Oleh: Zidni Amaliah Mardlo, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Rasio penerimaan perpajakan (tax ratio) Indonesia sebesar 10,3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2018. Angka tersebut masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan standar tax ratio bagi negara-negara di seluruh dunia menurut Bank Dunia yaitu sebesar 15 persen. Salah satu penyebab rendahnya rasio penerimaan perpajakan di Indonesia adalah masih rendahnya kepatuhan wajib pajak (tax compliance).

Sampai dengan 1 April 2019, sebanyak 11,3 juta SPT TahunanWP OP dan Badan telah disampaikan oleh wajib pajak (WP). Dari angka tersebut, terdapat 278 ribu SPT Tahunan WP Badan yang batas waktu pelaporannya baru akan berakhir pada 30 April 2019 mendatang. Jika melihat jumlah WP terdaftar sampai dengan 31 Desember 2018 yaitu 18,3 juta wajib pajak, maka masih ada 7 juta wajib pajak yang belum melakukan pelaporan SPT Tahunan. Salah satu indikator kepatuhan wajib pajak adalah jumlah wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunan PPh sebelum batas akhir pelaporan (tepat waktu). Jika melihat kondisi kepatuhan wajib pajak (tax compliance) Indonesia beberapa tahun kebelakang, kepatuhan wajib pajak di Indonesia masih tergolong rendah. Tahun 2016, dari 257 juta populasi orang pribadi di Indonesia terdapat 30,08 juta WP Terdaftar dan hanya 12,7 juta wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunan PPh.

Definisi kepatuhan wajib pajak menurut Safri Nurmantu dalam Siti Kurnia Rahayu (2010:138) adalah, "Kepatuhan wajib pajak dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya."

Adapun menurut Machfud Sidik dalam Siti Kurnia Rahayu (2010:19), mengemukakan, "Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela (voluntary of complince) merupakan tulang punggung sistem self assessment, dimana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajaknya tersebut."

Sistem perpajakan di Indonesia yang menganut sistem self-assessment memberi wewenang penuh kepada wajib pajak untuk melakukan perhitungan, menyetor, dan melaporkan sendiri atas pajak yang wajib dibayarkan.

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun 2019 ini kantor pajak tidak dipenuhi oleh antrean wajib pajak yang akan melaporkan SPT Tahunan. Hal ini dikarenakan sistem pelaporan pajak yang bisa dilakukan secara daring (dalam jaringan) atauonline. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memfasilitasi wajib pajak untuk melaporkan SPT Tahunan secara online melalui e-filing maupun e-form. Pada tahun 2019 pelaporan SPT Tahunan secara onlinemelalui e-filing maupun e-form mengalami kenaikan sebesar 23,68 persen dari tahun sebelumnya. Dengan meningkatnya jumlah wajib pajak yang menyampaikan SPT secara elektronik, diharapkan selaras dengan naiknya kepatuhan wajib pajak pada tahun 2019.

E-filing dan e-form merupakan salah satu bentuk modernisasi sistem administrasi perpajakan yang dilakukan oleh DJP sebagai upaya dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Dengan penerapan sistem pelaporan SPT secara elektronik melaluie-filling maupun e-form diharapkan wajib pajak tepat waktu dalam pelaporan maupun pembayaran pajak yang menjadi kewajibannya.

Selain modernisasi sitem administrasi perpajakan, penegakan aturan juga diperlukan untuk mendorong wajib pajak beralih dari sistem pelaporan secara manual menjadi pelaporan pajak secara elektronik. Terbitnya PMK No. 9/PMK.03/2018 tentang perubahan atas PMK No.243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) ikut berperan mendorong wajib pajak untuk menyampaikan SPT Tahunan secara elektronik. Dalam peraturan tersebut diatur bahwa wajib pajak yang pernah melaporkan SPT (masa atau tahunan) secara elektronik maka wajib melaporkan SPT Tahunan secara elektronik untuk SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 dan seterusnya. Sehingga wajib pajak yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) tentu harus melaporkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2018 secara elektronik karena setiap bulan mereka telah melaporkan SPT Masa PPN secara elektronik.

Modernisasi terhadap sistem administrasi dan proses bisnis, serta penegakan aturan dapat mendorong kenaikan kepatuhan wajib pajak. Fasilitas seperti e-registration, e-filing, e-form, e-SPT dan e-faktur, iKSWP diciptakan oleh DJP untuk memberikan kemudahan kepada wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Negara Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk ke-empat terbanyak di dunia, tahun 2019 Indonesia diproyeksikan memiliki penduduk sebanyak 266,91 juta jiwa dengan jumlah penduduk usia produktif mencapai 68,7 persen dari total populasi atau setara 183,36 juta jiwa dan kelompok umur lebih dari 65 tahun (usia sudah tidak produktif) berjumlah 17,37 juta jiwa atau sebesar 6,51 persen dari total populasi (berdasarkan survei penduduk antar sensus (SUPAS), 2015). Senada dengan SUPAS 2015, worldometers (data per 27 Januari 2019 pukul 11.30 WIB) mencatat jumlah penduduk Indonesia tahun 2019 adalah sebanyak 269.536.482 jiwa. Tren positif jumlah penduduk usia produktif yang lebih banyak daripada usia non produktif membawa dampak positif bagi DJP dalam upaya modernisasi sistem administrasi perpajakan. Terlebih lagi, berdasarkan laporan e-Marketer, pengguna aktif smartphone di Indonesia akan tumbuh dari 55 juta orang pada tahun 2015 menjadi 100 juta orang tahun 2018 sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pengguna smartphone terbanyak ke-empat di dunia.

DJP optimis rasio kepatuhan wajib pajak tahun ini bisa lebih baik dari tahun lalu. Adanya kemudahan teknologi, penegakan aturan dan sosialisasi mengenai tata cara penyampaian SPT, bisa sejalan dengan meningkatnya kepatuhanwajib pajak di tahun ini.

Selain itu, digitalisasi sistem pelaporan pajak membuat wajib pajak tidak perlu berlama-lama mengantre di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) untuk melaporkan SPT Tahunannya. Pelaporan SPT Tahunan secara elektronik melalui e-filing maupun e-form memungkinkan wajib pajak untuk melaporkan SPT di mana saja dan kapan saja.

Digitalisasi sistem perpajakan yang dilakukan DJP sejatinya sudah dimulai dari beberapa tahun lalu. DJP sebagai salah satu instansi pemerintah yang memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam bidang pajak, senantiasa melakukan inovasi dengan mengimplementasikan Teknologi dan Informasi dalam sistem administrasi perpajakan.

erubahan zaman memicu digitalisasi di setiap lini kehidupan. Pajak, salah satu sektor krusial dalam penerimaan negara, tidak luput dari keharusan melakukan modernisasi sistem administrasi. Digitalisasi sistem administrasi dan penegakan aturan mendorong kenaikan kepatuhan pajak (tax compliance) yang berkolerasi dengan penerimaan pajak dan tax ratio. Digitalisasi ini dilakukan untuk memberikan kemudahan kepada wajib pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya. Digitalisasi sistem administrasi perpajakan yang ada seperti e-registration, e-filing, e-form, e-SPT dan e-faktur, dan i-KSWP yang memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya serta terbitnyaPMK No. 9/PMK.03/2018 merupakan sarana untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Continuous Improvement dalam digitalisasi sistem administrasi dilakukan DJP untuk mengembangkan dan memperbaiki sistem pelayanan yang ada saat ini dan pada akhirnya tercipta sistem pelayanan pajak yang tepat, efektif dan efisien bagi Indonesia. (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.