Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak        

 

Akhir bulan Oktober 2021 yang lalu, kota Roma di Italia menjadi sorotan dunia. Bukan karena jelang pertandingan besar Serie A antara AS Roma dan AC Milan yang pada akhirnya dimenangkan oleh tim tamu dari kota mode. Bukan pula karena mulai ramainya turis asing yang memadati koloseum pasca mulai dibukanya kembali akses masuk ke Italia bagi wisatawan asing pada Juni 2021. Namun, perhelatan akbar negara-negara Group of Twenty (G20) yang digelar di ibu kota Italia ini yang menjadi alasannya.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 diselenggarakan di Roma, Italia pada tanggal 30 dan 31 Oktober 2021. Para pemimpin dunia hadir di Roma untuk membahas isu-isu global yang sedang menjadi perhatian dunia.

Sebagai salah satu negara anggota G20, Indonesia ikut ambil bagian dalam KTT tersebut.  Presiden Republik Indonesia Joko Widodo hadir memimpin delegasi dengan didampingi Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

G20 sendiri merupakan kelompok yang terdiri dari sembilan belas negara dengan perekonomian besar dunia ditambah dengan Uni Eropa. Amerika Serikat, Afrika Selatan, Argentina, Arab Saudi, Australia, Britania Raya, India, Indonesia, Brasil, Jepang, Italia, Jerman, Korea Selatan, Kanada, Meksiko, Rusia, Tiongkok, Perancis, Turki, dan Uni Eropa menjadi peserta kegiatan tahunan ini. Tahun ini merupakan tahun keenam belas pelaksanaan KTT G20.

Pertemuan G20 tahun ini membahas lima agenda penting yaitu perubahan iklim, perpajakan global, vaksin, ekonomi global, dan bantuan pengembangan yang dilaksanakan dalam dua hari pertemuan. Perpajakan global sendiri menjadi isu yang cukup menarik untuk dibahas. Apalagi isu perpajakan di Indonesia sedang menjadi perhatian dengan telah terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Undang-undang ini telah resmi diundangkan tepat satu hari sebelum perhelatan KTT G20.

Solusi Dua Pilar

Isu perpajakan global yang dibahas dalam KTT G20 Roma ini merupakan kelanjutan dari pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G20 yang digelar secara virtual pada tanggal 9 dan 10 Juli 2021. Sejak saat itu, arah reformasi perpajakan internasional menjadi terbuka dan semakin menemukan titik terang untuk bisa benar-benar direalisasikan.

Laporan dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) tentang Two Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising  from the Digitalisation of the Economy yang dipublikasikan pada tanggal 8 Oktober 2021 telah disetujui oleh 136 negara anggota OECD/G20. Jumlah ini meningkat dari sebelumnya 132 negara saat pertemuan G20 bulan Juli 2021. Ini berarti konsensus global dapat segera terjadi setelah empat negara lagi menyetujui konsep reformasi perpajakan internasional ini.

Solusi dua pilar ini menjadi bagian penting dari terwujudnya reformasi perpajakan internasional. Dalam pilar pertama, terbentuk kesepakatan bahwa perusahaan multinasional harus membayar pajak di negara tempat mereka melakukan penjualan produk barang dan jasa digital (negara pasar) dan bukan hanya di negara tempat mereka berkantor.

Kesepakatannya adalah pengalokasian 25% keuntungan dari perusahaan multinasional ke negara pasar. Dengan pemberlakuan ini, sistem perpajakan menjadi lebih adil. Dalam prakteknya di Indonesia, tidak ada alokasi pajak untuk Indonesia ketika perusahaan multinasional tidak mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Padahal sebagian besar perusahaan multinasional yang memasarkan produknya di Indonesia tidak mendirikan BUT, hanya berupa kantor perwakilan, sehingga tidak bisa dipajaki (Kacaribu, 2021).

Pilar kedua, dikenal dengan Global Anti-Base Erotion (GLoBE) rules, adalah pengenaan tarif minimum kepada perusahaan multinasional dengan peredaran usaha sebesar 750 juta Euro atau lebih. Hal ini dapat membentuk persaingan tarif yang lebih sehat di antara negara-negara yang selamai ini bertransaksi dengan perusahaan multinasional. Pada kenyataannya, hal ini menjadi celah penghindaran pajak. Perusahaan-perusahaan besar multinasional memiliki kecenderungan untuk menghindari pajak dengan cara mendirikan kantor di negara dengan yurisdiksi pajak rendah.

Selanjutnya, kesepakatan dalam KTT G20 adalah memastikan bahwa perusahaan multinasional dikenakan tarif pajak minimum sebesar 15%. Laporan Solusi Dua Pilar dari OECD tersebut juga akan melindungi hak-hak negara berkembang untuk mengenakan tarif pajak minimal 9% atas penghasilan tertentu, seperti bunga dan royalti. Kedua pilar ini nantinya akan dituangkan dalam konvensi multilateral yang rencananya ditandatangani pada pertengahan tahun 2022 dan berlaku efektif pada tahun 2023.

Kesempatan mengawal reformasi perpajakan internasional ini menjadi terbuka lebar bagi Indonesia ketika untuk pertama kalinya Indonesia akan memegang tongkat estafet presidensi G20 pada tahun 2022. Perhelatan KTT G20 tahun 2022 rencananya akan dilaksanakan di Bali. Hal ini sekaligus menjadi sinyal positif bagi Bali dan Indonesia untuk kembali menarik wisatawan mengunjungi Bali. Terlebih bahwa selama masa pandemi Covid-19 ini, pariwisata Bali yang selama ini begitu diandalkan untuk roda perekonomian menjadi sangat terpuruk.

Alternative Minimum Tax

Dalam skala nasional, pengenaan tarif pajak penghasilan minimum sendiri sempat mengemuka sebagai salah satu usulan skema dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang merupakan cikal bakal dari UU HPP. Klausul alternative minimum tax ditujukan untuk wajib pajak dengan Pajak Penghasilan (PPh) kurang dari batasan tertentu.

Skema ini berupaya menutup celah penghindaran pajak melalui perencanaan pajak yang agresif. Cukup banyak terjadi bahwa Wajib Pajak Badan yang laporan keuangannya menunjukkan rugi fiskal selama bertahun-tahun, tetapi masih mampu untuk terus beroperasi, bahkan mengembangkan usahanya.

Kecurigaan pun muncul bahwa hal ini hanya dijadikan alasan agar perusahaan tidak membayar pajak, sehingga wacana alternative minimum tax mengemuka. Namun, dalam perkembangannya, skema ini ternyata harus dicoret oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebelum dibawa ke sidang paripurna. 

Menarik untuk menunggu bagaimana respon pemerintah dalam mengawal dan mempersiapkan ketentuan dan aturan terkait pemberlakuan tarif pajak minimum bagi perusahaan multinasional sebagai oleh-oleh dari KTT G20 Roma. Termasuk juga bagaimana kelanjutan nasib dari wacana alternative minimum tax untuk Wajib Pajak Badan sebagai upaya menutup celah penghindaran pajak. Apakah masih ada kemungkinan skema tersebut kembali masuk di ruang hukum Indonesia di masa depan? Bagaimanapun juga, prinsip keadilan patut menjadi pertimbangan utama dalam perumusan aturan dan kebijakan pemungutan pajak.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja