Mengenal Pemeriksaan oleh Account Representative

Oleh: Tomi Wiranto, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki fungsi yang sangat vital bagi keuangan negara. Ibarat sum-sum tulang pada tubuh kita, DJP dituntut untuk menghasilkan sel darah untuk kemudian dialirkan ke seluruh tubuh atau dalam hal ini kementerian, pemerintah daerah, dan lembaga-lembaga negara lainnya untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara.
Pada dasarnya semua fungsi jabatan di DJP memiliki peranan yang sama pentingnya bagi tercapainya visi dan misi DJP. Namun, ada salah satu fungsi yang cukup penting sebagai ujung tombak DJP yaitu Account Representative (AR). Pertanyaan yang muncul adalah mengapa harus AR? Bagaimana sejarah AR? Apa tugas dan fungsi utama dari AR? Dan bisakah AR melakukan pemeriksaan pajak yang merupakan ranah fungsional pemeriksa pajak?
Mengapa harus AR? AR memiliki peran utama sebagai jembatan perantara antara sistem self assessment yaitu pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) yang dilakukan oleh wajib pajak dengan sistem official assessment yaitu Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang dikeluarkan oleh pemeriksa pajak.
AR memiliki fungsi utama melakukan analisis dan pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakan atas wajib pajak maupun calon wajib pajak (dalam konteks pengawasan potensi kewilayahan). Kemudian pengawasan tersebut dituangkan dalam bentuk Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) kepada wajib pajak.
Lalu, apabila atas SP2DK yang dibuat oleh AR tersebut, wajib pajak tidak merespons atau menanggapi dengan tidak benar, maka AR dapat melakukan analisis risiko terhadap wajib pajak untuk kemudian dilakukan pemeriksaan pajak oleh fungsional pemeriksa pajak. Jadi AR merupakan penghubung antara pelaporan yang dilakukan oleh wajib pajak dengan produk hukum yang dikeluarkan oleh fungsional pemeriksa pajak.
Bila dilihat dari sejarahnya, AR pertama kali diperkenalkan pada saat modernisasi DJP pada 2002. Salah satu poin pentingnya adalah dibentuknya jabatan AR sebagai penunjang modernisasi sistem perpajakan nasional.
Tugas AR itu sendiri sebenarnya mengalami beberapa kali perubahan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 45/PMK.01/2021 tentang Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak, dijelaskan tugas AR adalah sebagai berikut:
- melaksanakan analisis, penjabaran, dan pengelolaan dalam rangka memastikan wajib pajak mematuhi peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan;
- melaksanakan kegiatan penguasaan wilayah, pengamatan potensi pajak, dan penguasaan informasi;
- melaksanakan pencarian, pengumpulan, pengolahan, penelitian, analisis, pemutakhiran, dan tindak lanjut data perpajakan;
- melaksanakan pengawasan perpajakan wajib pajak;
- menyusun konsep imbauan dan melaksanakan konseling kepada wajib pajak;
- melaksanakan pengawasan dan pemantauan tindak lanjut data dan informasi;
- melaksanakan pengelolaan administrasi penetapan dan menyusun konsep penerbitan produk hukum dan produk pengawasan perpajakan.
Namun, pada kenyataanya, menjadi AR dan memiliki fungsi yang penting bagi penerimaan negara terkadang belum tentu memiliki wewenang yang besar atau malah terbatas atau dibatasi oleh AR itu sendiri. Fungsi utama AR yang hanya dianggap sebagai inisiator dan deteksi awal semata, ada kalanya membatasi tugas AR pada tingkatan membuat SP2DK dan konseling semata, tanpa mau menerbitkan produk hukum yang merupakan ranah pemeriksaan.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bisakah AR menjadi eksekutor atas SP2DK yang telah dibuat? Bisakah AR melakukan pemeriksaan pajak? Jawabannya adalah bisa. Hal ini juga sejalan dengan tugas AR berdasarkan PMK-45 tahun 2021 pada poin terakhir yaitu menyusun konsep penerbitan produk hukum dan produk pengawasan perpajakan baik itu dalam bentuk Surat Tagihan Pajak (STP) maupun Surat Ketetapan Pajak (SKP).
Pemeriksaan oleh AR yang dimaksud juga sejalan dengan Pasal 4 huruf b PMK Nomor 184/PMK.03/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pemeriksaan. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pemeriksaan data konkret adalah pemeriksaan yang terdapat keterangan lain berupa data konkret sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Aturan di atas juga menegaskan kembali bahwa atas dasar “keterangan lain” dapat diterbitkan ketetapan pajak lewat pemeriksaan data konkret. Lebih lanjut, keterangan lain tersebut dapat pula diartikan data yang diperoleh AR dalam analisisnya dan dituangkan dalam SP2DK.
Lalu, di mana posisi AR dalam pemeriksaan data konkret? Pada dasarnya pemeriksaan dilakukan oleh fungsional pemeriksa pajak, namun untuk kasus tertentu, pemeriksaan bisa dilakukan selain dari fungsional pemeriksa pajak.
Menurut Pasal 1 angka 5 PMK Nomor 184/PMK.03/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pemeriksaan, yang dimaksud dengan Pemeriksa Pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan.
Adapun aturan di atas menjelaskan bahwa pegawai DJP tertentu atau dalam hal ini AR dapat melakukan pemeriksaan pajak dengan tetap berpegang pada aturan-aturan perpajakan yang ada, salah satunya adalah dengan membentuk tim satuan tugas (satgas) pemeriksaan.
Oleh karena itu, alangkah lebih baik jika AR mampu mengambil peran yang lebih besar dan lebih jauh lagi dalam penyelesaian atas SP2DK yang telah dibuat, yaitu dengan melaksanakan pemeriksaan data konkret terhadap wajib pajak tertentu sesuai dengan kriteria pemeriksaan yang dimaksud tanpa menunggu dilakukan pemeriksaan pajak oleh fungsional pemeriksa pajak.
Memang pemeriksaan data konkret bukan lagi merupakan indikator kinerja utama bagi AR, tetapi bukan berarti hal ini menjadi penghalang bagi AR untuk melakukan pemeriksaan data konkret. Sifat kaku terhadap aturan-aturan yang ada dan ego sektoral harus disingkirkan dengan mengedepankan hasil dari pemeriksaan yang dilakukan demi tercapainya target penerimaan nasional.
AR harus bisa menggunakan senjata pamungkasnya demi mempertajam fungsi AR yang tidak hanya sebatas memberikan imbauan kepada wajib pajak, akan tetapi lebih jauh lagi yaitu bisa berperan sebagai eksekutor di lapangan. Sehingga dapat lebih cepat memberikan pengaruh terhadap penerimaan dan target penerimaan pajak yang diberikan kepada AR tersebut.
Semoga kedepannya AR bisa berperan lebih besar lagi bersama-sama dengan pegawai DJP lainnya dalam mencapai tugas mulia DJP yaitu menghimpun penerimaan negara sebesar-besarnya demi tercapainya Indonesia maju.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
- 2058 kali dilihat