Oleh: Shaiful Agung, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Menurut data Credit Suisse, jumlah penduduk Indonesia dengan nilai kekayaan bersih lebih dari US$ 1 juta pada tahun 2020 sebanyak 171.740 orang. Mengalami peningkatan 61,69% year on year (yoy) dibandingkan dengan jumlah pada 2019 sebanyak 106.215 orang.

Masih berdasarkan data lembaga keuangan tersebut, jumlah orang Indonesia yang tergolong sangat kaya atau dengan nilai kekayaan bersih lebih dari US$100 juta pada tahun 2020 sebanyak 417 orang atau meningkat 22,29% (yoy) dibandingkan dengan tahun 2019.

Data regresi yang diperoleh berdasarkan survei oleh lembaga keuangan Credit Suisse tersebut menunjukkan bahwa kondisi ekonomi yang melambat di tengah pandemi Covid-19 tidak memengaruhi kondisi kekayaan orang-orang Indonesia yang tergolong kaya dan sangat kaya tersebut. Hal ini tentunya dapat menjadi perhatian pemerintah dalam mendorong penerimaan negara dari orang kaya Indonesia.

Melansir Laporan Revenue Statistic yang dirilis OECD tahun 2021, rasio pajak Indonesia untuk tahun 2019 hanya mencapai 11,6%, berada jauh di bawah rata-rata Negara OECD yang rasio pajaknya mencapai 33,8%. Bahkan, rasio pajak Indonesia di tahun 2020 terjun bebas ke angka 9,76% yang disebabkan oleh pelemahan aktivitas ekonomi Indonesia.

Kemudian, dilihat dari struktur penerimaan pajak dalam negeri angka peranan pembayaran pajak penghasilan orang pribadi hanya mengambil porsi 10% dari total penerimaan negara. Berada jauh dibawah pajak penghasilan badan yang dapat mencapai 32% dan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 28% dari total penerimaan pajak.

Pemerintah tentunya melihat fenomena peningkatan harta kekayaan orang kaya yang berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi global yang terjadi di Indonesia serta porsi peranan Pajak Penghasilan orang pribadi yang terbilang kecil sebagai sebuah harapan peningkatan kinerja penerimaan dalam negeri. Hal tersebut tertuang dalam Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah Direktorat Jenderal Pajak tahun 2020 yang menyebutkan salah satu strategi peningkatan penerimaan pajak melalui optimalisasi pengawasan wajib pajak High Wealth Individual beserta grup usahanya.

Harapan pemerintah pada orang kaya kemudian berlanjut dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Di antaranya melalui peningkatan tarif pajak penghasilan orang pribadi menjadi lima lapisan tarif dengan penambahan tarif tertinggi menjadi 35% untuk orang pribadi yang berpenghasilan kena pajak diatas Rp5 miliar. Keadilan bagi wajib pajak berpenghasilan rendah melalui perluasan penghasilan kena pajak yang dikenakan tarif 5% dari semula Rp50 juta menjadi Rp60 juta. Khusus untuk UMKM diberikan batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak atas peredaran usaha sampai dengan Rp500 juta.

Pemerintah pun membuka ruang melalui Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak. Perlakuan khusus bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, selain dapat mengungkapkan harta yang diperoleh tahun 1985 sampai dengan tahun 2015 dan belum dilaporkan dalam Surat Pernyataan, juga mendapat keistimewaan dengan mengungkapkan harta yang diperoleh tahun 2016 sampai dengan 2020 dan masih dimiliki sampai dengan akhir tahun 2020 yang belum disampaikan dalam Surat Pemberitahuan (SPT). Tarif uang tebusan berada pada rentang 6% sampai 11% dari harta bersih yang belum diungkapkan dalam surat pernyataan (harta tahun 1985 sampai dengan 2015).

Sedangkan untuk harta Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum diperoleh tahun 2016 sampai dengan 2020 diberikan tarif uang tebusan 12% untuk harta bersih yang diinvestasikan pada sektor pengolahan sumber daya alam atau energi terbarukan dan/atau surat berharga negara, 14% untuk harta bersih yang tidak diinvestasikan pada sektor pengolahan sumber daya alam atau energi terbarukan dan/atau surat berharga negara, dan tarif 18% untuk harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI dan tidak dialihkan ke dalam negeri.

Penelitian terkait kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di Indonesia telah banyak dilakukan. Berbagai faktor pembentuk kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan faktor non ekomoni. Faktor ekonomi dibentuk oleh besaran tarif pajak, denda pajak, pemeriksaan pajak, tingkat penghasilan, dan kualitas pelayanan. Sedangkan faktor non ekonomi dibentuk oleh perilaku wajib pajak melalui motivasi, etika, budaya, religiositas, dan pengetahuan tentang pajak.

Sejatinya sebuah negara yang sehat penerimaan pajaknya adalah negara dengan tingkat kontribusi pembayar pajak orang pribadi yang tinggi. Hal tersebut merupakan cerminan dari tingkat kesadaran warganya tentang pajak yang merupakan perwujudan rasa cinta tanah air, pemenuhan kewajiban sebagai warga negara yang baik, dan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi.

Keinginan pemerintah dalam membentuk kepatuhan wajib pajak yang tinggi memerlukan upaya lebih dan tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Direktorat Jenderal Pajak tentunya tidak dapat bekerja sendiri dalam upaya meningkatkan kesadaran pembayaran pajak orang pribadi. Diperlukan kerja sama dari berbagai instansi pemerintah dalam mewujudkan hal tersebut.

Pemberian pelayanan publik berkualitas dari seluruh instansi kepada warga negara, menghadirkan infrastruktur yang mendorong ekonomi masyarakat, dan akuntanbilitas pengelolaan APBN/APBD, kiranya dapat meyakinkan warga negara Indonesia bahwa pajak yang dibayarkan digunakan oleh pemerintah untuk semata-mata demi kemakmuran seluruh bangsa Indonesia.  

Pembayar pajak orang pribadi kini menjadi sebuah harapan penerimaan negara dikala ekonomi penuh dengan ketidakpastian. Kiranya asa pemerintah pada harta orang kaya tidak hanya sekedar wacana namun menjadi nyata. Demi Indonesia maju yang mampu hadirkan rasa aman, nyaman, dan memakmurkan seluruh warga negara.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.