Oleh: Akhmad Noor Rizky Yakhsyifany, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Beberapa waktu lalu, beredarnya RUU KUP membawa polemik di tengah masyarakat. Terdapat bagian pada draf perubahan UU PPN yang menjadi sorotan yaitu penghapusan beberapa poin. Yang paling menggemparkan adalah hilangnya frasa “b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak” dan “g. jasa pendidikan”.

Dua huruf tersebut merupakan jenis barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN berdasarkan Pasal 4A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Hilangnya “barang kebutuhan pokok” dan “jasa pendidikan” dari negative list barang atau jasa yang dikenakan PPN menimbulkan pertanyaan di masyarakat. Akankah belanja sembako dan biaya menyekolahkan anak akan dikenakan PPN?

Seolah membenarkan pertanyaan dan menggiring opini negatif, banyak media pemberitaan yang membuat kabar tersebut seakan-akan seluruh sembako dan biaya sekolah akan dikenakan PPN. Tentu saja hal ini membuat masyarakat gempar. Bagaimana tidak, di tengah kondisi pandemi dan keadaan ekonomi sedang terpuruk justru masyarakat mendengar kabar yang belum pasti kebenarannya.

Mengatasi kekacauan tersebut, Kementerian Keuangan selaku lembaga pemerintah yang berwenang dalam menetapkan kebijakan fiskal langsung menepis kabar tersebut. Bahkan Menteri Keuangan sendiri yang turun tangan untuk mengklarifikasi dan menetralkan keadaan. Menteri Keuangan dengan “sengaja” berbelanja ke pasar tradisional dan berdialog langsung dengan para pedagang secara sederhana.

Inti dari tindakan Bu Menteri ini adalah untuk meyakinkan masyarakat bahwa barang kebutuhan pokok yang menjadi kebutuhan bagi rakyat banyak tidak akan dikenakan PPN. Kemudian, jika barang kebutuhan pokok tidak dikenakan PPN, mengapa frasa tersebut dihilangkan dari barang yang dikecualikan pengenaan PPN-nya? Hal ini dijawab oleh Staf Khusus Menteri Keuangan dalam beberapa liputan media.

Dijelaskan bahwa barang kebutuhan pokok yang akan dikenakan PPN adalah yang berlabel “premium”. Sebagai contoh, antara daging sapi lokal yang dijual di pasar tradisional dan daging sapi premium, katakanlah daging sapi wagyu, maka yang akan dikenakan PPN adalah daging sapi yang menyandang gelar premium saja. Sedangkan daging sapi yang dijual pedagang pasar tradisional tidak dikenakan PPN. Begitu juga dengan jasa pendidikan, hanya jasa pendidikan dengan label mewah saja yang akan dikenakan PPN, sedangkan sekolah negeri tidak akan dikenakan PPN.

Melihat kebijakan yang akan diambil dan masih terus dikaji tersebut maka nanti akan ada stratifikasi sosial dalam pengenaan PPN. Si Kaya ketika mengonsumsi barang atau jasa berlabel premium maka akan dikenakan PPN dan Si Miskin ketika mengonsumsi barang atau jasa yang beredar banyak di masyarakat maka tidak akan menanggung beban PPN, begitu singkatnya.

Memang saat ini pengenaan PPN tidak memandang status sosial subjek pajaknya. Hal ini karena sesuai dengan sifat PPN itu sendiri sebagai pajak objektif yang hanya memandang kondisi objek pajaknya tanpa melihat siapa yang mengonsumsi objek tersebut. Lain hal dengan Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat pajak subjektif maka tentu akan memandang kriteria dari subjek pajaknya.

PPN dengan sifatnya sebagai pajak objektif memiliki celah pengaturan yaitu pada keadaan objek pajaknya, barang atau jasa dengan kriteria seperti apa yang akan dikenakan PPN. Apabila maksud pemerintah adalah untuk memperluas objek pajak dengan memasukkan barang atau jasa berlabel premium dan mengecualikan barang atau jasa yang tidak menyandang gelar premium, maka akan diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai kriteria dan ketentuan klasifikasi barang atau jasa yang berhak menyandang gelar premium dan yang tidak.

Hal ini diperlukan guna memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Sebab apabila tidak diberikan pengaturan yang lebih rinci mengenai kriteria dalam pengklasifikasian jenis barang tersebut maka seluruh barang kebutuhan pokok dan jasa pendidikan apa pun bentuknya maka akan dikenakan PPN.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melihat pemberitaan yang terjadi tersebut tentu saja tidak tinggal diam. Konten di seluruh media sosial resmi DJP memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai barang kebutuhan pokok dan jasa pendidikan seperti apa yang nantinya akan dikenakan PPN apabila disetujui RUU-nya. Bahkan, DJP mengirimkan surat elektronik kepada wajib pajak yang berisikan penjelasan atas kabar yang tersebar. Namun, ada hal yang mencolok dalam isi surat elektronik tersebut yakni DJP mengemukakan dua opsi pengenaan PPN yaitu PPN multitarif dan PPN bersifat final.

PPN di Indonesia saat ini menganut tarif tunggal yaitu 10% atas konsumsi barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) di dalam daerah pabean dan tarif 0% apabila BKP atau JKP tersebut dikonsumsi di luar daerah pabean atau sebut saja ekspor BKP atau JKP. Tarif yang sama ini memberikan efek ketidakadilan kepada masyarakat. Orang dengan daya beli yang tinggi dan orang dengan daya beli yang biasa saja sama-sama dikenakan tarif 10%.

Sebagai contoh, si A dengan penghasilan Rp10 juta tiap bulan dan Si B yang berpenghasilan Rp2 juta tiap bulan. Ketika mereka membeli sebuah sepeda seharga Rp1 juta akan dikenakan PPN yang sama, yaitu Rp100.000,00. Mungkin bagi si A nominal tersebut tidak terlalu besar, tetapi berbeda dengan si B. Hal ini tidak dapat dimungkiri karena kembali lagi ke sifat dasar PPN yang tidak memandang kondisi si pembeli.

Pemerintah bermaksud untuk mengubah hal tersebut dengan memberlakukan sistem PPN multitarif yang berarti akan ada perbedaan tarif PPN. Bagi masyarakat dengan penghasilan menengah ke bawah akan dikenakan tarif yang lebih rendah dan bagi masyarakat yang berpenghasilan menengah ke atas akan dikenakan tarif yang lebih tinggi atas konsumsi barang atau jasa yang tergolong mewah.

Pemberlakuan sistem multitarif ini bertujuan untuk mengatasi pemberian beberapa fasilitas PPN yang dianggap kurang tepat sasaran dan mengurangi distorsi perekonomian.

Semua hal tersebut masih merupakan rencana pemerintah. Peraturan tersebut bisa jadi diterapkan dan tidak menutup kemungkinan juga untuk dibatalkan tergantung bagaimana proses negosiasi antara pemerintah dan DPR dalam pembahasan RUU KUP Omnibus Law tersebut. Satu hal yang pasti adalah maksud dan tujuan pemerintah adalah untuk kebaikan bersama. Penerapan kebijakan ini juga tidak mungkin dilakukan dalam sekejap.

Pemerintah perlu memberikan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berujung kekacauan. Lagi pula, menetapkan sebuah undang-undang tidak secepat membalikkan telapak tangan. Diperlukan waktu yang lama untuk mengkaji dan membahas agar kebijakan tersebut meskipun tidak akan menguntungkan seluruh pihak, tetapi paling tidak bagi pihak yang dirugikan tidak akan merasa terlalu terbebani. Kita lihat saja nanti bagaimana kepastiannya.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja