTP, harus bayar pajak nih?”
Jawabannya adalah TIDAK. Dengan adanya ketentuan NIK pada KTP dapat digunakan sebagai NPWP dalam UU HPP, pertanyaan ini muncul di tengah masyarakat. Tidak semua warga negara yang sudah memiliki NIK atau KTP harus membayar pajak.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor menyatakan bahwa pemberlakuan NIK menjadi NPWP tidak otomatis menyebabkan pemilik NIK akan dikenai pajak. Pada dasarnya pemberlakuan NIK menjadi NPWP akan memperkuat reformasi administrasi perpajakan Indonesia yang sedang berlangsung.
“Lalu, siapa saja yang wajib bayar pajak?”
Kewajiban membayar pajak hanya melekat pada wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Persyaratan subjektif yang dimaksud adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan. Syarat subjektif adalah subjek pajak di Indonesia. Subjek pajak di Indonesia dapat dibagi menjadi dua yaitu:
- Subjek Pajak Dalam Negeri
- Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
- Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
- Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
- Subjek Pajak Luar Negeri
- Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
- Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Berdasarkan dua persyaratan tersebut dapat disimpulkan bahwa wajib pajak yang harus membayar pajak adalah masyarakat Indonesia yang sudah memenuhi syarat subjektif dan sudah menerima atau memperoleh penghasilan.
Pemberlakuan NIK menjadi NPWP akan mengintegrasikan sistem administrasi perpajakan dengan basis data kependudukan. Hal ini sesuai dengan tujuan dibentuknya UU HPP yaitu mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum; melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan; serta meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.
Diharapkan dengan pemberlakuan NIK menjadi NPWP dapat memberi kemudahan dan kesederhanaan administrasi, serta dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak di Indonesia.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 920 kali dilihat