Oleh: Dewi Damayanti, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Salah satu terobosan penting pemerintah dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan DPR RI awal Oktober lalu adalah menjaring pajak orang super kaya dengan kenaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi menjadi 35% bagi mereka yang memiliki penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun.

Pengenaan pajak tersebut merupakan langkah cerdas di bidang perpajakan. Dalam beleid yang sekarang berlaku, orang super kaya di Indonesia menanggung beban pajak sama dengan mereka yang memiliki penghasilan di atas Rp500 juta setahun, yaitu dikenakan tarif pajak 30%.

Adanya tambahan tarif PPh ini diyakini akan meningkatkan penerimaan PPh secara signifikan. Hal ini dikarenakan berdasarkan data Kementerian Keuangan, mereka yang berpenghasilan di atas Rp5 miliar setahun berjumlah sekitar 3.800-an orang.

Dilihat dari struktur penerimaan pajak, pada saat ini kontribusi pajak orang pribadi masih sangat kecil. Untuk PPh Orang Pribadi karyawan sebesar 24% dan PPh Orang Pribadi usaha sebesar 2%. Dibandingkan dengan negara lain, tarif PPh Orang Pribadi Indonesia selama ini cukup moderat, bahkan di kalangan negara-negara ASEAN.

Filipina, Thailand, dan Vietnam telah lebih dulu menetapkan tarif PPh Orang Pribadi sebesar 35%. Apalagi jika kita bandingkan dengan negara maju yang menerapkan tarif pajak yang mencekik, sebut saja Swedia, dengan tarif pajak tertinggi 57%.

Kecenderungan sekarang beberapa negara bahkan berlomba-lomba menaikkan tarif PPh Orang Pribadi untuk menyelamatkan keuangan negara di tengah pandemi. Sebut saja Korea Selatan dengan tarif tertinggi 45%, Selandia Baru sebesar 39%, Kolombia sebesar 39%, Spanyol 45% (DDTC, 2021).

Pemerintah Indonesia sendiri dalam memutuskan untuk menambah lapisan tarif PPh Orang Pribadi pasti telah melalui pertimbangan komprehensif. Dalam catatan International Monetary Fund (IMF), banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah mendapat skor tinggi untuk ketimpangan pendapatan pada koefisien gini. Koefisien gini (gini ratio) adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna).

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2020 gini ratio ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia sebesar 0,381%, meningkat 0,001 poin dibandingkan pada September 2019 sebesar 0,380. Dan pandemi Covid-19 telah menambah jumlah orang miskin di Indonesia. Pada Maret 2021 BPS mencatat ada 26,42 juta orang miskin, meningkat 1,63 juta orang dari September 2019.

Maka peningkatan pajak orang super kaya ini diharapkan dapat mengikis ketimpangan sosial yang saat ini terjadi, dengan mengedepankan asas ability to pay. Sistem pajak dikatakan adil apabila setiap orang membayar pajak sesuai dengan kemampuannya.

Sehingga setiap orang yang mempunyai pendapatan yang sama membayar jumlah pajak yang sama atau biasa disebut keadilan horisontal (horizontal equity) dan orang yang mempunyai pendapatan yang lebih membayar pajak lebih besar atau biasa disebut keadilan vertikal (vertical equity) (Richard Musgrave & Peggy Musgrave, 1986).

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah meretas jalan panjang untuk menegakkan keadilan dalam bidang perpajakan. Pada 2002 telah dibentuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar (LTO). Khusus untuk wajib pajak orang pribadi berpenghasilan besar yang berdomisili di Jakarta, administrasi pengawasannya di KPP LTO 4.

Hanya saja KPP LTO 4 ini juga mengawasi perusahaan negara atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor jasa. Apakah pembentukan KPP LTO 4 ini mampu menyumbang penerimaan pajak yang signifikan? Di 2020, ternyata KPP LTO 4 hanya menyumbang Rp74 triliun dari total penerimaan negara sebesar Rp1.072 triliun atau sebesar 6,9%. Pengenaan pajak terhadap orang kaya memang memilki tantangan berbeda yang harus diantisipasi sejak awal.

Tantangan Pengenaan Pajak

Tantangan pengenaan pajak sektor orang pribadi berpenghasilan besar ini adalah pada sektor ini menyajikan administrasi pajak dengan risiko kepatuhan yang substansial dan meningkat yang berasal dari kompleksitas urusan keuangan mereka, besarnya potensi pendapatan, dan kecenderungan mereka merencanakan pajak yang agresif untuk meminimalkan pembayaran pajak.

Kegagalan memitigasi risiko kepatuhan dalam kelompok pembayar pajak orang pribadi super kaya (crazy rich people), dapat menyebabkan terkikisnya kepercayaan terhadap keadilan administasi perpajakan yang akan cenderung menurunkan kepatuhan populasi wajib pajak yang lebih luas (IMF, 2017).

Sebelum memutuskan fokus menjaring pendapatan pajak dari segmen wajib pajak besar, pemerintah harus memulai persiapan dengan membuat konsep program kepatuhan wajib pajak besar dan memperbaiki segala kekurangan yang ada.

Rekomendasi dari IMF menyebutkan bahwa faktor yang harus menjadi pertimbangan ketika menentukan kesiapan adalah keselarasan dengan kenyataan lingkungan politik dan ekonomi, otoritas hukum mendukung program kepatuhan wajib pajak besar, kapasitas administrasi pajak untuk melibatkan wajib pajak besar dan perantaranya, dan kecukupan informasi untuk mendukung program kepatuhan.

Ketidakselarasan tujuan program kepatuhan dengan lingkungan politik dan ekonomi harus diselesaikan secara tepat. Mengapa?

Pertama, para wajib pajak besar ini sering kali menjabat posisi tertentu dalam partai politik atau menjadi anggota parlemen. Mereka mungkin memiliki akses ke pemerintahan tingkat tinggi, maka menjadi prioritas untuk memperjelas tujuan dan pentingnya program kepatuhan wajib pajak besar agar tercapai kesepahaman.

Kedua, untuk menarik pajak kekayaan orang kaya atau mencegah migrasi mereka ke negara lain, pemerintah dapat menawarkan insentif pajak sebagai imbalan atas investasi atau kegiatan ekonomi, tax holiday, penundaan pembayaran, dan lain-lain.

Kita dapat belajar dari perbankan dalam memperlakukan nasabah prioritas mereka, dengan memberikan pelayanan prima pada para wajib pajak besar dengan cara memperlakukan kartu Nomor Pokok Wajib Papajk (NPWP) layaknya kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Bagi wajib pajak besar diberi kartu gold, sedangkan wajib pajak biasa dibuatkan kartu silver (Romadhaniah, 2005).

Ketiga, penerapan kepatuhan wajib pajak besar harus mendapat pengakuan publik yang luas bahwa sistem perpajakan diterapkan secara adil kepada semua pembayar pajak, dan program kepatuhan tersebut menjadi bagian dari strategi program kepatuhan secara luas.

Keempat, keadilan adakalanya diterjemahkan secara tidak benar bahwa dengan fokus pada kepatuhan segmen tertentu melanggar doktrin persamaan di depan hukum. Padahal praktik administrasi pajak modern mengusung keadilan dalam masyarakat dengan cara menerapkan sumber daya terbatas ke area yang memiliki risiko terbesar terhadap basis pendapatan.

Manfaat dari fokus pada sektor wajib pajak besar bisa sangat besar. Menurut laporan tahunan Kantor Perpajakan Australia (ATO), penanganan yang intensif terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi super kaya menghasilkan 680 juta AUD pada tahun 2014–2015. Kementerian Keuangan kerajaan Inggris menghasilkan penerimaan pajak sebesar 20 juta GBP pada 2009 dari pembayaran pajak orang kaya mereka.

DJP harus mulai melakukan pembenahan dari segi sumber daya manusia, sistem informasi dan basis data, dan regulasi untuk memaksimalkan program kepatuhan wajib pajak besar. Pengumpulan wajib pajak besar dalam satu KPP dapat mulai dilakukan, sehingga lebih mudah dilakukan pengawasan. Sehingga tujuan untuk menjaring pajak dari sektor ini dapat tercapai. Muara akhirnya rasio pajak sebesar 9,22% PDB pada 2022 terwujud.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.