Oleh: Anggit Kuncoro Aji, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Pertengahan bulan Juli lalu, menjadi puncak baru kasus Covid-19 di Indonesia. Hal tersebut membuat pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarat (PPKM) hingga level 4 di berbagai daerah Indonesia. Kegiatan usaha, pendidikan, hingga pelayanan publik harus dibatasi atau bahkan ditutup. Pemberlakuan PPKM ini membuat ekonomi yang sempat tumbuh hingga 7,07 persen pada kuartal dua tahun 2021, kini harus tertekan kembali.

Pandemi ini menuntut masyarakat Indonesia untuk mulai sadar dengan kesehatannya masing-masing. Aktivitas fisik seperti olahraga rutin dapat menjadi salah satu cara untuk menurunkan risiko terserang virus Covid-19. Kebiasaan mengonsumsi makanan yang bergizi dan sehat juga seharusnya dibudayakan masyarakat agar sistem imunitas tubuh maksimal.

Kebiasaan tidak sehat yang masih dimiliki sebagian besar masyarakat Indonesia adalah merokok. Indonesia memiliki jumlah perokok tertinggi ketiga di dunia yaitu sebanyak 65,7 juta. Padahal Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa segala jenis rokok termasuk rokok konvensional, rokok elektrik, dan rokok dengan pemanasan sangat berbahaya bagi tubuh dan mengancam kesehatan.

Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 198/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, pemerintah menaikkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dengan rata-rata sebesar 12,5 persen. Hal ini meningkatkan target penerimaan cukai tahun 2021 sebesar 5,3 persen atau Rp8,8 triliun.

Naiknya CHT ini merupakan wujud hadirnya pemerintah dalam mengatasi dampak buruk dari rokok. Pemerintah melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mengharapkan dengan naiknya CHT membuat rokok menjadi semakin tidak terjangkau dan menargetkan penurunan perokok sebesar 8,7 persen pada tahun 2024.

Selain CHT, dalam pelaksanaan fungsi mengatur (regulerend) pajak pada Hasil Tembakau, rokok juga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dasar pengenaannya diatur dalam PMK Nomor 174/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan Dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau yang telah diubah dengan PMK Nomor 207/PMK.010/2016.

Maksud dari Hasil Tembakau meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya. Untuk ekstrak dan esens tembakau, tembakau molasses, tembakau hirup, tembakau kunyah masuk dalam hasil pengolahan tembakau lainnya.

Pengenaan PPN Rokok dilakukan satu kali pada tingkat produsen atau importir Hasil Tembakau. Dasar pengenaan pajaknya adalah Harga Jual Eceran (HJE) Hasil Tembakau untuk penyerahan Hasil Tembakau atau HJE Hasil Tembakau untuk jenis dan merek yang sama, yang dijual untuk umum setelah dikurangi laba bruto untuk penyerahan Hasil Tembakau yang diberikan secara cuma-cuma.

Besarnya tarif efektif PPN sebesar 9,1 persen. Saat terutang dari penyerahan ini adalah pada saat pemesanan pita cukai Hasil Tembakau atau pada saat produsen dan/atau importir menyerahkan Hasil Tembakau kepada penerima barang.

Bukti pemungutan PPN saat produsen dan/atau importir melakukan pemesanan pita cukai Hasil Tembakau adalah dengan menggunakan Dokumen CK-1. Untuk setiap penyerahan yang dilakukan wajib diterbitkan faktur pajak. Untuk Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Hasil Tembakau yang dilakukan oleh produsen dan/atau importir dapat dikreditkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Yang dimaksud produsen adalah orang pribadi atau badan hukum yang mengusahakan pabrik Hasil Tembakau dan memenuhi persyaratan sebagai pengusaha pabrik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai (UU Cukai). Sedangkan importir adalah orang pribadi atau badan hukum yang memasukkan barang kena cukai berupa Hasil Tembakau ke dalam Daerah Pabean.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) PMK 174/PMK.03/2015, dijelaskan bahwa atas penyerahan Hasil Tembakau mulai dari tingkat produsen dan/atau importir, pengusaha penyalur hingga ke konsumen akhir dilakukan pemungutan PPN satu kali pada tingkat produsen dan/atau importir.

Sehingga penyerahan Hasil Tembakau yang dilakukan oleh penyalur atau distributor Hasil Tembakau mulai kecil hingga besar dan/atau konsumen akhir tidak dikenakan PPN. Pengusaha Penyalur yang semata-mata hanya melakukan penyerahan Hasil Tembakau tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Dalam pelaksanaan pemungutan cukai, sering kali ada beberapa produk yang seharusnya dikenakan cukai, tetapi pada pelaksanaanya diberikan fasilitas berupa dibebaskan atau tidak dipungut cukai. Fasilitas pembebasan ini diberikan untuk tujuan tertentu dan diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PMK 174/PMK.03/2015, untuk Hasil Tembakau yang memperoleh fasilitas cukai dikenakan PPN sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan, sehingga tarif PPN-nya adalah sebesar 10 persen.

Dasar Pengenaan Pajaknya adalah nilai impor untuk impor Hasil Tembakau oleh importir atau harga jual untuk penyerahan Hasil Tembakau oleh Pengusaha Kena Pajak. Bukti pemungutan PPN yang telah dilakukan adalah Pemberitahuan Impor Barang (PIB) atau faktur pajak.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.