Keseimbangan Primer

Oleh: Rifky Bagas Nugrahanto, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Banyak hal terjadi di triwulan I hingga triwulan II di tahun 2018, yang memberikan dampak langsung kepada negara Indonesia. Khususnya beberapa kebijakan luar negeri yang salah satunya yang diberlakukan di Amerika Serikat mengenai reformasi pajak terbesar di AS sejak era 1980-an dengan memangkas pajak korporat dari sebelumnya 35 persen kini menjadi 21 persen yang akan mengurangi beban pajak untuk individu, rencana normalisasi kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed) dan, pengenaan tarif impor barang canggih dari Tiongkok senilai US$50 miliar atau sekitar Rp688 triliun pada 2018. Secara kita ketahui bahwa setiap pergerakan kebijakan dari negara maju, negara Eropa bahkan Amerika Serikat akan memberikan pengaruh terhadap negara-negara berkembang termasuk negara Indonesia.

Masih tidak dapat dipungkiri bahwa pergerakan valuta asing khususnya dollar US menjadi indikator yang mempengaruhi perekonomian Indonesia. Penarikan valuta asing dollar US yang tidak terkontrol akan berimbas pada menipisnya persediaan dollar US di dalam negeri. Permintaan penukaran untuk memperoleh dollar US akan membuat nilai tukar rupiah melemah yang disebabkan karena tingkat penawaran rupiah menjadi tertekan. Ketergantungan atas barang impor dari luar negeri atau valuta asing sebagai alat pembayaran bunga atas utang dan pokok utang menjadi faktor pendorong utama atas kecenderungan penarikan valuta asing dollar US.

Hal-hal di atas sebenarnya sebuah ancaman yang akan terus dihadapi oleh bangsa Indonesia, jika tidak melakukan sebuah perubahan atas tata kelola pembangunan maupun melaksanakan perbaikan di bidang perekonomian.

Mengutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Analisis_SWOT, bahwa SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu proyek atau suatu spekulasi bisnis. Keempat faktor itulah yang membentuk akronim SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats). SWOT akan lebih baik dibahas dengan menggunakan tabel yang dibuat dalam kertas besar, sehingga dapat dianalisis dengan baik hubungan dari setiap aspek.

Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis atau proyek dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut. Analisis SWOT dapat diterapkan dengan cara menganalisis dan memilah berbagai hal yang mempengaruhi keempat faktornya, kemudian menerapkannya dalam gambar matrik SWOT, di mana aplikasinya adalah bagaimana kekuatan (strengths) mampu mengambil keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada, bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mencegah keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada, selanjutnya bagaimana kekuatan (strengths) mampu menghadapi ancaman (threats) yang ada, dan terakhir adalah bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mampu membuat ancaman (threats) menjadi nyata atau menciptakan sebuah ancaman baru.

Dalam kasus ini, sebuah negara diharapkan dapat menciptakan sebuah keseimbangan dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada. Perubahannya sekarang ini mulai dirasakan dengan mengupayakan ketergantungan atas investasi asing bukan secara ancaman melainkan pendorong untuk melakukan suatu terobosan. Sebagian dana investasi asing dipergunakan untuk pembangunan infastruktur yang akan menyegarkan alur distribusi bisnis dan menumbuhkan siklus-siklus ekonomi baru yang sebelumnya tidak sempat diberdayakan dengan skema pembayaran yang memberikan keuntungan kepada negara.

Realisasi APBN 2018 S/D 31 Mei 2018

 

APBN 2018

Realisasi s.d 31 Mei

% thd APBN

Pendapatan negara (A)

1,894,720.4

685,086.4

36,2%

Belanja Negara (B)

2,220,657.0

779,512.9

35,1%

Keseimbangan Primer

(87,329.5)

18,054.2

19,8%

Surplus/(Defisit) Anggaran (A-B)

325,936.6

(94,422.3)

-20,7%

Pembiayaan Anggaran

325,936.6

196,916.3

52,1%

Dalam miliar rupiah

Sumber data : https://www.kemenkeu.go.id/media/10109/apbn-kita-juni-2018.pdf

Titik keseimbangan primer sendiri merupakan  selisih  dari  total pendapatan  negara  dikurangi  belanja  negara  di luar pembayaran  bunga  utang.  Jika  total pendapatan  negara  lebih  besar  daripada  belanja negara  di  luar pembayaran bunga utang maka keseimbangan primer akan positif, yang berarti masih tersedia dana yang cukup untuk membayar bunga utang. Sebaliknya, jika total pendapatan negara lebih kecil daripada belanja  negara di luar pembayaran bunga utang maka keseimbangan primer akan negatif, yang berarti sudah tidak tersedia  dana untuk membayar bunga utang.

Keseimbangan Primer = Pendapatan – (Belanja total - Belanja Bunga)

Sumber: Postur APBN Indonesia 2014

Banyaknya tantangan yang dihadapi di tahun 2018 ini hingga tahun 2018 yang berasal dari dalam maupun pemicu dari luar, menurut data di atas, menunjukkan bahwa dengan kondisi yang seperti ini, keseimbangan primer positif tetap dapat diraih.

Lebih jelasnya, mengutip dalam Laporan APBN Kita Edisi Bulan Juni 2018 ditegaskan bahwa keseimbangan umum pada periode berjalan diakhir bulan Mei tahun 2018 adalah defisit sebesar Rp94,42 triliun atau 0,64 persen terhadap PDB, sedangkan Keseimbangan Primer pada periode berjalan masih positif yaitu sebesar Rp18,05 triliun. Realisasi defisit ini lebih kecil dari realisasi pada periode yang sama tahun sebelumnya baik secara nominal maupun persentase terhadap PDB. Hal ini sejalan dengan komitmen Pemerintah yang senantiasa menjaga keberlanjutan pengelolaan APBN yang sehat dan kredibel.

Sementara itu, Pembiayaan telah mencapai 48,1 persen dari rencana pada APBN 2018 atau sebesar Rp156,66 triliun. Pembiayaan yang bersumber dari utang sudah mencapai 38,9 persen dari APBN 2018 atau sebesar Rp155,76 triliun. Realisasi pembiayaan utang tesebut bersumber terutama dari SBN (neto) sebesar Rp166,12 triliun atau 40,1 persen dari target di APBN tahun 2018. Sementara Pinjaman Neto adalah sebesar negatif Rp10,36 triliun atau telah mencapai 67,7 persen dari rencana tahun 2018 yang mengisyaratkan bahwa Pemerintah melakukan pembayaran cicilan pokok pinjaman lebih besar dari penarikan pinjaman. Selain pembiayaan utang, realisasi pembiayaan juga bersumber dari penerimaan pembiayaan dari Pemberian Pinjaman sebesar Rp797,3 miliar dan Pembiayaan Lainnya yaitu yang bersumber dari Hasil Pengelolaan Aset sebesar Rp97,8 miliar. Sementara pada periode ini belum dilakukan pencairan pembiayaan investasi dan kewajiban penjaminan.

Selain itu, stabilitas ekonomi Indonesia terjaga cukup baik yang tercermin pada stabilitas tingkat harga domestik walaupun sempat terjadi tekanan depresiasi nilai tukar. Selama bulan Januari hingga Mei tahun 2018, tingkat inflasi dapat dijaga pada kisaran sasaran inflasi 3,5 persen ±1 persen. Pada bulan Mei 2018, laju inflasi tercatat sebesar 3,23 persen (yoy) sehingga secara kumulatif inflasi sejak awal 2018 hingga Mei 2018 mencapai 1,30 persen (ytd).Realisasi ini lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2017, yaitu sebesar 1,67 persen (ytd) atau 4,33 persen (yoy).

Sehingga bisa kita tarik kesimpulan bahwa strategi yang telah diberlakukan di bidang ekonomi setidaknya membuahkan hasil yang diharapkan. Kinerja pertahanan yang efektif dan memberikan solusi yang baik bagi pengelolaan negara.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.